Open heart surgery has a risk of postoperative bleeding that may affect the outcome. Bleeding is caused by hemostasis disorders due to the use of Cardiopulmonary Bypass (CPB) and aortic cross clamp (AOX) machines. Both can be a predictor of postoperative bleeding. Based on this study to determine the time required in the use of CPB and AOX machines to be able to predict 24-hour bleeding after open heart surgery and seek correlation. The design of this study was cross sectional using secondary data from medical record. A total sample of 46 people from 2014 to 2016. Correlation analysis results found a weak positive correlation between the duration of CPB and AOX with the amount of bleeding. ROC test results obtained cut off point duration of CPB and AOX with volume of bleeding of 800 ml is 156 minutes and 119.5 minutes. Multivariate analysis controlled by age, sex, BMI and type of surgery found only CPB is a pure predictor of the cause of postoperative open heart bleeding. So it is expected that the use of CPB machine can be <156 minutes to prevent morbidity and mortality.

 

Pada Infark Miokard Akut (IMA), sumbatan akibat trombus menyebabkan iskemik komplit dan nekrosis di daerah yang disuplai oleh arteri yang tersumbat. Revaskularisasi dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) yang segera akan menurunkan kerusakan miokard. Fungsi ventrikel kiri merupakan luaran yang penting selama PCI. Penilaian semikuantitatif dari fungsi kontraksi regional ventrikel kiri dapat diperoleh melalui penilaian Wall Motion Score Index (WMSI). Untuk meningkatkan angka keberhasilan tindakan PCI, salah satu faktor yang harus dicegah adalah keterlambatan antara angina dan tindakan PCI. Waktu antara angina dengan pemberian tindakan PCI merupakan yang paling penting, karena jeda waktu tersebut menggambarkan waktu iskemik total, sehingga perlu dikurangi menjadi sesedikit mungkin untuk meningkatkan luaran klinis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan perubahan WMSI antara pasien yang dilakukan tindakan PCI dengan waktu iskemik total yang singkat dibandingkan dengan waktu iskemik total yang lebih panjang. Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif di Rumah Sakit Sanglah Denpasar dari bulan November 2017 sampai dengan Januari 2018 pada 32 pasien IMA yang diterapi dengan PCI. Nilai WMSI akan diukur menggunakan trans torakal ekokardiografi sebelum dan 72 jam setelah tindakan PCI dan dicatat. Penelitian ini akan mendapatkan perbedaan rerata atau mean antara kedua kelompok. Dari analisa kurva ROC didapatkan cut off point waktu antara angina dan tindakan PCI adalah 313 menit dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 54% dan didapatkan 2 kelompok, yaitu kelompok dengan waktu antara angina dan PCI kurang dari 313 menit (kelompok early) dan kelompok dengan waktu antara angina dan PCI lebih dari sama dengan 313 menit (kelompok late). Dengan menggunakan uji Wilcoxon sign rank pair didapatkan perubahan WMSI yang signifikan pada masing-masing kelompok, dimana kecenderungan kelompok early mengalami perbaikan nilai WMSI sebanyak 6% dibandingkan dengan kelompok late. Sementara itu uji Wilcoxon Mann Whitney U test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada perubahan WMSI antara kelompok early dan kelompok late. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PCI sangat penting dalam memperbaiki kontraktilitas miokardium, walaupun tindakan PCI dilakukan lebih dari 5 jam setelah onset nyeri dada.

Introduction Intraocular pressure (IOP) is the major risk factor for glaucoma and highest known at the age of 50 years and above .Demographic represents as a risk factor for IOP and it’s influenced by worsen lifestyle at urban population. Epidemiological studies of IOP based on demographic are still very rare, obtained different results, and haven’t been done in Indonesia. This study aim is to determine the difference of mean IOP and risk factors of Bali population age 50 years above in rural and urban area. Method An analytic cross-sectional study was conducted among Bali population aged 50 years and above in November-December 2015. Data was collected by interview using a questionnaire and examination of IOP, blood pressure, blood sugar, and waist circumference. T-test was used for detecting mean IOP differences in urban and rural areas. Multivariate analysis was used for detecting association between gender, age, hypertension, central obesity, diabetes and smoking habit with IOP in both areas. Result A total 450 subjects that were eligible (225 subjects rural groups and 225 subjects urban groups). Urban area IOP 16.90 (SD 3.59) mmHg was significantly higher than rural 14.35 (SD 3.52) mmHg (p<0.05;95%CI 1.89 to 3.20). Multivariate analysis showed hypertension, diabetes, and central obesity were associated with urban IOP (p<0.05). Whereas hypertension, diabetes, central obesity and smoking habit were associated with rural IOP (p<0.05). Conclusion Mean IOP in urban is higher than rural area. Hypertention, diabetes melitus and central obesity are the risk factor of IOP in urban and rural area.

