Vol. 50 No. 3 (2019)
Gambaran audiometri pada penderita otitis media supuratif kronis di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah tahun 2016-2017
Trisna Dewi, Eka Putra SetiawanOnline First: Dec 1, 2019
- Abstract
Gambaran audiometri pada penderita otitis media supuratif kronis di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah tahun 2016-2017
Â
Latar Belakang:Â Pandahuluan Otitis media supuratif kronis merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran di berbagai negara.Â
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospective study. Peneliti menggunakan tehnik consecutive sampling dengan data sekunder berupa rekam medis pasien di RSUP Sanglah Denpasar dari periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2017.Â
Hasil:Â Dari 87 orang penderita OMSK didapatkan lelaki sebanyak 66,7% dan wanita 33,3%. Paling banyak terdapat pada kelompok umur 40-50 tahun tahun (32,2%). Berdasarkan derajat ketulian, kelompok penderita OMSK dengan derajat tuli sangat berat memiliki distribusi terkecil yaitu 6,9 % dan kelompok dengan derajat ketulian sedang memiliki distribusi yang terbesar yaitu 34,5 %. Distribusi tuli konduksi pada penelitian ini memiliki distribusi yang paling besar yaitu 54,0 %. Sedangkan kelompok tuli campuran sebesar 37,9 % dan kelompok tuli sensorineural memiliki distribusi yang lebih kecil yaitu sebesar 8,0 %. Pada penelitian ini penderita paling banyak adalah lelaki, kelompok umur 40-50 tahun.Â
Kesimpulan:Â Distribusi terbanyak adalah kelompok OMSK dengan derajat ketulian sedang. Jenis ketulian terbanyak adalah tuli konduksi.Â
Background: Cronies Superlative Otitis Media is one of the causes of hearing problems in many countries.Â
Methods: The study used a retrospective descriptive research design by taking data from medical records of patients with chronic suppurated otitis media treated at Sanglah Hospital Polyclinic from January 2016 to December 2017. From 87 of CSOM patients, 66.7 % are male and 33.3% are female.Â
Results: The greatest number case is in group age 40 – 50 years (32.2%). Based on degree of hearing loss severe hearing lost are the lowest distribution are 6.9 % and the highest distribution are moderate hearing loss about 34.5 %. Conduction hearing loss in this study are the highest in distribution about 54.0 %. Distribution mix hearing loss are 37.9 % and sensorineural hearing loss have the lowest frequency about 8.0 %. In this study the majority frequency in gender are male, and in age group are 40 – 50 years old.Â
Conclussion: The most frequency in degree of hearing loss are moderate hearing loss, and the type of hearing loss are conduction hearing loss.Â
Â
Gambaran ambang dengar karyawan operator pembangkit listrik tenaga diesel/gas di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali 2017
Ni Nyoman Trisna, Made WiranadhaOnline First: Dec 1, 2019
- Abstract
Gambaran ambang dengar karyawan operator pembangkit listrik tenaga diesel/gas di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali 2017
ABSTRAK
Latar Belakang : Salah satu penyebab gangguan pendengaran adalah akibat paparan bising. Kebisingan merupakan masalah kesehatan kerja yang selalu timbul pada industri besar yang menggunakan tenaga mesin.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambar ambang dengar pada pekerja operator Pembangkit Listrik Tenaga Diesel/Gas (PLTD/G) jasa pembangkitan Bali 2017.
Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif, data diambil melalui kuisioner pada karyawan operator PLTD/G di PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan dan Jasa Pembangkitan Bali yang berjumlah 56 orang.
Hasil : Dari total 54 petugas operator PLTD/G sebanyak 11 pekerja (20,30%) mengalami gangguan pendengaran. Gambaran takik akustik di frekuensi 4000 Hz pada pemeriksaan audiometri didapatkan pada 8 pekerja (14,3%) yang mengalami gangguan pendengaran. Petugas operator PLTD/G yang mengalami gangguan pendengaran pada telinga bagian kanan yang terbanyak masuk ke dalam kategori tuli ringan sebanyak 6 (60,00%), sedangkan yang mengalami gangguan telinga kiri masuk ke dalam tuli ringan sebanyak 6 (66,67%).
