Vol. 50 No. 2 (2019)
Korelasi antara kadar serum albumin dan status fungsional pada pasien geriatri di RSUP Sanglah Denpasar, Bali
Desak Nyoman Desy Lestari, Raden Ayu Tuty KuswardhaniOnline First: May 22, 2019
- Abstract
Korelasi antara kadar serum albumin dan status fungsional pada pasien geriatri di RSUP Sanglah Denpasar, Bali
Status fungsional adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan merupakan aspek penting dalam penilaian kualitas hidup. Status fungsional secara umum ditentukan oleh status nutrisi, kemampuan otot serta adanya penyakit komorbiditas. Kadar albumin yang rendah sering terjadi pada kondisi status nutrisi yang buruk dan penyakit inflamasi terutama pada geriatri yang akan mempengaruhi kemampuan otot pada geriatri. Tujuan penelitian ini adalah menilai korelasi antara kadar serum albumin dan status fungsional pada pasien geriatri. Penelitian ini berupa studi potong lintang analitik. Kriteria inklusi adalah semua pasien usia ≥ 60 tahun dengan penyakit medis tertentu yang rawat inap di RSUP Sanglah pada bulan November 2014 sampai dengan Februari 2015. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan keganasan, riwayat operasi, trauma dan penggunaan obat psikoaktif serta data rekam medik tidak lengkap saat penelitian berlangsung. Kadar albumin serum diperiksa di laboratorium dengan metode bromcresol green dan status fungsional diperiksa dengan kuesioner Activity Daily Living (ADL) Barthel. Sampel penelitian ini berjumlah 72, dengan kadar albumin rata-rata adalah 2.99 ± 0.72 g/dl. Prevalensi hipoalbuminemia adalah 75% dan 46,2% pasien mengalami ketergantungan total. Kadar albumin berkorelasi positif dengan status fungsional pada pasien geriatri (r=-0.254; p=0.031) dengan interval kepercayaan 95%.
Functional status is the ability to perform daily activities and a key aspect of the quality of life and also a strong predictor of survival. In the other hand low serum albumin level is the result of the combined effects of inflammation and malnutrition in elderly. This study aims to determine whether there is a correlation between serum albumin levels with functional status in elderly patient in hospital. This study was designed with cross-sectional method using the analytical observational was conducted with purposive sampling. Subject is elderly patients (≥60 years) admitted to Sanglah hospital Denpasar, Bali, Indonesia, between November 2014-February 2015 (n=72). Serum albumin level was examined in the laboratory used bromcresol green method and functional status was measured with activities of daily living (ADL) Barthel questionnaire. Nonparametric spearman’s test was used to analyze the correlation between serum albumin with functional status and data were presented with 95% confidence interval. 72 samples were obtained in the study with a mean albumin level of 2.99 ± 0.72 g/dl. The prevalence of hypoalbuminemia (<3.5 g/dl) was 75% and 46.2% with total dependency. Positive correlation Spearman’s test was statistically significant between albumin serum and functional status (r=0.254; p=0.031).
Â
Â
Effect of homocysteine and mean platelet volume on jenkins modified gensini score in acute myocardial infarction
Deddy Hermawan Susanto, Reginald Leopold Lefrandt, Agnes Lucia Panda, Janry Antonius Pangemanan, Hariyanto Wijaya, Victor Rooroh, Andreas Erick Haurissa, Agustinus Mahardhika SarayarOnline First: May 13, 2019
- Abstract
Effect of homocysteine and mean platelet volume on jenkins modified gensini score in acute myocardial infarction
Pendahuluan:
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang. The world health organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 angka kejadian penyakit jantung koroner akan meningkat dari 7,1 juta ke 11,1 juta. Aterosklerosis adalah salah satu penyebab penyakit jantung koroner. Pada beberapa penelitian melaporkan faktor risiko terjadinya aterosklerosis diantaranya seperti merokok, hipertensi, diabetes dan kadar homosistein. Selain faktor risiko seperti aterosklerosis, trombosit mempunyai peran penting dalam terjadinya penyakit jantung koroner seperti sindroma koroner akut. Peningkatan aktivitas trombosit yang diukur dengan mean platelet volume (MPV) juga meningkatkan angka kejadian sindrom koroner akut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar homosistein dan mean platelet volume terhadap derajat keparahan stenosis koroner pada pasien sindroma koroner akut.
Bahan dan Metode:
Desain penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan potong lintang dan dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2018. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 47 pasien. Semua subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, tekanan darah, riwayat dislipidemia, riwayat diabetes, riwayat hipertensi, dan pemeriksaan laboratorium rutin. Setelah itu dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar homosistein dan MPV, pemeriksaan angiografi koroner dan dilakukan penilaian derajat keparahan stenosis koroner melalui skor gensini modifikasi Jenkins. Kemudian dilakukan analisis korelasi plasma homosistein dan mean platelet volume dengan skor gensini modifikasi Jenkins.
Hasil:
Dari total 47 subjek penelitian, didapatkan 30 pasien (64%) laki-laki dengan usia rata-rata pada subjek penelitian hampir 60 ± 10 tahun. Nilai profil lipid, parameter jantung pada umumnya dalam batas normal. Terdapat peningkatan leukosit di atas nilai maksimum dengan nilai rata-rata 11.600 /mL. Nilai rata-rata homosistein serum keseluruhan pasien berada pada 12 mmol/L dengan tingkat deviasi sekitar 3,1 mmol/L, sedangkan nilai MPV berada pada 9,8 ± 0,7 fL. Pada penelitian ini menunjukkan peningkatan kadar homosistein 1 mmol/L menyebabkan kemungkinan individu mengalami stenosis arteri koroner dengan skor modifikasi gensini > 13 sebesar dua kali lipat. Hubungan MPV dengan keparahan stenosis arteri koroner memperlihatkan pasien dengan MPV 9,6-10,5 fL mengalami reduksi odd lesi berat sebesar 1,000 - 0,021 dibandingkan £ 9,5 fL. Terdapat hubungan yang positif antara kadar homosistein dengan keparahan stenosis arteri koroner, akan tetapi hubungan MPV dan keparahan stenosis arteri koroner belum terjawab penuh dengan data yang ada.
Introduction:
Coronary heart disease is a leading cause of death in developing countries. The world health organization (WHO) estimates that by 2020 the incidence of coronary heart disease will increase from 7.1 million to 11.1 million. Atherosclerosis is the main cause of coronary heart disease. Several studies reported risk factors for atherosclerosis include smoking, hypertension, diabetes and homocysteine levels. In addition to risk factors such as atherosclerosis, platelets have an important role in developing coronary heart disease in the form of acute coronary syndromes. Increased platelet activity as measured by mean platelet volume (MPV) also increases the incidence of acute coronary syndrome.This study aims to determine the relationship between homocysteine levels and mean platelet volume to the severity of coronary stenosis in patients with acute coronary syndrome.
Method:
This is an observational study with a cross-sectional approach and was carried out in June—August 2018.
The number of samples in this study were 47 patients. All study subjects who met the inclusion criteria were taken history and physical examination including age, sex, weight, height, blood pressure, history of dyslipidemia, history of diabetes, history of hypertension, and routine laboratory examinations. After that, the subject who met the inclusion criteria had blood samples examination for homocysteine levels and MPV, and then underwent coronary angiography examination and performed an assessment of the severity of coronary stenosis through Jenkins modified gensini score. Finally, statistical analysis was performed to find correlation between plasma homocysteine and mean platelet volume with Jenkins modified gensini score.
Result:
From a total of 47 subjects, 30 patients (64%) were male with an average age of nearly 60 ± 10 years. The value of the lipid profile, cardiac parameters are generally within normal limits. There is an increase in leukocytes above the upper limit value with an average value of 11,600 /mL. The average value of whole serum homocysteine in the patient is at 12 mmol/L with a deviation levels of about 3.1 mmol/L, while the MPV value is at 9.8 ± 0.7 fL. In this study, we found that an increase in homocysteine levels of 1 mmol/L causing the possibility of individuals experiencing coronary artery stenosis with a gensini score of > 13 by 2-fold. The association between MPV and the severity of coronary artery stenosis showed patients with MPV 9.6-10.5 fL experienced a reduction in severe lesion odds of 1.000-0.021 compared to £ 9.5fL.
There is a positive relationship between homocysteine levels and the severity of coronary artery stenosis, but the relationship between MPV and severity of coronary artery stenosis has not been fully answered with available data.
Karakteristik dan hubungan nilai tear break up time dengan umur dan jenis kelamin pelayanan kesehatan desa Tianyar maret 2015
Ni Putu Sri Yuliastini, I Gusti Ayu Made Juliari, Ni Ketut Niti Susila, Anak Agung Mas Putrawati Triningrat, Ida Bagus Putra ManuabaOnline First: May 24, 2019
- Abstract
Karakteristik dan hubungan nilai tear break up time dengan umur dan jenis kelamin pelayanan kesehatan desa Tianyar maret 2015
Sindrom mata kering terjadi akibat kualitas lapisan air mata yang buruk dan dapat terjadi pada semua kelompok umur. Tear breakup time (TBUT) merupakan metode yang sering digunakan dalam uji stabilitas lapisan air mata yang penting dalam penegakkan diagnosis sindrom mata kering (SMK). Nilai TBUT pada populasi daerah Bali berdasarkan umur dan jenis kelamin belum pernah dilaporkan. Penelitian deskriptif observasional analisis berbasis populasi dengan pendekatan studi potong lintang yang melibatkan 94 pasien (188 mata) yang datang ke pelayanan kesehatan di Desa Tianyar Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem tanggal 23 Maret 2015. Data karakteristik subyek dianalisis secara deskriptif. Hubungan umur dan jenis kelamin terhadap nilai TBUT diuji dengan menggunakan analisis multivariat. Subyek penelitian berjumlah 94 orang terbagi atas 45 (47,9%) pria dan 49 (52,1%) wanita. Rerata umur subyek adalah 46 (SD12,1) tahun. Nilai TBUT dari semua subyek bervariasi dari 1,45–7,24 detik untuk mata kanan dan 1,45-8,03 detik untuk mata kiri. Nilai median TBUT pada pria 5,40 detik untuk mata kanan dan 5,42 detik untuk mata kiri. Nilai median TBUT pada wanita 5,35 detik pada mata kanan dan 5,33 detik pada mata kiri. Analisis multivariat menunjukkan nilai median TBUT menurun sejalan dengan umur pada kedua kelompok jenis kelamin dan lebih rendah pada jenis kelamin wanita pada masing-masing kelompok umur. Nilai TBUT penduduk Tianyar berada di bawah cutoff value nilai normal TBUT, lebih rendah pada jenis kelamin wanita dan menurun sejalan dengan peningkatan umur pada kedua jenis kelamin.
Dry eyes are a result of the poor quality of the tear layers and it occurs on people of all ages. Tear breakup time (TBUT) is the most common test that can be used for tear stability measurement which is important to diagnose dry eye syndrome. No TBUT value in Bali population with consideration of gender and age reported yet. This descriptive population-based analytical cross sectional study involving 94 patients (188 eyes) who came to ophthalmology examination on March 23rd 2015 at Tianyar, Kubu, Karangasem. Characteristics of the subject’s data was analyzed descriptively, and shown as frequency, percentage, median, mean and deviation standard. Correlation of TBUT with age and gender was tested with multivariate analysis. TBUT measurement was done on 94 subjects, 45 (47. 9%) males and 49 (52.1%) females. The results showed on the TBUT vary from 1.45- 7.24 seconds on right eye and from 1.45- 8.03 seconds on left eye. Median TBUT value on male subjects was 5.40 seconds the right eye and 5.42 seconds on the left eye. Median TBUT value on female subjects was 5.35 seconds on the right eye and 5.33 seconds on the left eye. TBUT was found to decline with age. Multivariate analysis showed that the TBUT of both group of gender decreases with age significantly.TBUT of Tianyar people is less than 10 s. It was found TBUT of both group significantly decreases with age and lower in female.
Â
Profil pasien karsinoma nasofaring dengan anemia yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar periode januari 2017 - desember 2018
I Putu Yupindra Pradiptha, I Gede Ardika NuabaOnline First: May 13, 2019
- Abstract
Profil pasien karsinoma nasofaring dengan anemia yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar periode januari 2017 - desember 2018
Pendahuluan:
Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita keganasan kepala leher khususnya karsinoma nasofaring. Anemia yang disebabkan oleh kanker, bisa terjadi sebagai efek langsung dari keganasan, dapat sebagai akibat produksi zat-zat tertentu yang dihasilkan kanker, atau dapat juga sebagai akibat pengobatan kanker itu sendiri. Penelitian ini bertujuan mengetahui profil pasien karsinoma nasofaring dengan anemia yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2017-Desember 2018.
Bahan dan Metode:
Data diambil dari catatan medis penderita, kemudian dicatat di dalam lembar pengumpulan data selanjutnya dilakukan analisis data. Penelitian ini melibatkan 125 pasien.
Hasil:
Didapatkan pasien lelaki berjumlah 73 orang (58,4%) dan perempuan berjumlah 52 orang (41,6%), umur mayoritas pasien adalah 41-50 tahun (31,2%). Stadium KNF yang terbanyak adalah IVB dan IVC masing-masing sebanyak 31 orang (24,8%). Jenis anemia yang terbanyak didapatkan anemia normositik normokrom sebanyak 88 orang (70,4%). Hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan intervensi yang tepat untuk mengatasi anemia pada penderita karsinoma nasofaring.
Introduction:
Anemia is a complication that often occurs in patients with head neck malignancy, especially nasopharyngeal carcinoma. Anemia caused by cancer can occur as a direct effect of malignancy, can be as a result of the production of certain substances produced by cancer, or it can also be a result of cancer treatment itself. This study aim to find out the characteristics of nasopharyngeal carcinoma patients with anemia treated in Sanglah General Hospital Denpasar from January 2017-December 2018.
Method:
Data is taken from the patient's medical record, then recorded in the data collection sheet and then analyzed data.
Result:
This study involved 125 patients. There were 73 male patients (58.4%) and 52 females (41.6%), The majority of patients were 41-50 years (31.2%). The most NPC stadiums were IVB and IVC as many as 31 people (24.8%). The most types of anemia were normochromic normocytic anemia as many as 88 people (70.4%). The results of the study can be used as a reference for conducting appropriate interventions to overcome anemia in patients with nasopharyngeal carcinoma.
Hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional remaja di sekolah menengah pertama (SMP) Negeri 3 Negara
Ni Putu Ayu Werdhiatmi, Ni Ketut Sri Diniari, Ni Ketut Putri ArianiOnline First: May 21, 2019
- Abstract
Hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional remaja di sekolah menengah pertama (SMP) Negeri 3 Negara
Pendahuluan:
Remaja merupakan periode  transisi atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Remaja dalam mengatasi segala permasalahannya memerlukan suatu pemahaman bagaimana mengenali emosi dengan baik melalui kecerdasan emosional. Salah satu faktor yang memengaruhi kecerdasan emosional adalah pola asuh orang tua. Â
Bahan dan Metode:
Kami melakukan studi potong lintang observasional pada murid-murid Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Negara dengan tujuan mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional remaja di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Negara. Sampel ditentukan secara purposive sampling dengan mengikutsertakan murid yang mengikuti ceramah sebagai sampel penelitian. Sampel yang berjumlah 60 orang diminta mengisi kuesioner berupa Pola Asuh dan Kecerdasan Emosional. Skor kedua skala tersebut kemudian dianalisis untuk korelasi. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional remaja dengan (p = 0,000; p < 0,05). Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin bagus pola asuh orang tua maka semakin baik juga kecerdasan emosional remaja.
Hasil:
Hasil penelitian pada sampel menunjukkan pola asuh demokratis mempunyai kecerdasan emosional yang baik paling tinggi dibanding pola asuh permisif dan otoriter.
Â
Â
Introduction:
Adolescence is the transition period between childhood and adulthood. For teenagers to solve all their problems require an understanding how to recognize emotions well through emotional intelligence. One of the factors affecting emotional intelligence is parenting style.
Method:
We conducted an observational cross-sectional study on Junior High School students (SMP Negeri 3 Negara) with the aim of knowing the relationship between parenting style with emotional intelligence in SMP Negeri 3 Negara. Samples were selected with purposive sampling by involving students that attended lecture as research sample. 60 samples were asking to filled out a parenting style and emotional intelligence questionnaires. Scores of both scales are then analyzed. The result showed a significant relationship between parenting style and emotional intelligence on adolescent with (p = 0.000; p <0.05).
Result:
These result indicates that adolescents with better parenting style had better emotional intelligence. The results of the study showed authoritative parenting had better emotional intelligence than permissive and authoritarian parenting.
Profil pasien posterior capsule opacification periode 1 januari 2016 sampai 31 desember 2017 Di RSUP Sanglah Denpasar
Ida Ayu Putri Widiastuti, I Wayan Gede Jayanegara, AA Mas Putrawati Triningrat, IB Putra ManuabaOnline First: May 13, 2019
- Abstract
Profil pasien posterior capsule opacification periode 1 januari 2016 sampai 31 desember 2017 Di RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan:
Posterior capsule opacification (PCO) merupakan kekeruhan yang timbul pada kapsul posterior lensa yang semula jernih, beberapa bulan atau tahun setelah operasi katarak. Saat ini, penatalaksanaan yang efektif adalah tindakan kapsulotomi menggunakan laser Neodymium-Doped Ytrium Aluminium Garnet (ND YAG). Tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi berupa peningkatan tekanan intra okular (TIO), glaukoma, cystoid macular edema dan retinal detachment. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh profil pasien PCO periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2017 di RSUP Sanglah Denpasar.
Bahan dan Metode:
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan studi potong lintang. Data dikumpulkan secara retrospektif berdasarkan catatan medis pasien PCO di divisi katarak dan bedah refraktif poliklinik mata RSUP Sanglah periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2017. Data mengenai profil subyek dianalisis secara deskriptif, ditampilkan sebagai frekuensi, persentase, mean dan median.
Hasil:
Selama periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2017 terdapat 91 pasien Posterior capsule opacification yang datang ke poliklinik mata RSUP Sanglah Denpasar. Mayoritas pasien yang datang adalah lelaki (60,4%), dengan mean umur 59,23±17,448 tahun, domisili terbanyak adalah Denpasar (34,1%), dengan median waktu diagnosis 12 bulan. Terdapat peningkatan yang bermakna pada best corrected visual acuity (BCVA) sebelum dan setelah tindakan kapsulotomi, namun tidak terdapat peningkatan yang bermakna pada TIO. Tidak terdapat korelasi antara selisih BCVA dengan waktu diagnosis PCO ditegakkan.
Â
Introduction:
Posterior capsule opacification (PCO) is an opacification develop over a clear posterior capsule, a few month to years after uneventful cataract surgery. The most effective management is capsulotomy by applying Neodymium-Doped Ytrium Aluminium Garnet (ND YAG) laser. This may however be associated with some complication such as raised intra ocular pressure (IOP), glaucoma, cystoid macular edema, and retinal detachment. The aim of this study is to describe profile of PCO patients in the period of 1st January 2016 until 31st December 2017 at Sanglah General Hospital.
Method:
This report is an observational cross sectional study. Data were collected retrospectively from medical report of PCO patients in cataract and refractive surgery division in Eye Policlinic Sanglah General Hospital during 1st January 2016 until 31st December 2017. Patient’s profile was analyzed using descriptive analyses and presented as frequency, percentage, mean and median.
Result:
In the period of 1st January 2016 until 31st December 2017, there were 91 PCO patients who came to eye polyclinic. The majority is man (60.4%), age mean was 59.23±17.448 year, most of them live in Denpasar (34.1%), duration of diagnosis median is 12 month. There was statistically significant improvement of best corrected visual acuity (BCVA) before and after capsulotomy, but no significant raise of IOP before and after capsulotomy. There was no correlation between BCVA improvement with patient’s duration of PCO diagnosis.Â
Karakteristik pasien proptosis di poliklinik mata divisi rekonstruksi, okuloplasti, dan onkologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar
Ida Ayu Ary Pramita, Putu Yuliawati, Ni Made Laksmi Utari, A.A.A.Sukartini Djelantik, I.B.Putra ManuabaOnline First: May 10, 2019
- Abstract
Karakteristik pasien proptosis di poliklinik mata divisi rekonstruksi, okuloplasti, dan onkologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar
Pendahuluan: Proptosis merupakan manifestasi klinis dari suatu patologi yang mengakibatkan perubahan posisi bola mata lebih ke anterior, dapat disebabkan oleh karena penyakit didalam struktur atau sekitar orbita, dan akibat dari beberapa penyakit sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien proptosis di Poliklinik Mata Divisi Rekonstruksi, Okuloplasti, dan Onkologi (ROO) RSUP Sanglah Denpasar.Â
Metode: Penelitian observasional dengan pendekatan studi potong lintang dilakukan, dengan mengumpulkan data secara retrospektif berdasarkan rekam medis pasien proptosis di Divisi ROO Poliklinik Mata RSUP Sanglah periode Januari 2017 hingga Juni 2018. Analisis data sampel dengan SPSS for windows versi 24.0 dan data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Hasil: Subjek penelitian berjumlah 97 orang dan 112 mata dengan proptosis, terdiri dari 42 (43,3%) lelaki dan 55 (56,7%) perempuan. Mayoritas subjek adalah kelompok umur 36-50 tahun (midlife), dan tajam penglihatan mild vision loss (<0.1 dan ≥ 0.5) (34,8%). Gejala mata menonjol dan penglihatan kabur yang paling banyak dikeluhkan. Subjek lebih banyak mengalami proptosis axial 51(52,6%), dan neoplastik menjadi etiologi terbanyak yaitu 55 orang (56,7%).
Diskusi: Sejumlah 28 pasien mengalami thyroid eye disease, sebagai penyebab terbanyak pada kelompok etiologi inflamasi. Kasus proptosis bilateral seluruhnya akibat non-neoplastik dan lebih banyak mengalami tipe axial.Â
Kesimpulan: Kasus non-neoplastik lebih sering ditangani secara konservatif, sedangkan tindakan operasi lebih banyak akibat kasus neoplastik, p<0,05
Introduction: Proptosis is a clinical manifestation that results in change of eyeball position anteriorly, usually caused by conditions in the orbit or surrounding structures, and as result of several systemic diseases. Present study aimed to describe the characteristics of proptosis patients in the Eye Polyclinic of ROO Division at Sanglah General Hospital, Denpasar.Â
Methods: Observational study with a cross-sectional study approach, data collected retrospectively based on medical records in the eye clinic of ROO Division at Sanglah Hospital for the period January 2017 to June 2018. Data were analyzed by SPSS 24.0 version and presented with table and naration.Â
Results: The subjects were 97 patients and 112 proptosis eye, consisting of 42 (43.3%) men and 55 (56.7%) women. The majority of subjects were 36-50 year age group (midlife), with mild vision loss (<0.1 and ≥ 0.5) (34.8%). Protrusion of eye and blurred vision were the most prominent complain. Axial proptosis was the most common type (52,6%), and the most common etiology was neoplastic (56,7%).Â
Discussion: Twenty eight subjects had thyroid eye disease, as the most common etiology in inflammation group. Bilateral proptosis cases are entirely due to non-neoplastic cause and mostly with axial types.Â
Conclusion: Non-neoplastic cases are mostly treated conservatively, whereas surgical procedures are mostly due to neoplastic, p<0.05.
Kadar serum interleukin-10 yang rendah sebagai faktor risiko terjadinya preeklampsia
Andy Yusrizal, IGP Surya, IN Hariyasa SanjayaOnline First: May 10, 2019
- Abstract
Kadar serum interleukin-10 yang rendah sebagai faktor risiko terjadinya preeklampsia
Latar Belakang: Preeklampsia digambarkan sebagai sindrom khusus kehamilan yang dapat mengenai setiap sistem organ dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan bayi di dunia, serta penyebab kematian ibu nomor dua tertinggi setelah perdarahan di Indonesia. Salah satu teori yang banyak dipelajari adalah maladaptasi imun dimana peran sistem imun dalam kehamilan sebagai sistem kekebalan tubuh ibu. Penanda maladaptasi imun yang diduga paling berperan pada patogenesis preeklamsia saat ini adalah IL-10.
Tujuan: Mengetahui pengaruh interleukin-10 serum pada ibu hamil sebagai faktor resiko terjadinya preeklampsia.Â
Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol yang dilakukan pada Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar dan Laboratorium Prodia selama 6 bulan, dari Juni 2017 sampai dengan Desember 2017. Sampel adalah ibu hamil tunggal hidup di atas 20 minggu yang memenuhi kriteria dan bersedia ikut serta dalam penelitian. Total sejumlah 60 sampel yang terdiri atas 30 preeklamsia dan 30 kehamilan normal. Kedua kelompok diukur kadar total serum IL-10 kemudian dilakukan analisis dengan Chi square.
Hasil: Dengan uji Chi-Square menunjukan terdapat hubungan antara kadar IL-10 dengan preeklampsia. Rendahnya kadar IL-10 mempunyai risiko 5,5 kali lebih tinggi terhadap terjadinya preeklampsia (OR = 5,5, IK 95% = 1,81-16,68, p = 0,002) dibandingkan dengan kadar IL-10 yang tinggi.
Kesimpulan: Kadar serum IL-10 yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya preeklamsia.
Â
Introduction: Preeclampsia described as a special syndrome of pregnancy that can affect every organ system and is one of the leading causes of maternal and infant deaths in the world, as well as the second leading cause of maternal death after bleeding in Indonesia. One of the most studied theories is immune maladaptation in which the role of the immune system in pregnancy as the mother’s immune system. The most prominent immune maladaptation marker in the current pathogenesis of preeclampsia is Interleukin-10 (IL-10).
Objective: The purpose of this study was to determine the role of IL-10 in the mechanism of the occurrence of preeclampsia.
Methods: This study is a case-control study conducted at the Department / KSM Obstetrics and Gynecology of Sanglah Hospital Denpasar and Prodia Laboratory for 6 months, from June 2017 to December 2017. The sample is a single pregnancy over 20 weeks fulfil the inclusion and exclusion criteria. A total of 60 samples consisted of 30 preeclampsia as case group and 30 without preeclampsia as a control group. In both groups measured total serum levels of Interleukin-10 than analyzed by Chi Square test.
Results: The result from Chie Square test showed a relationship between IL-10 and preeclampsia. The low levels of IL-10 had a 5.5 times higher risk of preeclampsia (OR = 5.5, 95% IK = 1.81-16.68, p = 0.002) compared with high IL-10 levels.
Conclusion: It was concluded that low-level IL-10 was a risk factor for preeclampsia.
Distribusi tonsilitis kronis pada siswa di SD 1 Ubung Denpasar dan SD 2 Abang Karangasem
I Gusti Ngurah Gede Harrypana, Dewa Gede Arta Eka PutraOnline First: May 17, 2019
- Abstract
Distribusi tonsilitis kronis pada siswa di SD 1 Ubung Denpasar dan SD 2 Abang Karangasem
Pendahuluan:
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil. Sering karena peradangan berulang dan insiden tersering pada saat usia anak sekolah dasar. Banyak faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya tonsilitis kronik. Untuk mengetahui distribusi tonsilitis kronis pada siswa sekolah dasar di pedesaan dan perkotaan.
Bahan dan Metode:
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang (cross sectional). Sampel penelitian adalah seluruh penderita tonsilitis kronis dari siswa SD 1 Ubung Denpasar yang berada daerah perkotaan dan SD 2 Abang Karangasem yang berada di daerah pedesaan.
Hasil:
Penelitian pada SD 2 Abang didapatkan persentase yang lebih tinggi (17,2%) dibandingkan dengan di SD 1 Ubung  (12,46%). Di SD 2 Abang didapatkan 40 kejadian tonsilitis kronis dengan distribusi terbanyak pada umur 10 tahun (35%), lelaki (55%), dengan orang tua pendidikan terakhir SMU (50%), status ekonomi tidak miskin (77,5 %), ukuran tonsil T2-T2 (82,5%), dan status gizi kurang (50%). Di SD 1 Ubung didapatkan 68 siswa dengan tonsilitis kronik dengan distribusi terbanyak pada umur 11 tahun (36,8%), lelaki (42,6%), dengan orang tua pendidikan terakhir SMU (41,2%), status ekonomi tidak miskin (69,1 %), ukuran tonsil T2-T2 (77,9%), dan status gizi normal (50%).
Â
Introduction:
Chronic Tonsillitis is a chronic inflammation that affects the entire tonsil tissue. It is due to recurrent inflammation and the most common incidence at the age of primary school children. Chronic tonsillitis affected by many predisposing factors. To determine the distribution of primary students with chronic tonsillitis in rural and urban.