Pengisian kolom penyebab kematian secara lengkap dan tepat sangat bermanfaat bagi kepentingan epidemiologi, pelayanan kesehatan, serta medikolegal. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran pengisian kolom penyebab kematian pada sertifikat penyebab kematian di RSUP Sanglah sesuai standar internasional yang diterbitkan World Health Organization (WHO).  Penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang terhadap 1630 sertifikat penyebab kematian yang diterbitkan RSUP Sanglah dari Januari 2015 hingga Juni 2015 telah dilakukan.  Hasilnya, sebagian besar diisi dengan lengkap (94,5%) serta tepat dan terkait (73,7%).  Namun, sebagian kecil masih menuliskan kondisi yang tidak spesifik (13,7%), mekanisme kematian (23,3%), “dugaan” dan “mungkin” (17,1%) serta menggunakan singkatan (72,9%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pengisian kolom penyebab kematian pada sertifikat penyebab kematian yang ditelaah pada penelitian ini belum memenuhi prosedur yang ditetapkan World Health Organization (WHO).

Adolescents are defined as children who have age of 10 to 18 years. There are hormonal, physical, psychological and social changes in adolescent. Adolescents need sleep 8 to 10 hours each day. Many adolescents does not have good quality of sleep with the incidence of insomnia almost 15% of the population, with difficulty initiating sleep, maintaining sleep, waking up too early and poor sleep quality. The incidence of chronic primary insomnia in adolescent impact on poor sleeps quality which makes learning concentration decrease. This research aims determine the proportions and characteristics of adolescents with chronic primary insomnia in high school in Denpasar. This study is a cross-sectional descriptive study, randomized sampling technique. Diagnosis of chronic primary insomnia use DSM IV criteria. Samples with medical disorders, psychiatric, neurological disorders were excluded. 126 samples collected and 18 samples were excluded because of medical illness. 46.3% of the sample experienced chronic primary insomnia. Sample with chronic primary insomnia, 42% male and 58% female. Most of the samples had normal body mass index. In the group with chronic primary insomnia obtained 66% of regular exercise, while those without insomnia, percentage obtained a larger exercise routine that is 86.2%. Based on severity of insomnia, adolescents with chronic primary insomnia have varying severity. The proportion of chronic primary insomnia in adolescents at high school in Denpasar was 46.3%, with the proportion of men and women were balanced. Sports physical activity was lower in adolescents with insomnia. Insomnia severity obtained 22% in adolescents with chronic primary insomnia.

 

Background: The incidence of congenital anomaly of gastrointestinal tract is 1.3 in 1,000 live birth. There has been no data about the incidence and characteristics of neonates with these anomaly at Sanglah Hospital, Denpasar.

Objective: To know the incidence and characteristics of neonates with congenital anomaly of gastrointestinal tract at Sanglah Hospital, Denpasar.

Methods: Retrospective study, conducted at Sanglah Hospital, Denpasar, performed  by data obtained on 2015.

Results: In this study, incidence of neonates with congenital anomaly of gastrointestinal tract on 2015 was 5.4%. The male to female ratio was 1.8:1. Mostly (98.6%) is referral cases, 73.9% have birth weight ≥2500 gram and 76.8% was aterm. That anomaly are labiognatopalatoschisis (10.1%), labiopalatoschisis (5.8%), esophagus atresia (2.9%), pyloric stenosis (1.4%), duodenal atresia (15.9%), jejunal atresia (1.4%), ileal atresia (2.9%), gastroschisis (8.8%), omphalocele (5.8%), Hirschprung disease (20.2%), and anorectal malformation (24.6%). The mortality was 20.3%.