Kesimpulan : Responden terbanyak mengalami tuli ringan di telinga kanan (60,00%) dan di telinga kiri (66,67%). Sedangkan responden yang mengalami tuli sedang pada telinga kanan (30,00%) dan pada telinga kiri (33,33%). Untuk kejadian tuli berat hanya sebesar 10,00% yang dialami oleh seorang responden pada telinga kanannya.
Â
Â
Introduction: The causes of hearing loss is due to noise exposure. Noise is a work health problem that always arises in large industries that use engine power. This study aims to determine the picture of the hearing threshold Diesel/Gas Power Plant (PLTD/G) workers generation services operator in Bali's 2017.Â
Methods: This study used a descriptive design, data was taken through questionnaires for PLTD / G operator employees at PT. Indonesia Power Generation Unit and Bali Generation Service, which amounted to 56 people.
Results: Out of a total of 54 PLTD / G operators, 11 workers (20.30%) experienced hearing loss. An acoustic notch at a frequency of 4000 Hz on audiometry was obtained in 8 workers (14.3%) who experienced hearing loss. The PLTD / G operator who had the most hearing loss in the right ear was included in the category of mild deafness as much as 6 (60.00%), while those with left ear impairment entered into mild deafness as much as 6 (66.67%).Â
Conclusion: Most respondents experienced mild deafness in the right ear (60.00%) and in the left ear (66.67%). While respondents who experienced moderate deafness in the right ear (30.00%) and in the left ear (33.33%). The incidence of deafness is only 10.00% experienced by a respondent in his right ear.
Gambaran hasil skrining pendengaran pada pasien dengan keterlambatan bicara & bahasa di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode Januari-Desember 2017
I Made Rai Wiryadi, I Made WiranadhaOnline First: Dec 2, 2019
- Abstract
Gambaran hasil skrining pendengaran pada pasien dengan keterlambatan bicara & bahasa di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode Januari-Desember 2017
Pendahuluan: Gangguan bicara dan bahasa telah lama menjadi perhatian para klinisi yang berkecimpung dalam kesehatan anak. Hal ini dikarenakan adanya berbagai kelainan yang dapat menyertai gangguan tersebut, juga adanya implikasi signi kan terhadap kehidupan anak- anak penyandangnya. Gangguan bicara dan bahasa dapat merupakan akibat dari berbagai kelainan seperti retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan persepsi, gangguan psikososial, autisme, mutisme elektif, afasia reseptif, dan cerebral palsy.
Tujuan: Untuk mengetahui gambaran hasil penapisan pendengaran pada penderita dengan keterlambatan bicara dan bahasa di poli THT- KL, RSUP Sanglah Denpasar.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan deskriptif retrospektif dengan mengambil data dari rekam medis pasien dengan gangguan bicara dan bahasa di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode Januari 2017 hingga Desember 2017.
Hasil: Dari total 125 anak yang diteliti, dengan lelaki 77 anak dan perempuan 48 anak, didapatkan rentang usia terbanyak penderita keterlambatan bicara dan bahasa yaitu di atas 5 tahun (37 anak). Hasil pemeriksaan otoacoustic emission (OAE) didapatkan hasil pass pada telinga kanan sebanyak 42% (52 anak), telinga kiri 39% (49 anak) dan refer pada telinga kanan sebanyak 58% (73 anak), telinga kiri sebanyak 61% (76 anak). Pada pemeriksaan derajat pendengaran dengan brainstem evoked response audiometry (BERA) dan auditory steady state response (ASSR), didapatkan lebih banyak tuli derajat sangat berat, yaitu 66% pada telinga kanan dan 63% pada telinga kiri.
Kesimpulan: Penderita keterlambatan bicara dan bahasa lebih banyak pada lelaki dengan usia terbanyak di atas 5 tahun. Penderita sebagian besar mengalami gangguan pendengaran, dengan derajat terbanyak yaitu tuli sangat berat.
Â
Introduction: Speech and language disorders have long been a concern of pediatricians. This is due to various abnormalities that can accompany the disorder, as well as signi cant implications for the lives of children with disabilities. Speech and language disorders can be a result of various disorders such as mental retardation, hearing loss, perception disorders, psychosocial disorders, autism, elective mutism, receptive aphasia, and cerebral palsy.
Objective: This research is to nd out the description of auditory screening results in patients with delayed speech and language at the ENT policlinic of Sanglah general hospital, Denpasar.
Methods: This study was a descriptive study with a retrospective descriptive design by taking data from medical records of patients with delayed speech and language in the ENT policlinic of Sanglah general hospital on January 2017 to December 2017.