Method:
This research is a descriptive research using cross sectional design. The samples were all student of SD 1 Ubung Denpasar at urban area and student SD 2 Abang Karangasem at rural area who suffer chronic tonsillitis.
Result:
Research on SD 2 Abang got higher percentage (17.2%) compared to SD 1 Ubung (12.46%). In SD 2 Abang, there were 40 cases of chronic tonsillitis with the highest distribution at age 10 years (35%), male (55%), with parents last education is senior high school (50%), non-poor economic status (77.5%), size of T2-T2 tonsils (82.5%), and less nutritional status (50%). In SD 1 Ubung, there were 68 students with chronic tonsillitis with the highest distribution at the age of 11 years (36.8%), male (42.6%), with parents last education is senior high school (41.2%), poor economic status (69.1%), T2-T2 tonsil size (77.9%), and normal nutritional status (50%).
Faktor risiko yang mempengaruhi pembesaran volume prostat pada pasien pembesaran prostat jinak yang dilakukan reseksi prostat transuretra
Yudit Anastasia Sari, Gede Wirya Kusuma Duarsa, Tjokorda Gde Bagus MahadewaOnline First: May 16, 2019
- Abstract
Faktor risiko yang mempengaruhi pembesaran volume prostat pada pasien pembesaran prostat jinak yang dilakukan reseksi prostat transuretra
Pendahuluan:
Pembesaran prostat jinak atau benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai. Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi jinak kelenjar prostat. Penelitian yang telah ada sebelumnya belum menyatakan faktor risiko mana yang paling berperan terhadap terjadinya BPH. Penulis mencoba mencari tahu faktor risiko mana di antara usia, infeksi saluran kemih, diabetes melitus (DM tipe 2), obesitas, dislipidemia, kadar testosteron, kadar PSA, serta kadar TNF-α dan kadar TGF-β jaringan prostat yang paling berperan dalam volume prostat.
Bahan dan Metode:
Penelitian ini menggunakan rancangan analitik kohort retrospektif dengan data diambil dari rekam medis, dengan melibatkan 83 subjek penelitian yaitu pasien BPH berusia 50-80 tahun yang dilakukan reseksi prostat transuretra di Bali dengan hasil pemeriksaan histopatologi jinak. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada karakteristik subjek penelitian. Analisis bivariat (uji Spearman) untuk mencari hubungan antara faktor risiko dengan volume prostat.
Hasil:
Terdapat korelasi positif antara kadar PSA dengan volume prostat (p<0,001) dan kadar testosteron dengan volume prostat (p=0,059, moderate signifikan). Analisis multivariat (regresi linier) didapatkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap volume prostat adalah kadar PSA dan testosteron. Setiap peningkatan 1 ng/ml PSA serum akan meningkatkan volume prostat sebesar 1,4 ml (p<0,001) dan setiap peningkatan 1 ng/ml hormon testosteron akan meningkatkan volume prostat sebesar 0,024 ml (p=0,005). Kadar PSA dan kadar testosteron merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap volume prostat.
Introduction:
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) is a common degenerative disease. Many contributing factors that affect benign prostatic proliferation. Many previous studies have not concluded which factors most affecting BPH. This study is aimed at figuring out whether aging, urinary tract infection, diabetes mellitus (DM), obesity, dyslipidemia, testosterone level, PSA level, TNF-α and TGF-β level in prostatic tissue is the most affecting factor to prostatic volume.
Method:
We conducted an analytical retrospective cohort study with data collected from the medical record. We enrolled 83 BPH Balinese patients who underwent TURP with benign histopathologic results. The baseline data were not significantly different. Bivariate analysis (Spearman’s test) were used to find the correlation between risk factors and prostatic volume.
Result:
There was a positive correlation between PSA level and prostatic volume (p<0.001) and between testosterone level and prostatic volume (p=0.059, significantly moderate). Multivariate analysis (linear regression) concluded that PSA level and testosterone level affect the prostatic volume. For every 1 ng/ml raise in PSA value, there will be 1.4 ml prostatic volume enlargement (p<0.001) and for every 1 ng/ml raise in testosterone level, there will be 0.024 ml prostatic volume enlargement (p=0.005). We concluded that PSA level and testosterone level are the most affecting factors to the prostatic volume.
Hubungan prostate specific antigen (PSA) dengan rasio stromal epitelial prostat pada pasien pembesaran prostat jinak
Maria Yustina, Gede Wirya Kusuma Duarsa, Anak Agung Gde Oka, I Wayan Yudiana, I Kadek Budi Santosa, Tjok G.B MahadewaOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Hubungan prostate specific antigen (PSA) dengan rasio stromal epitelial prostat pada pasien pembesaran prostat jinak
Background: Benign Prostatic Hyperplasia is the most common benign lesion in male. Imbalance between proliferation and apoptotic is the cause of benign prostatic hyperplasia. Epithelial and stromal growths are associated with active proliferation that influenced by many factors and mechanism, including Epithelial Mesenchymal Transition. Prostate Specific Antigen (BPH) has role in prostate’s stromal epithelial ratio changing in patient with benign prostatic hyperplasia. Aim of the study is to determine the correlation between Prostate Specific Antigen with stromal epithelial ratio of prostate in patient with benign prostate hyperplasia.
Methods: 83 BPH patients, 50 to 80 years old with 20 to 80 grams prostates from ultrasound examination who underwent prostate trans uretra resection, had blood PSA examination and prostate specimens examination to evaluate the stromal epithelial ratio. Â The data will be analize statistically.
Result: Prostate Specific Antigen has negative correlation with stromal epithelial ratio r -0,28 with p 0,01. PSA is autocrine for epithelial cells and paracrine for stromal cells and stimulate proliferations in both cells.
Conclusion: Prostate specific antigen has negative correlation with stromal epithelial ratio.
Perbandingan jumlah sel mononuklear, jumlah sel fibroblas, ukuran fibrosis, dan perlengketan klinis jaringan peridural pasca prosedur kraniektomi dekompresi dengan dan tanpa proceed surgical mesh pada kelinci new zealand cedera otak traumatik
Kadek Yudi Fajar Mahendra, I Wayan Niryana, Nyoman GoldenOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Perbandingan jumlah sel mononuklear, jumlah sel fibroblas, ukuran fibrosis, dan perlengketan klinis jaringan peridural pasca prosedur kraniektomi dekompresi dengan dan tanpa proceed surgical mesh pada kelinci new zealand cedera otak traumatik
Latar Belakang: Salah satu penyebab utama komplikasi dan kematian yang timbul akibat cedera otak traumatika adalah hipertensi intrakranial. Terapi untuk mengendalikan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) adalah dengan melakukan tindakan kraniektomi dekompresi sebelum tindakan definitif. Komplikasi yang sering ditemukan setelah kraniektomi dekompresi adalah adanya perlengketan/adhesi. Penggunaan proceed surgical mesh sebagai membran bioabsorbable diperkirakan mampu mencegah terjadinya fibrin bridge formation dan adhesi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek tindakan kraniektomi dekompresi dengan proceed surgical mesh terhadap jumlah sel mononuklear, jumlah sel fibroblas, ukuran fibrosis dan perlengketan klinis pada jaringan peridural kelinci new zealand dengan cedera otak traumatik.
Metode: Penelitian ini menggunakan model binatang dengan rancangan the randomized post-test only control grup design. Sebanyak 20 sampel yang memenuhi kriteria dilibatkan dalam penelitian dan dilakukan randomisasi. Sebanyak 10 sampel dikelompokkan sebagai kelompok kontrol yaitu kelompok kelinci new zealand pascaoperasi kraniektomi dekompresi tanpa proceed surgical mesh dan kelompok perlakuan yaitu kelompok kelinci new zealand pascaoperasi kraniektomi dekompresi dengan proceed surgical mesh. Pada hari ke 28 dilakukan euthanasia dan pengambilan jaringan peridural untuk pemeriksaan jumlah sel mononuklear, jumlah sel fibroblas, dan ukuran fibrosis. Jumlah sel mononuklear, jumlah sel fibroblas dan ukuran fibrosis diperiksa dengan tehnik histopatologis. Perlengketan klinis dinilai dari adanya perlengketan antara duramater dengan jaringan otot temporalis, fascia atau kulit di atasnya. Uji hipotesis menggunakan uji independent t test dan Mann Whitney untuk data berskala numerik dan uji Chi Square untuk data berskala katagorik, dengan tingkat kemaknaan adalah p<0,05.
Hasil: Dari hasil penelitian didapatkan rerata jumlah sel mononuklear lebih rendah pada kelompok perlakuan (6,7±4,8 sel/LP) dibandingkan kelompok kontrol (7,0±3,0 sel/LP). Berdasarkan hasil analisis perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,481). Rerata jumlah sel fibroblas lebih rendah pada kelompok perlakuan (15,5±4,1 sel/LP) dibandingkan  kelompok kontrol (17,8±5,3 sel/LP). Berdasarkan hasil analisis perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p= 0,292). Rerata ukuran fibrosis menunjukkan perbedaan yang bermakna dimana lebih rendah pada kelompok perlakuan (549,4±309,1μm) dibandingkan kelompok kontrol (830,9±342μm) dengan p=0,023.  Kelompok perlakuan dengan menggunakan proceed surgical mesh secara bermakna dapat mencegah 89% terjadinya perlengketan klinis (p<0,001).
Simpulan: Tindakan kraniektomi dekompresi dengan proceed surgical mesh secara bermakna menyebabkan ukuran fibrosis dan risiko perlengketan klinis lebih rendah pada jaringan peridural kelinci new zealand dengan cedera otak traumatika.
Â
Â
Introduction: One of the main causes of complications and deaths arising from traumatic brain injury is intracranial hypertension. Therapy to control the increase in intracranial pressure (TIK) is to perform a decompressive craniectomy before definitive treatment. A common problem after decompressive craniectomy is adhesion. The use of proceed surgical mesh as a bioabsorbable membrane is estimated to be able to prevent the occurrence of fibrin bridge formation and adhesion. This study aims to prove the effects of decompressive craniectomy with proceed surgical mesh on mononuclear cells counts, fibroblast cell counts, fibrosis size and clinical adhesions in the peridural of new zealand rabbits with traumatic brain injury.
Method: This research uses animal model with randomized post-test only control group design. A total of 20 samples that met the eligibility criteria were included in the study and randomized. A total of 10 samples were grouped as a control group namely the new zealand rabbit group after decompressive craniectomy without proceed surgical mesh and 10 samples the treatment group namely the new zealand rabbit group after decompressive craniectomy with proceed surgical mesh. On day 28, we performed euthanasia and peridural tissue were taken for examination of mononuclear cells counts, fibroblast cell count, and fibrosis size. Mononuclear cells counts, fibroblast cells counts and the size of fibrosis was examined with histopathological techniques. Clinical adhesions is judged by the adhesions between the duramater and the temporalis muscle tissue, fascia or the overlying skin. Hypothesis test using unpaired t test and Mann-Whitney for numerical scale data and Chi Square test for categoric scale data, with significance level p <0,05.
Result: From the results of the study it was found that the mean number of mononuclear cell counts was lower in the treatment group (6.7 ± 4.8 cells / LP) than the control group (7.0 ± 3.0 cells / LP).Based on the results of the analysis this difference was not statistically significant (p = 0.481). The mean number of fibroblast cells was lower in the treatment group (15.5 ± 4.1 cells / LP) than in the control group (17.8 ± 5.3 cells / LP).Based on the results of the analysis, this difference was not statistically significant (p = 0.292). The mean fibrosis size showed a significant difference which was lower in the treatment group (549.4 ± 309.1μm) than the control group (830.9 ± 342μm) with p = 0.023.The treatment group by using proceed surgical mesh can significantly prevent 89% of clinical adhesions (p <0.001).Conclusion: Decompressive craniectomy with proceed surgical mesh significantly causes lower fibrosis size and lower risk of clinical adhesions in the peridural new zealand rabbits with traumatic brain injury.
Kualitas hidup pada pasien penderita kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar periode Juni 2016 hingga Januari 2017
Aris Joe, Made DarmayasaOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Kualitas hidup pada pasien penderita kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar periode Juni 2016 hingga Januari 2017
Pendahuluan: Insiden kanker serviks yang semakin tinggi, dibarengi dengan deteksi dini yang semakin baik membuat perubahan paradigma akan keberlangsungan pasien kanker serviks yang semakin baik, tentunya hal ini menimbulkan perubahan terkait kualitas hidup. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengkajian kualitas hidup pada pasien kanker serviks di RSUP Sanglah periode Juni 2016 hingga Januari 2017.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional deskriptif, yang dilakukan selama periode Juni 2016 hingga Januari 2017 di ruang rawat inap ginekologi RSUP Sanglah, data kualitas hidup di kaji menggunakan kusioner FACT-Cx (Version 4) yang sudah di validasi dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS versi 25.0 data disajikan dalam bentuk tabel.
Hasil: Domain kesejahteraan fisik paling banyak mengalami keluhan seperti rasa nyeri dan aktivitas fisik (activity daily living). Pada domain kesejahteraan sosial banyak dari responden yang mengalami penurunan fungsi sesksual. Pada domain kesejahteraan emosional banyak yang mengalami kehilangan harapan dalam pengobatan. Domain kesejahteraan fungsional terbanyak mengalami gangguan tidur. Pada domain additional concern banyak yang mengalami gangguan pada bau dari kanker pada organ genital mereka.
Simpulan: Mengingat meningkatnya jumlah penderita kanker serviks, memahami faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi kualitas hidup menjadi hal yang sangat penting. Usia pasien, kepercayaan diri, dan dukungan sosial memainkan peran penting dalam kualitas hidup penderita kanker serviks.
Â
Faktor risiko kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus di ruang perinatologi RSUD Wangaya Kota Denpasar
Felicia Anita Wijaya, I Wayan Bikin SuryawanOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Faktor risiko kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus di ruang perinatologi RSUD Wangaya Kota Denpasar
Latar Belakang: Hiperbilirubinemia pada neonatus merupakan kondisi yang sering ditemukan. Sekitar 60-70% neonatus cukup bulan dan 80% neonatus kurang bulan mengalami ikterus dalam minggu pertama kehidupan.Sebagian besar hiperbilirubinemia adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh usia gestasi, metode persalinan, berat badan lahir, usia ibu, ASI dan asfiksia neonatorum sebagai faktor resiko terjadinya hiperbilirubinemia pada neonatus.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan kasus dan kontrol. Sebagai kelompok kasus adalah neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia dan sebagai kelompok kontrol adalah neonatus yang tidak mengalami hiperbilirubinemia. Data yang digunakan diambil dari rekam medis pasien yang dirawat di ruang perinatologi RSUD Wangaya pada periode 1 Agustus 2018−31 Desember 2018.