Conclusions: The incidence of neonates with congenital anomaly of gastrointestinal tract in Sanglah Hospital was 5.4% with mortality 20.3%. The most anomaly is anorectal malformation.

 

 

Nyeri neuropati diabetik (NND) merupakan salah satu komplikasi tersering dari diabetes melitus (DM) pada saraf tepi. Sampai saat ini pengobatan NND sebagian besar hanya bersifat simptomatis dengan hasil yang masih jauh dari memuaskan. Metilkobalamin (Mekbl) selain mempunyai sifat sebagai neuro-proteksi dan neuro-regenerasi juga memiliki efek analgesik ajuvan sehingga memberikan harapan baru dalam terapi jangka panjang NND. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan Mekbl dapat menurunkan skala nyeri pada penderita DM tipe 2. Dengan rancangan uji klinis buta tunggal dilakukan penelitian pada 28 subyek  penderita DM tipe 2 yang rawat jalan di poliklinik Saraf dan Diabetic Center RSUP Sanglah selama periode Februari 2016 hingga April 2016. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok intervensi (menggunakan terapi amitriptilin dan Mekbl) dan kelompok kontrol (menggunakan terapi amitriptilin dan aquabides), masing-masing kelompok terdiri 14 subyek. Dosis amitriptilin 12,5 mg dua kali sehari selama 10 hari sedangkan dosis Mekbl intravena 500 ug setiap 2 hari selama 5 kali. Dilakukan pengukuran skala nyeri Numeric Pain Rating Scale (NPRS) pada awal dan akhir penelitian. Pada uji Student t test berpasangan didapatkan penurunan NPRS pada kelompok intervensi 5,14 (SB 1,79) lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol 2,64 (SB 0,84) dengan persentase penurunan NPRS 79% berbanding 48%, p=0,001 (p<0,01). Disimpulkan bahwa Mekbl sebagai analgesik ajuvan dapat menurunkan skala nyeri neuropati diabetik pada penderita DM tipe 2.

 

 

Latar belakang: Kualitas hidup penderita penyakit ginjal kronik (PGK) perlu diketahui untuk menyiapkan strategi pencegahan dan managemen yang efektif dalam mengatasi masalah morbiditas, mortalitas serta pembiayaan kesehatan yang ditimbulkan oleh peningkatan prevalensi PGK dengan meningkatnya faktor risiko diabetes melitus, hipertensi dan obesitas di masyarakat sekaligus untuk meningkatkan kualitas hidup penderita PGK. Tujuan penelitian ini untuk menentukan prevalensi PGK dan membandingkan kualitas hidup PGK dengan non PGK pada penduduk asli Desa Pedawa Buleleng Bali.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi observasional potong lintang analitik untuk menentukan prevalensi PGK dengan menggunakan formula eGFR CKD EPI dan menilai kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner KDQOL SF36 pada penduduk asli Desa Pedawa Buleleng Bali pada Agustus 2016.

Hasil: Penelitian ini mendapatkan prevalensi PGK dengan menggunakan eGFR CKD EPI sebesar 10%. Pada Uji Mann Whitney didapatkan PGK berhubungan secara bermakna dengan Kualitas Hidup terkait Kesehatan pada dimensi Fungsi Fisik dan Keterbatasan Fisik (p<0,05) sementara pada dimensi lain seperti Fungsi Sosial, Kesehatan Mental, Kesehatan Secara Umum, Keterbatasan Emosional, Nyeri Tubuh dan Vitalitas tidak bermakna (p>0,05). Pada Uji Model Linear Umum didapatkan pengaruh variabel usia terhadap Fungsi Fisik, Kesehatan Secara Umum, Keterbatasan Fisik, Nyeri Tubuh dan Vitalitas. Variabel jenis kelamin mempengaruhi dimensi kesehatan secara umum. Merokok mempengaruhi dimensi Fungsi sosial dan Obesitas berpengaruh terhadap kualitas hidup Keterbatasan Fisik.