Results: Out of a total of 125 children studied, with 77 male and 48 female children, the highest age range of speech and language delays was above 5 years (37 children). On otoacoustic emission (OAE) examination obtained 42% of the right ear pass (52 children), 39% (49 children) left ear pass and 58% refer on the right ear (73 children), 61% refer on the left ear (76 children). On examination of the degree of hearing with brainstem evoked response audiometry (BERA) and auditory steady state response (ASSR), more severe degrees of deafness were obtained, namely 66% in the right ear and 63% in the left ear.
Conclusion: Patients with delayed speech and language was more in men with the most age above 5 years. Most su erers experience hearing loss, with the highest degree of deafness being Profound.
Karakteristik penderita laryngopharyngeal reflux yang didiagnosis berdasarkan reflux symptom index dan reflux finding score di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Tahun 2015-2017
Ida Ayu Alit Widiantari, I Wayan SuciptaOnline First: Dec 2, 2019
- Abstract
Karakteristik penderita laryngopharyngeal reflux yang didiagnosis berdasarkan reflux symptom index dan reflux finding score di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Tahun 2015-2017
Pendahuluan: Laryngopharyngeal Reflux (LPR) adalah penyakit akibat berbaliknya isi lambung ke daerah laringofaring. Dalam mendiagnosis LPR diperlukan anamnesis yang cermat berdasarkan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan pemeriksaan laring (Reflux Finding Score/RFS). Namun diagnosis LPR terkadang tidak disadari dan terlewatkan oleh dokter karena gejalanya yang tidak khas. Tujuan: Untuk mengetahui karakteristik penderita LPR yang didiagnosis berdasarkan RSI dan RFS di bagian THT-KL RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2015-2017.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan mengumpulkan data sekunder dari catatan medis penderita yang terdiagnosis LPR berdasarkan RSI dan RFS yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar pada periode tahun 2015-2017.
Hasil: Terdapat 61 orang penderita LPR yang didiagnosis berdasarkan RSI dan RFS dan sesuai dengan kriteria sampel penelitian. Pada penelitian ini didapatkan penderita LPR berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak di tahun 2015 adalah perempuan sebanyak 13 kasus (61,90%), tahun 2016 yang terbanyak perempuan sebanyak 12 kasus (52,17%) dan tahun 2017 terbanyak perempuan sebanyak 9 kasus (52,92%). Distribusi penderita LPR berdasarkan kelompok umur yang terbanyak di tahun 2015 umur 40-49 tahun sebanyak 9 kasus (42,85%), tahun 2016 yang terbanyak pada umur 40-49 tahun dan umur 50-59 tahun masing-masing sebanyak 7 kasus (30,43%) dan tahun 2017 yang terbanyak umur 40-49 tahun sebanyak 6 kasus (35,29%). Umur penderita LPR yang terbanyak yaitu rentang umur 40-49 tahun baik pada lelaki ataupun perempuan dimana lelaki ditemukan sebanyak 7 kasus (25,92%) dan perempuan sebanyak 19 kasus (55,88%).
Kesimpulan: Distribusi penderita LPR berdasarkan keluhan (RSI) yang terbanyak adalah datang dengan keluhan throat clearing yaitu sebanyak 59 (96,72%). Distribusi penderita LPR berdasarkan keadaan laring (RFS) terbanyak adalah ditemukannya eritema/hiperemis sebanyak 59 (96,72%).
Â
Introduction: Laryngopharyngeal Refux (LPR) is a disease caused by reversing the contents of the stomach into the laryngopharynx area. In diagnosing LPR a careful history is needed based on clinical symptoms (Reflux Symptoms Index / RSI) and laryngeal examination (Reflux Finding Score/RFS). But the diagnosis of LPR is sometimes not realized and missed by doctors because the symptoms are not typical. Objective: To determine the characteristics of patients with LPR is diagnosed based on RSI and RFS in the ENT-KL
Methods: Hospital Sanglah period 2015-2017. The research is a retrospective descriptive study by collecting secondary data from medical records of patients diagnosed with LPR based on RSI and RFS are coming to the poly ENT-HN Sanglah Hospital in the period 2015-2017.