Hasil: Dari jumlah bayi yang dirawat di ruang Perinatologi RSUD Wangaya yaitu sebesar 287 bayi, dilakukan matching jenis kelamin laki-laki dan perempuan sehingga didapatkan jumlah sampel laki-laki sebesar 58,1% dan perempuan 41,9% pada masing-masing kelompok kasus maupun kontrol. Pada analisis bivariat didapatkan hasil faktor risiko yang dapat dianalisis multivariat adalah faktor risiko usia gestasi (p=0,012, OR=4), metode persalinan (p=0,134, OR=0,4, berat badan lahir (p=0,189, OR=2), dan ASI (p=0,001, OR=5,25). Hasil analisis multivariat dimana faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya hiperbilirubinemia adalah usia gestasi (p=0,049, OR=4,686) dan ASI (p=0,000, OR=7,170).
Simpulan: Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya hiperbilirubinemia adalah usia gestasi dan ASI.
Karakteristik dan perbedaan kelainan refraksi pada anak usia sekolah dasar di Sekolah Dasar Cipta Dharma Denpasar februari 2014
Komang Dian Lestari, Tri Ariesanti Handayani, Cokorda Istri Dewiyani Pemayun, Ida Bagus Putra ManuabaOnline First: May 24, 2019
- Abstract
Karakteristik dan perbedaan kelainan refraksi pada anak usia sekolah dasar di Sekolah Dasar Cipta Dharma Denpasar februari 2014
Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab utama gangguan penglihatan di dunia, dan penyebab kebutaan peringkat kedua yang bisa ditangani. Gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi merupakan masalah kesehatan penting pada 12 tahun pertama kehidupan anak. WHO menekankan diperlukannya perhatian khusus penanganan kelainan refraksi, salah satunya pada anak–anak usia sekolah dasar. Berbagai studi di dunia menunjukkan perbedaan karakteristik kelainan refraksi memiliki pola menurut umur dan jenis kelamin. Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional deskriptif, dengan pendekatan studipotong lintang analitik (analytical cross sectional), yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik kelainan refraksi pada anak–anak usia sekolah dasar. Data diambil melalui kuisioner dan pemeriksaan mata dasar di sekolah dasar (SD) Cipta Dharma Denpasar pada tanggal 25 Februari hingga 31 Februari tahun 2014. Subyek penelitian adalah seluruh anak – anak SD Cipta Dharma, usia 6–13 tahun yang hadir saat diadakan penelitian. Dari 1023 siswa SD Cipta Dharma kelas I hingga kelas VI, didapatkan kejadian gangguan penglihatan sebesar 36,3% yang didominasi oleh gangguan penglihatan ringan. Kejadian kelainan refraksi ditemukan sebesar 31,9%, dengan tipe kelainan yang terbanyak adalah hipermetropia (12,9%), disusul miopia (11,8%), dan astigmatisme 7,1%. Kejadian kelainan refraksi tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin dan suku, namun terdapat tren dari segi usia. Miopia cenderung terjadi pada kelompok usia yang lebih tua atau kelas yang lebih tinggi (V dan VI), sedangkang hipermetropia dan astigmatisme cenderung didapatkan pada usia muda, Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi di SD Cipta Dharma Denpasar didapatkan sebesar 23,8%.
Refractive errors is one of the most common causes of visual impairment around the world and the second leading cause of treatable blindness. Impaired vision due to refractive error is an important health problem in the first 12 years of a child's life. WHO emphasizes the need for special attention to handle refractive errors, one of them in elementary school-age children Various studies in the world show the characteristics of refractive disorders have a pattern according to age and gender. This study is a descriptive observational study, with analytical cross-sectional approach, which aims to determine characteristics of refractive errors in elementary school-age children. Data retrieved through questionnaires and basic ophthalmology examination at Cipta Dharma Denpasar primary school on February 25 to February 31, 2014. Subjects were all Cipta Dharma elementary school children, aged 6 - 13 years who present at the time of study. From 1023 students of Cipta Dharma primary school grade I to VI, the incidence of visual impairment was 36.3%, which was dominated by mild visual impairment. The incidence of refractive errors was 31.9%, which is hypermetropia (12.9%), followed by myopia (11.8%), and astigmatism 7.1%. The incidence of refractive errors is not affected by gender and ethnicity, but there is a trend in terms of age. Myopia tends to occur in older age groups or higher classes (V and VI), hypermetropia and astigmatism tend to be acquired at a young age. The prevalence of uncorrected refractive errors of Cipta Dharma Denpasar primary school was 23,8%.
Prevalensi stunting pada toddler dengan keluhan sulit makan dan hubungannya dengan asupan nutrisi pada satu tahun pertama
Ni Komang Diah Saputri, I Gusti Lanang Sidiartha, IGAP Eka PratiwiOnline First: May 9, 2019
- Abstract
Prevalensi stunting pada toddler dengan keluhan sulit makan dan hubungannya dengan asupan nutrisi pada satu tahun pertama
Latar belakang: Kesulitan makan merupakan masalah yang sering dialami oleh anak terutama pada masa toddler. Hal ini akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan anak yang dapat menyebabkan stunting. Prevalensi stunting di Indonesia masih cukup tinggi dan erat kaitannya dengan malnutrisi jangka panjang.
Tujuan: Untuk mencari prevalensi stunting pada toddler dengan keluhan sulit makan dan dihubungkan dengan jenis asupan nutrisi pada satu tahun pertama
Metode: Uji potong lintang pada 87 toddler (anak berusia 1-3 tahun) dengan keluhan sulit makan yang kontrol ke poli anak RSUP Sanglah Denpasar sejak bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Hubungan stunting dengan asupan nutrisi 1 tahun pertama dianalisis dengan chi square test dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik. Dianggap signifikan bila P<0,05
Hasil: Prevalensi stunting sebesar 33,3%, lelaki sebesar 50,6% dan perempuan sebesar 49,4%. Hubungan antara stunting dengan pemberian ASI tidak eksklusif secara statistik bermakna dengan nilai PR=4,61 (IK 95%: 1,23-17,22, p=0,023). Pada usia awal MPASI < 4 bulan atau > 6 bulan berhubungan dengan stunting dengan PR=8,39 (IK 95%: 2,11-33,37, p=0,003). Jenis awal MPASI berupa makanan tidak terforti kasi berhubungan secara signi kan dengan stunting dengan PR = 4,57 (IK 95%: 1,45-14,41, p=0,009).
Simpulan: Prevalensi stunting pada toddler dengan keluhan sulit makan sebesar 33%. Kejadian stunting berhubungan dengan riwayat pemberian ASI tidak eksklusif dan usia awal dimulainya pemberian MPASI yang lebih dini atau lebih lambat, serta berhubungan dengan pemberian MPASI yang tidak terfortifikasi pada anak.
Background: Feeding di culty is a common problem among children, especially during toddler. The feeding complication will impact the growth of children, which leads to stunting. The prevalence of stunting in Indonesia is still high and closely related to long-term malnutrition.
Objective: To determine the prevalence of stunting in a toddler with feeding di culty complaints and its correlation with the toddler type of nutrition in the rst year.
Method: Cross-sectional study in 87 toddlers (children aged 1-3 years) with feeding di culty complaints in Sanglah Hospital from February 2012 to July 2012. The relationships of stunting and nutrition of the rst year analyzed using the Chi-square test and logistic regression and signi cant if P value < 0.05.
Result: The prevalence of stunting was 33.3%. Male was 50.6%, and the female was 49.4%. The relationship between stunting and the non-exclusive breastfeeding was statistically signi cant PR=3.367 (IK 95%:1.24-9.10, p=0.012). The relationship between stunting and rst ages of nutrition intake of < 4 months or > 6 months was statistically signi cant with PR=8.39 (IK 95%: 2.11-33.37, p=0.003). The relationship between stunting and the types of rst nutrition intake of forti ed food was statistically signi cant PR = 4.57 (IK 95%: 1.45-14.41, p=0.009).
Conclusion: The prevalence of stunting on the toddler with feeding di culty complaints was 33%. Stunting events are associated with a non-exclusive breastfeeding history and early-onset of early or slower breastfeeding complementary feeding and associated with unforti ed breastfeeding supplementation in children.
Â
Validitas diagnostik Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) pada trauma tumpul abdomen di RSUP Sanglah Denpasar, Bali
Adityas Sukmadi Karjosukarso, I Ketut Wiargitha, Tjokorda Gde Bagus MahadewaOnline First: Jun 11, 2019
- Abstract
Validitas diagnostik Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) pada trauma tumpul abdomen di RSUP Sanglah Denpasar, Bali
Pendahuluan: Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab kematian ke-3 pada pasien trauma dan dapat ditemukan sekitar 7–10% dari jumlah seluruh kasus trauma. Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) memberikan akurasi tinggi dalam mendiagnosis cedera organ intra-abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen berdasarkan gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan sik dan FAST. Penelitian uji diagnostik untuk mengetahui validitas nilai diagnostik skor BATSS pada kasus trauma tumpul abdomen.
Bahan dan Metode: Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Sanglah Denpasar dengan jumlah sampel sebanyak 44 penderita. Dengan populasi penderita trauma tumpul abdomen yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Desain penelitian ini adalah cross-sectional.
Hasil: Pada 44 penderita, skor BATSS 312 terdapat pada 34 (77,3 %) dan skor BATTS <12 sebanyak 10 (22,7 %). Untuk kelompok dengan skor BATSS 312, terdapat 32 (94,11%) penderita, sedangkan untuk kelompok dengan skor BATSS <12, sebanyak 3 (30%) penderita dengan ruptur organ. Uji validitas yang dilakukan terhadap skor BATSS didapatkan sensitivitas 91,4%, spesi sitas 77,77%, nilai prediksi positif 94,1%, angka prediksi negatif 70%.Skor BATSS dapat membantu sebagai alat identi kasi awal dan strati kasi pasien yang berisiko tinggi terjadinya cedera organ intra-abdomen akibat trauma tumpul abdomen.
Kesimpulan: Skor BATSS dapat membantu sebagai alat identi kasi awal dan strati kasi pasien yang berisiko tinggi terjadinya cedera organ intra-abdomen akibat trauma tumpul abdomen.
Â
Introduction: Abdominal trauma is one of the third causes of death in trauma patients and can be found in about 7-10% of the total number of trauma cases. The Abdominal Blunt Trauma Scoring System (BATSS) provides a high-accuracy score system for diagnosing injury to intra-abdominal organs in abdominal blunt trauma patients based on clinical features such as patient history, physical examination and FAST. This study is a diagnostic test study to determine the validity of diagnostic value of BATSS score in cases of blunt abdominal trauma.
Method: This research was conducted at RSUP Sanglah Denpasar with a total sample of 44 patients. With a population of abdominal blunt trauma patients who meet the inclusion and exclusion criteria. The design of this study was cross sectional.
Result: Of the 44 patients, BATSS score 3 12 was found at 34 (77.3%) and BATTS <12 scores of 10 (22.7%). For groups with BATSS score 312, there were 32 (94.11%) patients. As for the group with BATSS score < 12, as many as 3 (30%) patients with organ rupture. Validity test of BATSS score obtained 91.4% sensitivity, 77.77% speci city, positive predictive value 94.1%, negative predictive value 70%. BATSS can be a tool of early identi cation and strati cation of patients at high risk of the occurrence of intra-abdominal organ injury due to blunt abdominal trauma.
Conclusion: BATTS score can help to identify and to do strati cation to patient with high risk of intra-abdominal injury because of abdominal blunt trauma.
Hubungan antara sepsis dan kejadian sindroma delirium pada penderita lanjut usia dengan penyakit infeksi di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar
Candra Lasmono, I.G.P. Suka Aryana, Tuty Kuswardhani, Nyoman Astika, I.B. Putrawan, Ketut Rai PurnamiOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Hubungan antara sepsis dan kejadian sindroma delirium pada penderita lanjut usia dengan penyakit infeksi di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan: Sindroma delirium pada lanjut usia masih merupakan problem kesehatan karena meningkatkan resiko kematian dan memperpanjang masa rawat pada pasien lanjut usia. Diperkirakan sekitar 10-30% pasien lanjut usia yang datang ke unit gawat darurat menderita sindroma delirium. Sepsis merupakan kumpulan gejala dari respon in amasi sistemik akibat infeksi dan sering dihubungkan dengan kejadian sindroma delirium pada penderita lanjut usia. Studi ini bertujuan untuk mencari hubungan antara sepsis dengan kejadian sindroma delirium pada penderita lanjut usia dengan penyakit infeksi yang datang di Instalasi Gawat Darurat RSUP sanglah.
Bahan dan Metode: Studi ini menggunakan potong lintang analitik observasional pada 60 penderita lanjut usia (usia ≥60 tahun) dengan penyakit infeksi yang datang Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah periode Januari 2015 sampai dengan April 2015.
Hasil: Sampel penelitian berjumlah 60 orang, dengan lelaki sebanyak 39 orang (65%) dan perempuan 21 orang (35%) serta rerata usia 72,31±8,35 tahun. Infeksi paru didapatkan pada 35 kasus (58,3%), infeksi saluran kemih pada 10 kasus (16,7%), infeksi saluran cerna 5 kasus (8,3%), infeksi saluran empedu 3 kasus (5%) dan infeksi kulit dan soft tissue 7 kasus (11,7%). Kejadian sindroma delirium pada pasien sepsis sebesar 16 kasus (84,2%) sedangkan kejadian sindroma delirium pada pasien tanpa sepsis sebesar 3 kasus (15,8%).Uji Pearson Chi-Square menunjukkan hasil bermakna (P< 0,05).
Kesimpulan: Sepsis berhubungan dengan kejadian sindrom delirium pada penderita lanjut usia dengan penyakit infeksi yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar.
Introduction: Delirium syndrome in elderly is still a health problem because it increases the risk of death and hospital’s length of stay. It is estimated that approximately 10-30% of elderly people who come to the emergency department su er from delirium syndrome. Sepsis is a collection of symptoms of the systemic in ammatory response due to infection and related to delirium syndrome in elderly patients. This study is intended to nd the relationship between sepsis with the incidence of delirium syndrome in the elderly patients with infectious diseases that come to the emergency ward of Sanglah General Hospital.