Kesimpulan: skor kualitas hidup kelompok PGK lebih rendah dibandingkan dengan non PGK dan didapatkan hubungan yang signifikan dengan Kualitas Hidup Dimensi Fungsi Fisik dan Keterbatasan Fisik.

Kondiloma akuminata (KA) merupakan proliferasi jinak kulit yang disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) pada anogenital. Manifestasinya berupa papul-papul kecil berkonfluen seperti bunga kol. Insiden KA meningkat pada lelakiyang berhubungan seksual dengan lelaki(LSL). Modalitas terapi yang digunakan meliputi tutul podofilin, podofilotoksin serta asam trikloroasetat (TCA). Beberapa studi melaporkan efikasi larutan potassium hydroxide (KOH) sebagai terapi pada KA yang bersifat noniritatif. Pada laporan kasus ini akan dilaporkan terapi KA regio anal pada seorang LSL. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan tes acetowhite yang positif. Pasien diterapi dengan tutul TCA 80% 1x setiap minggu, namun muncul lesi baru setelah 1 bulan terapi. Lesi baru pasien diterapi dengan tutul KOH 10% 1x sehari. Keseluruhan lesi menghilang setelah 5 kali tutul TCA 80% pada lesi lama dan 13 hari tutul KOH 10% pada lesi baru.

 

Hyperthyroidism always presents challenging consideration for anesthesiologists. In non emergency cases it is essential that patients are clinically and chemically euthyroid prior to surgery. Thyroid storm is the most fatal complication in hyperthyroidism. Surgery, trauma, and infection put patients at higher risk for developing thyroid storm. We present a case of 24 years old man with open fracture of his left femur planned for emergency open reduction and internal fixation with plate and screw. In pre operative evaluation he was found with hyperthyroidism both clinically and chemically. Limitting the anxiety and pain management in this patient is very important in the pre operative setting to prevent excessive sympathetic response. Regional anesthesia is a safe choice wherever possible. Observation must be continued up to 24 hours post surgery as thyroid storm may still happen post operatively.

 

 

School refusal happens in children often present with complaints that are different from adults. Parents might misinterprete their children as misbehaving when these misbehaves are actually the symptoms of anxiety in children, hence the under-detection of the anxiety. One form of anxiety in children that might lead to school refusal is the social anxiety disorder in childhood. We conducted a case study on a female child in the outpatient Psychiatry department, Sanglah General Hospital. She presented with a chief complaint of school refusal. After clinical, mental, and additional asseessment with Pediatric Symptom Chekclist-17 (PSC-17), Hamilton Depression Rating Scale (HDRS), Hamilton Rating Scale of Anxiety (HRSA) and The Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS), diagnosis of childhood social anxiety disorder was revealed. The patient was managed with psychopharmacological agent Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) and Cognitive Behavioral Therapy (CBT). A decrease in anxiety and cessation of the school refusal was reported about 4 weeks later. The multidisciplinary holistic management required collaboration among medical personnels, parents, other people in the child’s social circle, teachers in addition to the psychopharmacological agent and psychotherapy.

 

Giant Kondiloma Akuminata (GKA) yang disebut juga Buschke-Lowenstein tumor merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh Human Papiloma Virus (HPV). GKA memiliki gambaran klinis berupa tumor berukuran besar dan berbentuk seperti bunga kol. Sistem imun memegang peranan penting pada patogenesis penyakit ini. Insiden penyakit ini ditemukan meningkat pada pasien dengan imunokompromais. Pada laporan kasus ini akan dilaporkan kasus GKA perianal pada lelaki berusia 45 tahun disertai infeksi HIV stadium IV. Diagnosis GKA ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, tes achetowhite yang positif, dan pemeriksaan histopatologi. Pasien pada laporan kasus ini diberikan kombinasi terapi tutul asam trikloroasetat (TCA) 80% dan imunomodulator sistemik berupa zink elemental. Pasien sudah menunjukkan respon perbaikan klinis berupa berkurangnya ukuran lesi GKA perianal setelah pemberian tutul TCA 80% setiap minggu sebanyak 5 kali dan pemberian zink elemental 100 mg/hari selama 4 minggu.