Results: There were 61 people with LPR diagnosed based on RSI and RFS and according to the criteria of the study sample. In this study, patients with LPR based on sex which in 2015 was the highest in 13 women (61,90% of cases), most women in 2016 that as many as 12 cases (52,17%) and in 2017 most women were 9 cases (52,92%). Distribution of LPR patients based on the most age groups in 2015 aged 40-49 years as many as 9 cases (42,85%), 2016 the most at the age of 40-49 years and age 50-59 years respectively as many as 7 cases (30,43%) and 2017 with the highest age of 40-49 years as many as 6 cases (35,29%). Age LPR patients who are most well lifespan of 40-49 years in both men and women, where men found 7 cases (25,92%) and women were 19 cases (55,88%).
Conclusion: The highest distribution of complaints based on complaints (RSI) came with complaints of throat clearing, which was 59 (96,72%). The highest distribution of LPR patients based on laryngeal conditions (RFS) was 59 (96,72%) erythema/hyperemia.
Prevalensi kecemasan pada caregiver pasien kanker di RSUP Sanglah Periode Januari 2019
Rabiatul Udawiyah, Ni Ketut Putri Ariani, Cokorda Bagus Jaya LesmanaOnline First: Dec 2, 2019
- Abstract
Prevalensi kecemasan pada caregiver pasien kanker di RSUP Sanglah Periode Januari 2019
Pendahuluan: Gangguan cemas merupakan gangguan mental yang paling sering ditemukan dan berhubungan dengan beban penyakit yang tinggi. Prevalensi terkait gangguan kecemasan di Indonesia menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 6% populasi usia 15 tahun ke atas sekitar 14 juta penduduk di Indonesia mengalami gangguan mental emosional yang bermanifestasi sebagai gangguan kecemasan dan depresi. Salah satu penyakit yang diketahui dapat menyebabkan gangguan cemas adalah kanker. Gangguan cemas pada caregiver pasien kanker dapat menyebabkan gangguan kualitas hidup pada caregiver pasien kanker.
Tujuan: Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mencari prevalensi kecemasan caregiver pasien kanker sehingga dapat memberikan psikoterapi khususnya mengenai terapi gangguan cemas pada caregiver pasien kanker.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi dengan menggunakan rancangan penelitian deskriptif dengan rancangan yang digunakan potong lintang (cross-sectional) untuk mengetahui angka prevalensi gangguan cemas yang terjadi pada pasien dan caregiver yang melakukan pengobatan di rumah sakit sehingga dapat diketahui besarnya masalah yang terjadi sesuai tujuan penelitian ini. Pengambilan sampel secara purposive random sampling. Kuisioner HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) digunakan sebagai alat ukurnya. Hasil: Berdasarkan hasil penelitian tentang prevalensi kecemasan pada caregiver pasien kanker di RSUP Sanglah periode Januari 2019 yang dilakukan terhadap 30 orang caregiver didapatkan mayoritas usia dewasa akhir sekitar (50,0%) dengan rata-rata tingkat kecemasan ringan-sedang (36,7%).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa caregiver pasien kanker justru mengalami gangguan cemas lebih banyak dibandingkan pasien kanker itu sendiri.
Â
Introduction: Anxiety disorders are the most common mental disorders and associated with high disease burden. In Indonesia, the prevalence of anxiety disorders according to the results of the Basic Health Research (Riskesdas) in 2013 showed that as many 6%, aged 15 years of the population and over (14 million people) in Indonesia experience mental emotional disorders that manifest as anxiety and depression. One of the diseases known to cause anxiety disorders is cancer. Anxiety disorders in the caregiver of cancer patients can cause disruption of quality of life in caregiver of cancer patients.
Objective: This study aims to nd out the prevalence of anxiety in caregiver of cancer patients which is to provide psychotherapy in particular regarding to anxiety therapy in caregiver of cancer patients.
Methods: This study is a descriptive study design with cross-sectional design to determine the prevalence of anxiety disorders that occur in patients and caregivers who do treatment in hospitals so that the magnitude of the problem that occurs according to the purpose of this study can be determined. Sampling was done by purposive random sampling. HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) questionnaire is a measuring instrument uses.
Results: Based on the results of research on the prevalence of anxiety in caregiver cancer patients in Sanglah General Hospital on January 2019 which was conducted on 30 caregiver people, the majority of late adult age was around (50.0%) with an average mild-moderate anxiety level (36.7%).
Conclusion: This study shows that cancer caregiver has more anxiety problem than the patient itself.