Method: An analytical cross-sectional study was performed in 60 elderly patients (≥60 years old) with infectious diseases that come to Emergency Ward of Sanglah General Hospital from January 2015 to April 2015.
Result: The sample was 60 people, which is consist of 39 men (65%) and 21 women (35%). The mean age for this study is 72,31±8,35 years old. Lung infections were occured in 35 cases (58.3%), 10 cases (16.7%) with urinary tract infections, 5 cases (8.3%) with gastrointestinal infections, 3 cases (5%) with bile duct infections and 7 cases (11.7%) skin and soft tissue infection. The incidence of delirium syndrome in sepsis patients was 16 cases (84.2%) while the incidence of delirium syndrome in patients without sepsis was 3 cases (15.8%). The Pearson Chi-Square test showed signi cant results (P <0.05).
Conclusion: Sepsis is associated with the incidence of delirium syndrome in elderly patients with infectious diseases that come to the emergency ward of Sanglah General Hospital.
Karakteristik pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis pada poliklinik VCT RSUP Sanglah
Dwiputra Yogi p, Dewi Dian S, AAA Yuli Gayatri, Made Susila Utama, Agus Somia, Tuti Parwati MOnline First: Aug 8, 2019
- Abstract
Karakteristik pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis pada poliklinik VCT RSUP Sanglah
Pendahuluan: Infeksi TB sering ditemukan pada pasien dengan HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran karakteristik pasien-pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi TB di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar dan mengetahui hubungan antara kadar CD4 awal dengan jenis infeksi TB pada pasien-pasien HIV/AIDS.
Bahan dan Metode: Metode pada penelitian ini menggunakan rancangan kohort retrospektif untuk menilai karakteristik dan menganalisis hubungan antara kadar CD4 awal dengan jenis infeksi TB. Populasi penelitian ini adalah pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi TB yang melakukan pemeriksaan di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar.
Hasil: Didapatkan penderita koinfeksi TB pada pasien HIV/AIDS sebanyak 130 kasus dimana kasus dengan koinfeksi TB paru sebanyak 80 (61,5%) kasus, koinfeksi TB ekstraparu sebanyak 28 (21,5%) kasus dan koinfeksi TB diseminata sebanyak 22 (17%) kasus. Ditemukan pasien dalam kondisi HIV/AIDS Stadium III sebanyak 29 (22,3%) kasus, HIV/AIDS Stadium IV 101 (77,7%) kasus. Kadar CD4 awal 86 (1-685).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar CD4 awal dengan jenis infeksi TB pada pasien HIV/AIDS memiliki hubungan yang bermakna (p=0,031).
Introduction: TB infection is common in patients with HIV/AIDS infection. This study aims to provide an overview of the characteristic of HIV/AIDS infection patients comorbid with TB infection in VCT polyclinic Sanglah Hospital and to know the relationship between initial CD4 and type of TB infection in HIV/AIDS.
Method: The study used a retrospective cohort design to assess characteristic and analyze the relationship between initial CD4 and type of TB infection in HIV/AIDS patients. The population in this study were all TB patients comorbid with HIV/AIDS infection who conducted examination in VCT polyclinic Sanglah Hospital.
Result: This study found 130 cases where case with pulmonary TB coinfection were 80 (61.5%), extra pulmonary TB coinfection were 28 (21.5%) cases and disseminated TB were 22 (17%) cases. Other result was 29 (22.3%) cases HIV/AIDS infection in stadium III, 101 (77.7%) cases in stadium IV. The initial CD4 was 86 (1-685).
Conclusion: This study showed that baseline CD4 cell count with type of TB infection in HIV/AIDS patients had a signi cant relationship (p=0.031).
Prevalensi dan karakteristik anak dengan leukemia limfoblastik akut tahun 2011-2015 di RSUP Sanglah Denpasar
Ardanta Dat Topik Tarigan, Ketut Ariawati, Putra WidnyanaOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Prevalensi dan karakteristik anak dengan leukemia limfoblastik akut tahun 2011-2015 di RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan: Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) berkontribusi sebagai jenis kanker anak terbanyak dan dapat menyerang berbagai jenis kelamin dan tingkatan usia di dunia. Data terbaru mengenai karakteristik pasien LLA di RSUP Sanglah Denpasar saat ini belum ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik pasien LLA pada anak yang dirawat di RSUP Sanglah.
Bahan dan Metode: Desain penelitian deskriptif retrospektif, data didapatkan dari rekam medis dan register dengan subyek anak yang menderita LLA yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar pada periode tahun 2011-2015.
Hasil: Prevalensi LLA pada anak yang menderita kanker darah adalah 87% (88 dari 101) dan 51% dari seluruh keganasan. Selama periode penelitian terdapat 88 penderita LLA usia 1 bulan-12 tahun yang dirawat di bangsal anak RSUP Sanglah. Sebagian besar penderita LLA adalah lelaki, 44 kasus (52%). Penderita LLA terbanyak pada kelompok usia 18 bulan-10 tahun adalah 76 kasus (90%). L2 ditemukan sebanyak, 61 kasus (72%). Manifestasi klinis awal tersering adalah pucat dan demam yaitu 81 (96%) dan 74 (88%). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan jumlah leukosit terbanyak di bawah 10.000/mm3, 30 kasus (43%), kadar hemoglobin terbanyak adalah di bawah 7,0 g/dL, 40 kasus (48%), sedangkan jumlah trombosit terbanyak adalah di bawah 20.000/ mm3, 41 kasus (49%).
Kesimpulan: Kami menyimpulkan bahwa prevalensi LLA anak di RSUP Sanglah adalah 87%, yang terjadi lebih sering pada anak laki-laki berusia 18 bulan-10 tahun dengan tipe terbanyak adalah L2. Manifestasi awal subyek meliputi pucat dan demam dengan penunjang pansitopenia.
Â
Introduction: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the highest prevalence malignancy found in children that a ect all ages and sex. Currently, there is no data available about the characteristics of ALL patients at Sanglah Hospital, Denpasar. The aim of this study was to obtain prevalence and characteristics of children with ALL in Sanglah Hospital, Denpasar.
Method: We used descriptive retrospective design, by reviewing medical records of ALL patients during 2011 until 2015.
Result: The prevalence of ALL among children with blood cancer was 87% (88 of 101) and 51% among all cancer. During the study period, 88 children aged 1 month until 12 years old were diagnosed with ALL. From 84 children remains, majority subjects were male, 44 (52%). Age of onset 18 months to 10 years old was found to be the most dominant, 76 (90%) cases. L2 type was found in 61 (72%) children. Pale and fever were the most common clinical manifestation during admission, 81 (96%) and 74 (88%), respectively. First leukocyte count below 10.000/mm3 was founding 30 (43%) cases, hemoglobin level below 7.0 g/dL was found in 40 (48%) cases, and platelet count below 20.000/mm3 was found in 41 (49%) cases.
Conclusion: We concluded that prevalence of ALL among children with blood cancer was 87%, with male predominance; highest age onset was 18 months-10 years old, mostly was L2 type, with early clinical manifestations were pale and fever. Common laboratory ndings were pancytopenia.
Korelasi albumin serum dan interleukin-6 (IL-6) serum pada pasien geriatri di RSUP Sanglah Denpasar Bali Indonesia
Ni Made Darma Patni Sri Rejeki, R.A. Tuty KuswardhaniOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Korelasi albumin serum dan interleukin-6 (IL-6) serum pada pasien geriatri di RSUP Sanglah Denpasar Bali Indonesia
Pendahuluan: Albumin adalah suatu protein yang penting dalam proses penyembuhan luka dan apabila kehilangan protein akan menghambat proses penyembuhan luka. Kebutuhan protein meningkat saat terjadi cedera, untuk proses in amasi, imunitas dan pembentukan jaringan granulasi. Saat in amasi, terjadi peningkatan jumlah sitokin khususnya IL-6 yang bertanggung-jawab pada fase akut. Peningkatan sitokin ini menyebabkan terjadinya penarikan albumin dari intravaskuler ke dalam hati dan sirkulasi hingga proses in amasi selesai. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan albumin serum dan IL-6 serum pada pasien geriatri.
Bahan dan Metode: Penelitian ini menggunakan studi observasional dengan rancangan potong lintang analitik, pengambilan sampel dengan cara konsekutif. Subjek adalah pasien geriatri (usia ≥60 tahun) yang dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia antara November 2014-Pebruari 2015 (n=71). Kadar albumin serum diukur di laboratorium RSUP Sanglah menggunakan bromcresol green method dan kadar IL-6 serum menggunakan Human Interleukin 6 Immunoassay (Quantikine)kit. Uji statistik menggunakan uji non- parametrik Spearman.
Hasil: Adapun hasil penelitian ini yaitu terdapat korelasi negatif signi kan antara albumin serum dan IL-6 serum (r=-0,305; P=0,009).
Kesimpulan: Semakin tinggi kadar IL-6 serum maka semakin rendah kadar albumin serum.
Â
Introduction: Albumin is a protein in the blood that is necessary for wound healing and if the lack of protein can inhibit wound healing. Protein requirements increase during injury, for in ammatory processes, immunity and granulation tissue formation. During in ammation, an increase in the number of cytokines especially IL-6 is responsible for the acute phase. This resulted in increased cytokine, drawn albumin from the intravascular to the liver and circulates until the in ammatory process is completed. The objective of this study was to study the correlation of albumin serum andIL-6 serum among elderly patients.
Method: Cross-sectional design using the analytical observational was conducted with consecutive sampling. Subject is elderly patients (≥60 years) admitted to RSUP Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia, between November 2014-February 2015 (n=72). Albumin serum level was examined in the laboratory using bromcresol green method andIL-6 serum assessed using Human Interleukin 6 Immunoassay (Quantikine) kit. Statistical test using nonparametric spearmen’s test.
Result: There was signi cant negative correlation between albumin serum and IL-6 serum (r=-0.305; P=0.009).
Conclusion: If the IL-6 serum is increasing, it will make the albumin serum decreasing.
Â
Pengobatan gabapentin terhadap Postherpetic Neuralgia (PHN)
Dewa Putu Gede Purwa Samatra, I Putu Eka Widyadharma, Hanan Anwar Rusidi, Desak Putu Pratiwi, Khalid Walid Ahmad, Ida Ayu Sri WijayantiOnline First: Aug 30, 2019
- Abstract
Pengobatan gabapentin terhadap Postherpetic Neuralgia (PHN)
Pendahuluan: Terapi untuk PHN mencakup mencegah adanya infeksi herpes zoster, yang dapat dilakukan dengan vaksinasi atau pengobatan dengan antivirus dan terapi spesi k untuk mengatasi nyeri pada PHN. Salah satu modalitas terapi yang sering digunakan dalam penatalaksanaan PHN adalah gabapentin. Gabapentin termasuk dalam kelompok obat anti epilepsi yang bekerja dengan menurun hipereksitabilitas saraf yang membuat obat tersebut memiliki keefektifan pada kasus-kasus nyeri neuropatik.
Bahan dan Metode: Metode yang digunakan adalah systematic review. Kriteria inklusi adalah penelitian clinical trial menggunakan gabapentin pada terapi PHN yang dipublikasi dari tahun 2000-2018. Naskah dikumpulkan dari Google Scholar, PubMed, dan Cochrane Library.
Hasil: Di dapatkan 5 naskah yang sesuai kriteria inklusi. Dari hasil penelitian-penelitian tentang pengobatan PHN tersebut, gabapentin memiliki efikasi yang sangat baik jika dibandingkan dengan placebo. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan jika gabapentin dibandingkan dengan cryoanalgesia, walaupun gabapentin memiliki efikasi sedikit lebih baik (89,6% berbanding 86%).
Simpulan: Gabapentin merupakan pengobatan yang baik dan memiliki peran penting untuk pengobatan PHN
Â
Background: Therapy for PHN includes preventing the presence of herpes zoster infection, which can be done by vaccination or treatment with antiviral drugs and speci c therapies to treat pain in PHN. One therapeutic modality that is often used in the management of PHN is Gabapentin. Gabapentin belongs to the group of antiepileptic drugs that works by decreasing neural hyperexcitability which makes the drug e ective in cases of neuropathic pain.
Method: The method used is a systematic review. The inclusion criterion is clinical trial research using gabapentin in response to PHNÂ published from 2000-2018. Manuscripts are collected from Google Scholar, PubMed, and the Cochrane Library.
Results: There were 5 texts that matched the inclusion criteria. From the results of studies on PHN treatment, gabapentin has very good e cacy compared to placebo. There was no signi cant di erence if gabapentin was compared with cryoanalgesia, although gabapentin had a slightly better e cacy (89.6% versus 86%).
Conclusion: Gabapentin is a good treatment and has an important role for PHN treatment
Sindrom metabolik merupakan faktor risiko terjadinya psoriasis
Made Veranita Kris, Made Swastika Adiguna, Made WardhanaOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Sindrom metabolik merupakan faktor risiko terjadinya psoriasis
Pendahuluan: Psoriasis merupakan penyakit kulit in amasi kronis yang dicirikan oleh lesi berupa papul dan plak eritema dengan skuama tebal, kasar, kering serta berwarna putih keperakan. Penyakit dengan prevalensi bervariasi dari 1% sampai 3% di dunia ini umumnya dijumpai pada area predisposisi seperti kulit kepala, ekstensor, bokong, tangan, kaki, serta genitalia. Penderita psoriasis sering kali mengalami penyakit komorbid lain seperti sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular, artritis rematoid, penyakit Crohn, kolitis ulserativa, limfoma Hodgkin, limfoma sel-T kutis dan berbagai kelainan psikologis. Sindrom metabolik dide nisikan sebagai kumpulan faktor risiko kardiometabolik yaitu obesitas sentral, hiperlipidemia, hipertensi, dan resistensi insulin. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko terjadinya psoriasis.
Bahan dan Metode: Penelitian case-control ini dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar selama periode 1 November 2016 hingga 1 Januari 2017. Populasi terjangkau adalah semua pasien psoriasis yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar selama rentang waktu tersebut.
Hasil: Hasil penelitian ini memperoleh bahwa sindrom metabolik meningkatkan risiko terjadinya psoriasis [RO=12,3 (IK95%=3,4 sampai 44,2), P < 0,001], sehingga disimpulkan bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko psoriasis.
Kesimpulan: Sindrom metabolik merupakan faktor risiko terjadinya psoriasis.
Â
Introduction: Psoriasis is a chronic in ammatory skin disease characterized by erythematous papules and plaques covered by white to silvery dry, coarse and thick scales. The disease with prevalence 1-3% around the world is usually found on predisposing areas such as scalp, extensor extremities, hands, feet, and genitalia. Patients with psoriasis often have other comorbid diseases such as metabolic syndrome, cardiovascular disease, rheumatoid arthritis, Crohn disease, ulcerative colitis, Hodgkin lymphoma, cutaneous T-cell lymphoma, and psychological disorders. Metabolic syndrome was de ned as the presence of cardiometabolic risk factors such as central obesity, hyperlipidemia, hypertension, and insulin. This case-control study was conducted to prove if metabolic syndrome is a risk factor of psoriasis. resistance.
Method: This case-control study is conducted in Dermatology Polyclinic of Sanglah General Hospital from 1st November 2016 to 1st January 2017. The target population is all patients visiting the polyclinic during the time period.
Result: The result of this study shows that metabolic syndrome increases the risk of psoriasis [OR=12.3 (95%CI=3.4 to 44.2), P <0.001]. It was concluded that metabolic syndrome is a risk factor of psoriasis.
Conclusion: Metablic syndrome is a risk factor of psoriasis
Anemia sebagai faktor risiko terjadinya kejang demam pada anak usia 6 bulan – 5 tahun di ruang kaswari RSUD Wangaya Kota Denpasar
Fediah Chia Iskandar, I Wayan Bikin Suryawan, A. A Made SuciptaOnline First: Dec 1, 2019
- Abstract
Anemia sebagai faktor risiko terjadinya kejang demam pada anak usia 6 bulan – 5 tahun di ruang kaswari RSUD Wangaya Kota Denpasar
Background: Febrile seizure is the most common neurological disorder in children where 2% - 5% of children under 5 years have experienced febrile seizures. There are hypotheses that anemia may affect febrile seizure and the treshold of neuron excitation.
Methods: This study used an observational analytic study with a retrospective case control study with gender matching of febrile children aged 6 months to 5 years old hospitalised in kaswari child ward of Wangaya General Hospital Denpasar to analyze whether anemia is a risk factor of febrile seizures. In this study, 74 children who met inclusion and exclusion criteria were seperated into two groups, 37 children suffered febrile seizures and 37 children suffered a fever without seizure who were treated in the period from June 2018 to January 2019 obtained through consecutive sampling method. Charasteristic data included gender, age, infection cause, and anemia status. McNemar test was performed for the bivariate analyses.
Result: The results showed 21 children (56.8%) were anemic and found 16 children (43.2%) did not experience anemia in the case group. While 11 children (29.7%) were anemic and 26 children (70.3%) were not anemic in the control group. In McNemar analysis test, the P value was 0.041 and the calculation of the odds ratio was 3.0 (95% CI 0.60-10.27).
Conclusion: Anemia is a risk factor for febrile seizures. Children with febrile seizure were three times more likely to have anemia in kaswari child ward of Wangaya General Hospital Denpasar.
Keywords: Anemia, febrile seizure, risk factor
Latar Belakang: Kejang demam merupakan kelainan saraf tersering pada anak dimana 2%-5% anak di bawah usia 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa anemia dapat berpengaruh terhadap kejang demam.
Metode: Penelitian ini menggunakan penelitian observasional analitik melalui pendekatan kasus kontrol dengan matching jenis kelamin pada anak dengan demam usia 6 bulan hingga 5 tahun yang dirawat di ruang kaswari Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar untuk mengetahui apakah anemia merupakan faktor resiko terjadinya kejang demam. Pada penelitian ini, terdapat 74 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dimana 37 anak menderita kejang demam dan 37 anak menderita demam tanpa kejang yang dirawat pada periode Juni 2018 sampai Januari 2019, sampel diperoleh melalui metode consecutive sampling. Data karakteristik mancakupi jenis kelamin, usia, penyebab infeksi, dan status anemia. Analisis bivariat diperoleh dengan menggunakan uji tes McNemar.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan dari 21 anak (56,8%) menderita anemia dan terdapat 16 anak (43,2%) tidak mengalami anemia pada kelompok kasus. Sedangkan pada 11 anak (29,7%) menderita anemia dan 26 anak (70,3%) tidak anemia pada kelompok kontrol. Pada analisa uji tes McNemar, nilai p adalah 0.041 dengan OR 3.0 (IK 95% 0.60-10,27).
Kesimpulan: Anemia merupakan faktor risiko terjadinya kejang demam. Anak dengan kejang demam memiliki kecenderungan 3 kali lipat menderita anemia di Ruang Kaswari RSUD Wangaya Kota Denpasar.
Kondiloma lata sebagai manifestasi klinis sifilis sekunder pada kehamilan trimester kedua
Nila W Batan, Dwi PuspawatiOnline First: May 18, 2019
- Abstract
Kondiloma lata sebagai manifestasi klinis sifilis sekunder pada kehamilan trimester kedua
Sifilis merupakan infeksi multisistem kronis yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Sifilis masih merupakan infeksi kongenital tersering di dunia dan menyebabkan berbagai dampak terhadap ibu dan janin apabila tidak ditangani dengan tepat. Tanpa pengobatan yang tepat, penyakit ini dapat berkembang menahun dengan stadium klinis yang bervariasi dan dapat menyebabkan komplikasi terutama bagi ibu dan bayinya. Kondiloma lata merupakan salah satu manifestasi klinis sifilis sekunder yang memerlukan perhatian yang khusus karena bersifat sangat infeksius. Berikut dilaporkan satu kasus sifilis sekunder dengan manifestasi klinis kondiloma lata pada kehamilan trimester kedua. Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan serologis sifilis VDRL dan TPHA. Didapatkan perbaikan pada lesi kondiloma lata pada kasus satu bulan setelah diterapi dengan benzatin penisilin G 2,4 juta IU IM dosis tunggal.
Â
Nevus melanositik kongenital yang dilakukan tindakan biopsi plong dan penutupan rotation flap
Nyoman Yoga Maya Pramita, Made WardhanaOnline First: May 15, 2019
- Abstract
Nevus melanositik kongenital yang dilakukan tindakan biopsi plong dan penutupan rotation flap
Pendahuluan:
Congenital nevomelanostik nevus (CNN) merupakan neoplasma melanositik jinak yang muncul sejak lahir atau dalam minggu pertama setelah kelahiran. Bentuk dari CNN berupa papul atau tumor yang berbentuk bulat atau oval, dengan permukaan halus hingga kasar (verukosa), reguler dan memiliki batas tegas, dan disertai dengan rambut. Tindakan pembedahan utamanya dibidang dermatologi mengalami perkembangan yang cukup pesat, dimana tindakan pembedahan yang dilakukan pada area wajah harus mempertimbangkan segi estetik dan kosmetik.
Ilustrasi Kasus:
Pada laporan kasus ini dilaporkan kasus CNN di area pipi kanan pada lelaki berusia 30 tahun. Diagnosis CNN ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan histopatologi. Pasien pada laporan kasus ini dilakukan tindakan pembedahan berupa biopsi plong dan penutupan rotation flap. Pada pasien menunjukkan hasil baik pasca tindakan. Teknik pembedahan dan penutupan ini dipilih dengan pertimbangan lesi CNN kecil dan secara kosmetik penutupan defek rotation flap memberikan hasil yang baik.
 Introduction:
Congenital Nevomelanostic Nevi (CNN) is a benign melanocytic neoplasm that appears from birth or within the first week after birth. The form of CNN consists of round or oval papules or tumors, with smooth to rough (verrucous) surfaces, regular and firm boundaries, with hair growth. Currently, dermatosurgery field has evolved significantly, especially in the surgical procedures performed on the facial area, which aesthetic and cosmetic aspects should be highly monitored.
Case Report:
We report one case of CNN in the right cheek area in 30 years old man. The diagnosis of CNN was made based on history, physical examination and histopathological examination. WeÂ
Penatalaksanaan mobilitas gigi dengan splinting fiber komposit
I Gusti Agung Dyah AmbarawatiOnline First: May 24, 2019
- Abstract
Penatalaksanaan mobilitas gigi dengan splinting fiber komposit
Abstrak
Penatalaksanaan mobilitas gigi dengan splinting fiber komposit: laporan kasus. Mobilitas gigi terjadi karena trauma pada jaringan periodontal akibat kecelakaan. Trauma jaringan periodontal terjadi pada gigi 12, 11 dengan kegoyangan derajat 3. Mobilitas gigi merupakan salah satu penyakit periodontal yang disebabkan oleh adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi, trauma oklusi, dan adanya perluasan peradangan dari gingiva ke jaringan pendukung yang lebih dalam serta proses patologi rahang seringkali terjadi pada pasien dengan trauma karena oklusi disertai periodontitis kronis. Kegoyangan gigi diklasifikasikan menjadi tiga derajat. Derajat 1 yaitu kegoyangan sedikit lebih besar dari normal. Derajat 2 yaitu kegoyangan sekitar 1 mm, dan derajat 3 yaitu kegoyangan >1 mm pada segala arah dan/atau gigi dapat ditekan ke arah apikal. Salah satu perawatan untuk stabilisasi kegoyangan gigi adalah splinting. Splint merupakan alat stabilisasi dan immobilisasi gigi goyang karena suatu lesi, trauma, atau penyakit periodontal. Splinting fiber komposit digunakan karena mudah diaplikasikan dengan preparasi gigi yang minimal dengan hasil yang baik. Pada kasus ini dilakukan evaluasi selama 2 minggu setelah perawatan dan menunjukkan hasil yang baik.
Abstract
Management of tooth mobility with composite fiber splinting: case report. Tooth mobility occurs due to trauma to the periodontal tissue by accident. Periodontal tissue trauma occurs in the teeth 12,11 with third degrees. The mobility of teeth is one of the periodontal diseases caused by bone damage that supports the teeth, the trauma of occlusion, and the expansion of inflammation of the gingiva into the deeper supportive tissues and the process of frequent jaw pathology occurs in patients with trauma due to occlusion with chronic periodontitis. Tooth shake is classified into three degrees. The 1st degree is a slightly larger gait than normal. The second degree is about 1 mm slump, and the degre third degree is jiggle> 1 mm in all directions and / or teeth can be pushed toward apical. One of the treatments for stabilizing tooth agitation is splinting. Splint is a stabilizing tool and immobilization of wobbly teeth due to a lesion, trauma, or periodontal disease. Splinting composite fibers are used because they are easy to apply with minimal tooth preparation with good results. In this case an evaluation was performed for 2 weeks after treatment and showed good results.
Does dengue infection lead to persistent thrombocytopenia in hiv patient? A report of two cases
Ni Luh Sri Apsari, Ketut Dewi Kumara Wati, I Wayan Gustawan, Hendra Santosa, Komang Ayu WitariniOnline First: May 12, 2019
- Abstract
Does dengue infection lead to persistent thrombocytopenia in hiv patient? A report of two cases
Dengue infection commonly results in fatal outcome. We compare two different dengue infection outcomes in HIV infected children and desribe other factors related to outcome. First case: Dengue infection in 11-years-old HIV patient who has been with 1st line HAART for 3 years. On the 7th day, had persistent fever, low platelets, and neutropenia. To find out possible cause of this condition, we compared a similar case. Second case : Dengue Shock Syndrome in 6-years-old boy with HIV infection, who has been with HAART for 2 years. The clinical and laboratory resolved in 7 days. We investigated the old medical record of first patient and noticed prolonged pancytopenia with neutropenia. Macrocytic anemia began gradually since nine months after commencing ARV, hence working diagnosis was drug side effect either to zidovudine or cotrimoxazole. Cotrimoxazole was deceased and zidovudine was substituted with tenofovir. After one month follow up, the neutrophil, platelet, and hemogobin increased.
Â
Infeksi dengue kerap menyebabkan luaran yang fatal. disini penulis membandingkan dua luaran infeksi dengue pada anak dengan HIV dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan. Kasus pertama : laki-laki usia 11 tahun dengan infeksi dengue dan HIV yang telah menjalani pengobatan ARV selama 3 tahun. Pada hari ke 7, pasien mengalami demam dan trombositopenia persisten serta neutropenia. Untuk mengetahui kemungkinan penyebab kondisi tersebut, dibandingkan dengan kasus kedua. Lakilaki usia 6 tahun dengan HIV dan dengue shock syndrome yang telah menjalani pengobatan ARV selama 2 tahun. Pada hari ke 7, klinis dan laboratorium pasien membaik. Dilakukan pemeriksaan rekam medis pasien pertama, didapatkan pansitopenia dan neutropenia dalam jangka waktu yang lama. Terjadi anemia makrositer sejak 9 bulan dimulainya ARV. Pasien didiagnosis mengalami efek samping obat zidofudin atau kotrimoksasol. Dilakukan penghentian kotrimoksasol dan zidovudin diganti dengan tenofofir. Setelah 1 bulan, didapatkan netrofil, trombositopenia dan hemoglobin membaik
Syok anafilaksis dengan kehamilan
Anak Agung Ayu Ratih Hapsari, Ketut SuryanaOnline First: May 15, 2019
- Abstract
Syok anafilaksis dengan kehamilan
Bckground : Anaphylaxis during pregnancy is a rare but catastrophic for both mother and infant. Immediete treatment and coorporation between internal medicine, obstetric and intensivist is necessary to prevent mortality and morbidity. We reported an anaphylactic shock case in a 30-week pregnant woman.
Case : The 20-year-old woman with 30 weeks of pregnancy comes with symptomp and sign match with anaphylaxis shock few minutes after consumes tuna.
Result : After injection epinephrine 0,3 cc intramuscular two times, 2 lpm oxygen nasal canul, position mother on the left side, elevate her lower extremity, loading NaCl 0,9% 1000 cc, methylprednisolone 2x62.5 mg IV, and avoid allergen. Consultation to the obstetric didn’t find fetal distress. Consultation to the intensivist monitor for 2 days at HCU.
Conclution : Positioning mother on the left side, immediete treatment and coorporation between internal medicine, obstetric and intensivist are very important in the management anaphylaxis with pregnancy
Â
Pasien lupus mesenteric vasculitis dengan komplikasi perforasi ileum
Made Nopriantha, Gd KambayanaOnline First: May 9, 2019
- Abstract
Pasien lupus mesenteric vasculitis dengan komplikasi perforasi ileum
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan suatu penyakit autoimun yang dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem organ. Kelainan gastrointestinal merupakan salah satu komplikasi yang memerlukan perhatian khusus pada pasien dengan LES. Lupus Mesenteric Vasculitis (LMV) merupakan salah satu komplikasi gastrointestinal dari LES yang menyebabkan keluhan nyeri perut pada pasien. Lupus Mesenteric Vasculitis (LMV) biasanya muncul dengan keluhan nyeri abdomen akut dengan onset mendadak, nyeri intensitas berat dan lokalisasi difus. Perforasi intestinal pada pasien LES merupakan suatu kondisi mengancam nyawa sehingga memerlukan pendekatan diagnosis dan tatalaksana yang tepat. Sebuah laporan kasus menunjukkan adanya LES dengan perforasi intestinal yang memerlukan tindakan pembedahan. Pasien datang dengan nyeri perut disertai kondisi syok sepsis. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya “air fluid level†dibawah diafragma kanan dan kiri. Selain itu juga ditemukan adanya dilatasi gaster, kolon dan sebagian dari usus halus disertai sentinel loop yang menunjukkan adanya inflamasi lokal. Pasien telah dilakukan tindakan laparotomi eksplorasi. Pasien kemudian dipulangkan setelah dirawat selama 7 hari di rumah sakit.
Â
Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune inflammatory disease, which can affect almost all systems and organs.  Gastrointestinal disorder is one of the most noteworthy complications of patients with SLE. Lupus mesenteric vasculitis (LMV) is a unique clinical entity found in patients who present with gastrointestinal manifestations of systemic lupus erythematosus, and is the main cause of acute abdominal pain in these patients. LMV usually presents as acute abdominal pain with sudden onset, severe intensity and diffuse localization. Intestinal perforation in SLE patients is potentially life‑threatening so early diagnosis and prompt treatment are crucial to the management this complication of SLE. The present study reported a case of SLE with intestinal perforation, which required surgical intervention. Patient came with abdominal pain and septic shock condition. Radiological abdominal x-ray 3 position finding showed there is air fluid level in left and right below diaphragm. There is also dilatation on stomach, colon and half of intestinal with sentinel loop on below abdomen suggest local inflammation. Patient have been done exploration laparotomy. Patient was successfully treated and discharged 7 days after hospitalization.
Â
Â
Operasi caesar dengan epidural anestesia pada pasien peripartum kardiomiopati dan hipotiroid
I Gusti Agung Bagus Kusuma Jayadi, I Made SubagiarthaOnline First: May 12, 2019
- Abstract
Operasi caesar dengan epidural anestesia pada pasien peripartum kardiomiopati dan hipotiroid
Prinsip penanganan anestesi pada pasien dengan permasalahan kardiovaskuler adalah menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah adanya gejolak hemodinamik yang dapat menyebabkan perburukan kondisi pasien. Peripartum Kardiomiopati (PPCM) merupakan suatu keadaan kardiomiopati idiopatik yang berhubungan dengan kehamilan. PPCM muncul pada sebulan terakhir masa kehamilan atau 5 bulan setelah melahirkan, tanpa adanya riwayat, faktor resiko ataupun penyebab yang pasti, yang dapat menyebabkan munculnya gejala gagal jantung. Pada laporan kasus ini, terdapat pasien dengan kondisi gejala gagal jantung yang dirasakan mendadak pada bulan akhir kehamilan. Pasien datang dengan keluhan sesak napas berat yang membaik dengan posisi terduduk. Pasien ini tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya. Riwayat keluhan yang sama saat kehamilan sebelumnya juga tidak ada. Hal ini sesuai dengan kriteria diagnosis PPCM dimana keluhan muncul pada bulan terakhir kehamilan, dan pasien tidak memiliki riwayat maupun resiko untuk terjadinya gagal jantung. Pasien juga dalam kondisi hipotiroid akibat operasi subtotal tiroidektomi 2 tahun yang lalu. Hal ini bisa menyebabkan perburukan kondisi pada pasien. Penanganan anestesi pada pasien ini adalah dengan regional anestesi, sesuai dengan yang disebutkan literatur, dimana dilakukan epidural block. Epidural anestesia merupakan regional anestesi dengan tipe blok segmental, dimana penurunan Systemic Vein Resistance (SVR) terjadi secara gradual sehingga dapat menjaga kestabilan hemodinamik. Pasca operasi pasien dirawat diruang intensif selama 3 hari sebelum dipindahkan ke ruang intermediet.
The anesthesia handling principle in patients with cardiovascular problems is to maintain hemodynamic stability and prevent hemodynamic turmoil that can cause deterioration in the patient's condition. Peripartum Cardiomyopathy (PPCM) is a condition of idiopathic cardiomyopathy associated with pregnancy. PPCM appears in a month before pregnancy due date or 5 months after giving birth, without any history, risk factors or certain causes, which cause symptoms of heart failure. In this case report, there are patients with symptoms of heart failure that are felt suddenly in the final month of pregnancy. Patients complaint of severe shortness of breath that improves with a sitting position. This patient has no previous history of heart disease. There is no history of the same complaint during the previous pregnancy. This is in accordance with the diagnostic criteria for PPCM where complaints occur in the last month of pregnancy, and patients have no history or risk of heart failure. Patients were also hypothyroid due to subtotal thyroidectomy 2 years ago. This can cause deterioration in the patient's condition. Treatment of anesthesia in these patients is with regional anesthesia, according to the literature mentioned, where epidural block is performed. Epidural anesthesia is a regional anesthesia with segmental block type, in which a decrease in Systemic Vein Resistance (SVR) occurs gradually so that it can maintain hemodynamic stability. Postoperatively, patients are treated in an intensive room for 3 days before being transferred to the intermediate room.
Seksio sesarea dengan anestesi spinal pada pasien tumor otak: Sebuah laporan kasus
Johanis Bosco Troy Syamsuddin, Ida Bagus Krisna Jaya SutawanOnline First: May 2, 2019
- Abstract
Seksio sesarea dengan anestesi spinal pada pasien tumor otak: Sebuah laporan kasus
Neoplasma intrakranial bervariasi dalam insidens, histologi, presentasi klinis, dan prognosis. Neoplasma otak pada wanita hamil terjadi dengan frekuensi relatif yang sama seperti pada wanita non hamil. Seorang wanita hamil berusia tiga puluh lima tahun dengan tumor otak yang di curigai meningioma clivus dibawa ke Departemen Kebidanan untuk dipersiapkan menjalani bedah caesar elektif. Pada Magnet Resonance Imaging (MRI) terbaru, dilakukan satu bulan sebelum persalinan, dimensi tumor adalah +/- 23,13 x 20,67 mm di ekstra aksial dengan broadbase di kanan clivus dan mendorong sisi kanan pons tanpa tanda-tanda dilatasi ventrikel IV. Kami memutuskan untuk melakukan operasi di dengan anestesi spinal karena tidak ada gejala neurologis baru (misalnya, sakit kepala yang memburuk, perubahan visual, kejang, atau penurunan tingkat kesadaran) atau lesi yang diketahui yang cenderung tumbuh atau berubah selama kehamilan, tidak ada bukti pencitraan terjadi efek massa yang signifikan tanpa pergeseran garis tengah, tidak ada bukti hidrosefalus dan tidak ada temuan klinis atau pencitraan yang menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial. Blok spinal dilakukan dengan jarum spinal 27 G bevel quincke, di ruang intervertebral L2-L3, dengan bupivakain hiperbarik 0,5% 7,5 mg. Anestesi regional dengan spinal anestesi dapat dilakukan dengan aman untuk pasien ini.
Â
Intracranial neoplasms vary in incidence, histology, clinical presentation, and prognosis. Brain neoplasms in pregnant women appear to occur with the same relative frequency as in non-pregnant women. A thirtyfive-years-old pregnant woman with a brain tumor suspected clivus meningioma was admitted to the obstetric department to be prepared for elective c-section. On the most recent magnet resonance imaging (MRI), performed one month before her delivery, the dimensions of the tumor were +/- 23.13 x 20.67 mm in extra axial with broad-based in right clivus and pushed the right side of pons with no sign of ventricle IV dilatation. We decided to perform the operation under spinal anesthesia because of there aren’t new neurologic symptoms (worsening headache, visual changes, seizure, or decreased level of level of consciousness) or a known lesion that is likely to grow or change during pregnancy, there isn’t imaging evidence of significant mass effect with or without midline shift, there isn’t imaging evidence of hydrocephalus and there isn’t clinical or imaging findings suggest increased intracranial pressure. Spinal block was performed with spinal needle 27 gauge Quinckie, at the lumbal 2-3 intervertebral space, with hyperbaric bupivacaine 0,5% 7,5 mg. Regional anesthesia with Spinal Anesthesia can perform safely to this patient.
Penanganan pasien krisis tiroid menurut kriteria burch wartofsky score di intensive care unit
Ritria Sitalaksmi, I Ketut Sinardja, Made WiryanaOnline First: May 18, 2019
- Abstract
Penanganan pasien krisis tiroid menurut kriteria burch wartofsky score di intensive care unit
Abstrak
Krisis tiroid adalah merupakan salah satu kegawatdaruratan pada tingkat pertama dalam bidang endokrin dengan angka morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Dimana insiden kasus ini dikatakan jarang sekali terjadi, namun saat seseorang sudah dinyatakan menderita penyakit ini maka disebutkan angka kematiannya tinggi. Oleh karena itu diperlukan penegakkan diagnosis harus secara dini dan pengelolaan pasien harus secara agresif, karena akan memberikan prognosis yang baik pada pasien apabila kita bisa mengelola pasien dengan secara agresif. Dimana diagnosis krisis tiroid itu didasarkan pada klinis pasien, bukan dari laboratoris. Krisis tiroid umumnya terjadi pada pasien dengan hipertiroid yang tidak diberikan terapi yang adekuat dan dipicu oleh adanya infeksi, trauma, pembedahan tiroid, atau diabetes melitus yang tidak terkontrol.
Pada laporan kasus kali ini kami menyampaikan kasus pasien yang dikonsulkan ke intensive care unit (ICU) dari sejawat penyakit dalam di Instalasi Gawat Darurat (IGD) yaitu pasien perempuan, umur 45 tahun dengan dignosis masuk Observasi Dyspneu ec impending Airway Obstruction et causa tumor tyroid suspect malignancy, suspect tyroid storm. Pasien dengan permasalahan penurunan kesadaran et causa gagal nafas et causa obstruksi CA tyroid. Dari pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yang ada mendukung dengan krisis tiroid menurut kriteria  Burch Wartofsky score. Selama perawatan di ruang intensif pasien mendapatkan terapi farmakokinetik yang menurunkan sintesis dan sekresi hormon tiroid, menurunkan pengaruh perifer hormon tiroid, mencegah dekompensasi sistemik, dan pada hari ke delapan pasien dilakukan tiroidektomy dan trakeostomi oleh sejawat bedah, post operasi pasien masih dibantu dengan mesin alat bantu nafas (ventilator) dan mulai disapih, hari ke sembilan pasien sudah bisa menggunakan NRM melalui trakeostoma, hari ke dua belas pasien dipindahkan ke ruang perawatan. Target pengelolaan pasien yang menderita krisis tiroid meliputi menurunkan sintesis dan sekresi hormon tiroid, menurunkan pengaruh perifer hormon tiroid, mencegah dekompensasi sistemik, dan terapi penyakit pemicu. Terapi definitif penyebab disfungsi tiroid dilakukan bila kegawatan telah teratasi, dimana pengelolaan secara agresif dilakukan di Intensive Care Unit (ICU).
Kata Kunci : Â krisis tiroid, kegawatdaruratan, skor kriteria Burch and Wartofsky, tidak menggunakan amiodaron
Â
Abstract
              Thyroid crisis is one of the first levels of emergency in the endocrine field with very high morbidity and mortality. Where the incidence of this case is said to occur very rarely, but when a person has been declared to suffer from this disease, the death rate is high. Therefore, a diagnosis must be made early and the management of the patient must be aggressive, because it will provide a good prognosis for patients if we can manage patients aggressively. Where the diagnosis of thyroid crisis is based on the clinical patient, not from the laboratory. Thyroid crisis generally occurs in patients with hyperthyroidism who are not given adequate therapy and are triggered by infection, trauma, thyroid surgery, or uncontrolled diabetes mellitus
           In this case report we present the case of patients who were consulted to the intensive care unit (ICU) from colleagues in internal medicine at the Emergency Department (IGD), namely female patients, aged 45 years with dignosis in. Observation Dyspneu ec impending Airway Obstruction et causa tyroid suspect tumor malignancy, suspect tyroid storm. Patients with a problem of decreased consciousness of et causa failure of breath from a thyroid CA obstruction. From clinical examinations and investigations there are supports with a thyroid crisis according to the Burch Wartofsky score criteria. During treatment in the intensive room the patient received pharmacokinetic therapy which reduced the synthesis and secretion of thyroid hormone, reduced the peripheral effects of thyroid hormone, prevented systemic decompensation, and on the eighth day the patient underwent thyroidectomy and tracheostomy by a surgical colleague, the postoperative patient was still assisted with assistive machines breath (ventilator) and began weaning, the ninth day the patient was able to use NRM through tracheostoma, the twelfth day the patient was transferred to the treatment room. The target of managing patients suffering from a thyroid crisis includes reducing the synthesis and secretion of thyroid hormones, reducing the peripheral effects of thyroid hormones, preventing systemic decompensation, and the treatment of trigger diseases. The definitive cause of thyroid dysfunction is done when the emergency has been resolved, where aggressive management is carried out in the Intensive Care Unit (ICU).
Keywords: thyroid crisis, emergency, Burch and Wartofsky criteria score, no use amiodarone
Penatalaksanaan guillain-barré syndrome di ICU; sebuah laporan kasus
Dian Sawelinggi, Wayan Aryabiantara, Made WiryanaOnline First: May 16, 2019
- Abstract
Penatalaksanaan guillain-barré syndrome di ICU; sebuah laporan kasus
Guillain-Barré Syndrome (GBS) dengan ciri khas ascending paralysis merupakan penyakit kelumpuhan tipe flaksid yang akut dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda dari ringan hingga berat yang sifatnya dapat mengancam jiwa karena terjadinya gagal nafas, sehingga pada beberapa kasus memerlukan perhatian serius secara khusus dari dokter. GBS hingga saat ini belum diketahui secara pasti penyebabnya namun diyakini mekanisme yang mendasari adalah autoimun, sehingga dalam penatalaksanaannya sifatnya simtomatis dan menghilangkan antibodi dan supresi sistem imun. Pada laporan ini kami menyampaikan kasus seorang laki-laki 40 tahun dengan GBS. Pasien mengalami kelemahan otot nafas sehingga memerlukan perawatan intensif dan support ventilasi mekanik. Dalam penatalaksanaannya pasien mendapat terapi plasmapharesis dan kortikosteroid, dan pasien mengalami perbaikan setelah perawatan selama hampir 3 minggu di ICU.
Multimodal analgesia pada manajemen nyeri paska-bedah: sebuah laporan kasus
paulus kondengis, I Ketut SinardjaOnline First: May 18, 2019
- Abstract
Multimodal analgesia pada manajemen nyeri paska-bedah: sebuah laporan kasus
Abstrak
Nyeri pascabedah merupakan respons fisiologis sebagai reaksi terhadap suatu kerusakan jaringan yang terjadi akibat trauma pembedahan. Multimodal Analgesia adalah suatu kombinasi dari beberapa golongan obat berbeda dengan tujuan mencapai efek analgesia optimal, serta meminimalisir efek non terapeutik dari analgesia yang diberikan.
Kami melaporkan sebuah kasus seorang Perempuan, usia 27 tahun pascapembedahan Relaparotomy, secondary look, release adhesions akibat Residive Borderline Ovarian Carcinoma Stadium IV. Meskipun telah mendapatkan regimen berupa multimodal analgesia disertai penggunaan epidural analgesia pada manajemen nyeri pascapembedahan, namun Pasien mengeluhkan break through pain pada hari ketiga pascapembedahan. Keluhan ini disertai efek nonterapeutik pasca pemberian rescue dose opioid intravena berupa mual muntah. Pasien kemudian mendapatkan suplementasi tindakan akupunktur sebagai kombinasi dalam rangkaian multimodal analgesia yang sedang berjalan. Kombinasi tersebut menunjukkan efek sinergi yang adekuat, sementara  dosis opoid pada epidural analgesia akhirnya dapat dikurangi secara bertahap.
Â
Abstract
Postoperative pain has known as a physiological response due to surgical dissection. A combination of various medication to achieves an optimal analgesia effect was presents as multimodal analgesia. Thus strategy to amplify the therapeutic effect and reduce the nontherapeutic effect of analgesia each drug.
propound in regard to a woman, 27 years old post-relaparotomy, secondary look, release adhesions due to a Residive Borderline Ovarian Carcinoma Stadium IV. Even after a regimen of multimodal analgesia, that combined with epidural analgesia in postoperative pain management. But the patient had to complain about breakthrough pain on the third-day postoperative. This complaint worsens by nausea vomiting, as nontherapeutic effect after provision a rescue dose of intravenous opioid. Patients then get supplements a combination act with acupuncture as a part of the existing multimodal analgesia. Further, the combination shows an adequate synergic effect while opioid doses in epidural analgesia were tapering off.
Pituitary macroadenoma presenting with pituitary apoplexy in Sanglah Hospital, Bali-Indonesia
Sherly Eva Wijayaningrum, Made Widhi Asih, Elysanti Dwi MartadianiOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Pituitary macroadenoma presenting with pituitary apoplexy in Sanglah Hospital, Bali-Indonesia
Introduction:Â Â Pituitary apoplexy (PA) is a rare clinical syndrome in adolescents that can cause a life-threatening situation. This review describes the main clinical and MRI findings in two patients with pituitary macroadenoma presenting with pituitary apoplexy in Sanglah Hospital.
Case Report: A 61-year-old male patient was admitted to the Sanglah Hospital because of a sudden intense headache, accompanied by nausea and vomiting, and a history of blurred vision. Physical examination showed papil atrophy in his left and right eyes. His laboratory finding was unremarkable. The second case is a 57-year-old female patient, was admitted because of sudden-onset severe headache, with vomiting and fever as well. Laboratory testing showed an elevated prolactin level.
Discussion: Haemorrhage and necrosis within a pituitary tumor are frequently incidentally observed by Magnetic Resonance Imaging (MRI) or Computed Tomography (CT). They are often asymptomatic, configuring the subclinical pituitary apoplexy, and occur in 14 –22% of patients with a pituitary macroadenoma. MRI predominantly showed an intra- and suprasellar expanding mass with different signal intensities on T1WI and T2WI, depending on the presence of hemorrhage and on its stage. In first patient the MRI findings are extra-axial mass from intra to supra sella which attached to cavernous sinus and caused compression of chiasma opticum to superior. The second patient showed a pituitary tumor without supra-sellar expansion. In these two patient, the masses showed isointense and hyperintense signal intensity in T1W1, T2W1, FLAIR indicating the presence of intratumoral hemorrhage, and after Gad revealed inhomogen contrast enhancement.
Conclusion: Two patient in Sanglah Hospital showed acute clinical syndrome appearance of apoplexy, simultaneously with the presence of pituitary macroadenoma hemorrhage in MRI findings. The situation must be reported immediately because early diagnostic and prompt treatment it’s very important for a better prognosis.Case series: review of several types fistulas of anorectal malformation on distal loopography
Nyoman Widyasari, Pande Putu Yuli AnandasariOnline First: May 7, 2019
- Abstract
Case series: review of several types fistulas of anorectal malformation on distal loopography
Introduction: Anorectal malformation (ARM) is a wide spectrum of congenital malformations involving the distal rectum and anus as well as the urinary and/or gynaecological systems with an estimated incidence ranging between 1 in 2000 and 1 in 5000 live. Types of fistulas are essential to diagnose to decide the management and surgical repair. We review several fistula types of anorectal malformation based on distal loopography examination.
Â
Case Presentation: Review of 5 patients with distal loopography in Sanglah Hospital was performed. All patients were neonate with absence of the anus without any clues of fistulas. Â Plain abdominal x-ray and knee-chest position showed distended loops of bowel and blind-ending of distal rectum with various distance from anal dimple. Two cases were confirmed as high type of ARM with recto-vesica fistula, where the contrast filled rectum and the bladder which decreased significantly after micturition. The two other cases were confirmed as high type ARM with recto-urethrae fistula, and the last one as low type of ARM with recto-perineal fistula. All patients undergoing surgical management for fistula repair and anorectal reconstruction.
Discussion: Anorectal malformation forms a heterogeneous group of anomalies, most cases showed imperforated anus and blind-ending of distal enteric component (atresia) with or without fistula. Our cases were diagnosed by plain x-ray and contrast study. High or low type was evaluated from the distance rectal pouch to anal dimple. Distal loopogram was showed low type of ARM with recto-perineal fistula and high type of ARM with fistula extended anteriorly as recto-vesica fistula and recto-urethrae fistula, as The Krickenbeck classifications.
Conclusion: Distal loopography is an important diagnostic investigation to delineate the altered anatomy of anorectal malformations, the location fistula and the spectrum of associated fistula between the blind rectum and the bladder, urethra, perineum, scrotal and vagina. Radiology interpretation is indeed important for clinician to establish patient management.
Â
Gangguan psikotik akibat penggunaan ganja (cannabis): studi kasus
Anastasia Venny Yustiana, Luh Nyoman Alit AryaniOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Gangguan psikotik akibat penggunaan ganja (cannabis): studi kasus
Ketergantungan dan penyalahgunaan zat bukan merupakan masalah baru di Indonesia. Terjadi peningkatan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) di Indonesia dari tahun ke tahun, terutama penggunaan ganja karena mudah didapat. Di Indonesia terdapat antara 2-3juta orang yang pernah menghisap ganja. Penggunaan ganja dapat menyebabkan penyakit fisik (gangguan pernafasan dan kardiovaskuler) maupun mental (gangguan psikotik). Penggunaan ganja secara teratur terkait dengan munculnya gejala psikotik seperti pemikiran tidak teratur (disorganized), halusinasi, dan delusi. Umumnya para pengguna menggunakan beberapa zat, tetapi pada kasus ini hanya menggunakan satu zat saja yaitu ganja. Pada laporan ini, kami menyampaikan kasus lelaki umur 30 tahun yang mengonsumsi ganja sejak usia 17 tahun didiagnosis dengan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan penggunaan zat psikoaktif lainnya dengan sindrom ketergantungan (F19.2) dan episode depresi sedang dengan gejala somatik (F32.11). Pasien mengalami halusinasi visual dan auditorik. Pasien mendapat terapi clozapine 25 miligram tiap 12 jam intraoral. Kasus diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan ganja secara kontinu memicu terjadinya psikotik.
Dependence and substance abuse is not a new problem in Indonesia. There is an increase in the abuse of Narcotics, Psychotropic and other Addictive Substances (NAPZA) in Indonesia over the years, especially the use of cannabis because it is easy to obtain. Among 2-3 million people in Indonesia have smoked cannabis. The use of cannabis can cause physical illness (respiratory and cardiovascular disorders) as well as mental (psychotic disorders). Regular use of cannabis is associated with the emergence of psychotic symptoms such as disorganized thinking, hallucinations, and delusions. Generally users use some substance, but in this case only use one substance that is marijuana. In this report we present the case of 30-year-old man who consumed marijuana since the age of 17 years was diagnosed with mental and behavioral disorders due to multiple substances use and other psychoactive substance use with addiction syndrome (F19.2) and episodes of severely depressed somatic symptoms (F32.11). The patient experienced visual and auditory hallucinations. Patients were given 25 milligrams of clozapine therapy every 12 hours intraoral. From this case can be concluded that the continuous use of cannabis trigger the occurrence of psychotic.
A giant choledochal cyst in 8 years old female
Eva JJ Sapulete, I Gusti Ngurah Sanjaya Putra, I Putu Gede Karyana, Ni Nyoman Metriani Nesa, I Made Darmajaya, Kadek Deddy AriyantaOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
A giant choledochal cyst in 8 years old female
Choledochal cyst incidence in Asian population is 1 : 1000 live births and more common in female. The classic triad can be found in younger children is icteric, abdominal pain, and palpable mass in the abdomen. Various technique has been performed, but cyst excision and Roux-en-Y hepaticojejunostomy still prefered. Inappropriate management can cause several complications. We describe a rare case of Giant Choledocal Cyst, 8 years old female present abdominal pain and a palpable mass in abdomen from below arcus costae to right inguinal region. Laboratory finding show serum bilirubin, alkaline phosphatase, gamma-glutamyl transferase level are elevated. Computered tomography scan shows type IV choledochal cyst, with size 117.1 x 83.5 mm. First step surgery, external drainage was performed. The definitive surgery was incomplete cyst excision and Roux-en-Y hepaticojejunostomy. The patient was discharged in good condition. The long-term prognostic is dubia ad bonam, biliary tract malignancy may still occur.
Insiden kista koledokus di Asia adalah 1 : 1000 kelahiran hidup dan lebih banyak pada perempuan. Trias klasik pada anak adalah ikterus, nyeri perut, dan teraba massa di abdomen. Beberapa teknik dapat dilakukan namun paling baik adalah eksisi kista dan Roux- en-Y hepatikojejunostomi. Kami melaporkan sebuah kasus jarang giant choledocal cyst pada perempuan 8 tahun dengan keluhan nyeri perut dan teraba massa di bawah arkus kosta sampai inguinal kanan. Laboratorium menunjukkan peningkatan serum bilirubin, alkaline fosfatase, dan gamma-glutamil transferase. Computered tomography scan menunjukkan kista koledokus tipe IV, ukuran 117,1 x 83,5 mm. Pembedahan tahap pertama adalah drainase eksternal. Pembedahan de nitif adalah eksisi kista parsial dan Roux-en-Y hepaticojejunostomi. Pasien pulang dalam kondisi baik. Prognosis jangka panjang dubia ad bonam, dan keganasan saluran bilier dapat terjadi.
Â
Â
Balloon atrial septostomy procedures for cyanotic congenital heart defect in Sanglah Hospital
Ni Ketut Mena Epiani, Eka Gunawijaya, Ni Putu Veny Kartika YantieOnline First: Aug 1, 2019
- Abstract
Balloon atrial septostomy procedures for cyanotic congenital heart defect in Sanglah Hospital
Balloon atrial septostomy (BAS) is a technique used to enlarge a hole between right and left atrium. Balloon atrial septostomy is an initial life saving treatment in certain cyanotic congenital heart defect especially transposition of great arteries-intact ventricular septum (TGA-IVS) and pulmonary atresia-intact ventricular septum (PA-IVS). This procedure aimed to create an atrial septal defect that will enhance bidirectional mixing of pulmonary and systemic venous blood, hence improving oxygen saturation in this type of heart defect. Complications of BAS consist of arrhythmia, heart block, valve dysfunction, myocardial ischemia, neurodevelopmental abnormalities, stenosis or occlusion of coronary artery. In our centre, during April 2015 - June 2016 there were 4 BAS procedures and 1 re-ballooning. Range of ages was 1-15 days in BAS patient. The NuMedZ-5TM® (NumedInc, New York, U.S.A) balloon catheter number 13.5 was used. Diameter of atrial communication and oxygen saturation was increased significantly after procedure.
Â
Balloon atrial septostomy (BAS) adalah tehnik yang digunakan untuk memperbesar defek antara atrium kanan dan kiri. Balloon atrial septostomy adalah terapi awal pada defek jantung bawaan sianosis tertentu terutama pada transposition of great arteries-intact ventricular septum (TGA-IVS) dan pulmonary atresia-intact ventricular septum (PA-IVS). Prosedur ini bertujuan untuk memperbesar defek septum atrium yang akan meningkatkan pertukaran darah vena pulmonal dan sistemik, sehingga meningkatkan saturasi oksigen. Komplikasi BAS terdiri dari aritmia, jantung berhenti berdetak, disfungsi katup, iskemia miokard, kelainan perkembangan saraf, stenosis atau oklusi arteri koroner. Di RSUP Sanglah, selama bulan April 2015 - Juni 2016 ada 4 prosedur BAS dan 1 prosedur dilakukan ballooning ulang karena terjadi stenosis pulmonal. Rentang usia pasien adalah 1-15 hari pada pasien BAS. Balon yang digunakan untuk BAS adalah NuMedZ- 5TM® (NumedInc, New York, U.S.A) nomor 13.5. Diameter atrium dan saturasi oksigen meningkat secara signi kan setelah prosedur.
Â