Perbandingan rasio berat plasenta dengan berat badan lahir pada kehamilan preterm dan aterm
Melinda Febiani, Ketut Suwiyoga, I Nyoman Hariyasa SanjayaOnline First: Dec 2, 2019
- Abstract
Perbandingan rasio berat plasenta dengan berat badan lahir pada kehamilan preterm dan aterm
Pendahuluan: Berat badan lahir (BBL) pada kehamilan aterm dan pretem berkorelasi dengan berat plasenta (BP) terkait dengan anatomi dan fungsi plasenta pada setiap trimester kehamilan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan perbedaan dan antropometri rasio BBL / BP pada persalinan aterm dan pretem, selain itu untuk mengetahui hubungan antara berat, diameter dan tebal plasenta dengan BBL.
Metode: Penelitian ini adalah studi cross sectional di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar Bali, pada periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2017. Jumlah sampel sebanyak 32 ibu hamil tunggal hidup dengan kehamilan preterm sebagai kelompok studi dan 32 ibu hamil tunggal hidup dengan kehamilan aterm sebagai kelompok pembanding. Analisis perbandingan ratio berat badan lahir dengan berat plasenta menggunakan uji t – indenpent, sedangkan untuk mengetahui hubungan antropometri plasenta dengan berat badan lahir bayi digunakan uji pearson.
Hasil: Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan umur dan paritas (p>0.05), sedangkan untuk usia kehamilan didapatkan perbedaan (p<0.05) antara kedua kelompok. Didapatkan rerata rasio berat badan lahir dan berat plasenta antara persalinan preterm dengan persalinan aterm berbeda secara bermakna (p<0,05). Antropometri berat badan bayi dan berat plasenta adalah 619,15 gram dan 288,74 gram, pada usia gestasi 24 minggu 5 hari. Terdapat hubungan positif sedang antara berat plasenta, diameter plasenta, dan tebal plasenta dengan berat bayi lahir secara bermakna (p<0.05).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan rasio berat badan lahir dan berat plasenta pada kehamilan tunggal hidup dengan persalinan prematur dan aterm, serta terdapat hubungan positif sedang antara berat plasenta, diameter plasenta, dan tebal plasenta dengan berat bayi lahir.
Introduction: Birth weight at term and pretem pregnancy correlates with placental weight associated with the anatomy and function of the placenta in each trimester of pregnancy.
Objective: This study aims to prove the di erences and anthropometric ratio of birth weight/ placental weight at term and preterm labor, and to determine the relationship between the weight, diameter and thickness of the placenta with birth weight.
Methods: This study was a cross sectional study conducted at the Obstetrics and Gynecology Department of Sanglah General Hospital Denpasar Bali, from January 1st to December 31th, 2017. The total sample of 32 single, life pregnant women with preterm pregnancy as a study group and 32 single, life pregnant women with term pregnancy as control group. The analysis of the comparison ratio of birth weight to placental weight using independent-t test, while the Pearson test was used to determine the relationship between placental anthropometry and infant birth weight.
Results: In this study there were no di erences in age and parity (p> 0.05), whereas for gestational age there were di erences (p <0.05) between the two groups. The mean ratio of birth weight and placental weight between preterm labor and term delivery was signi cantly di erent (p <0.05). Anthropometry of infant weight and placental weight were 619.15 grams and 288.74 grams, at 24 weeks 5 days gestation. There was a signi cant positive relationship between placental weight, placental diameter, and placental thickness with signi cant birth weight (p <0.05).
Conclusion: There is a di erence in the ratio of birth weight and placental weight in a single life pregnancy with preterm and term labor, and there is a moderate positive relationship between placental weight, placental diameter, and placental thickness with the birth weight.
Hubungan antara hormon relaksin sistemik dengan terjadinya ketuban pecah dini
Ida Bagus Gede Putera Parama Wedya, GP Surya, K Surya NegaraOnline First: Dec 3, 2019
- Abstract
Hubungan antara hormon relaksin sistemik dengan terjadinya ketuban pecah dini
Pendahuluan: Ketuban pecah dini merupakan pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-tanda persalinan. Ketuban pecah dini dapat meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas bagi ibu dan bayi di dunia terutama di Indonesia. Hormon relaksin dipercaya kadarnya meningkat pada pasien dengan ketuban pecah dini. Diharapkan hormon relaksin dapat dijadikan suatu penanda dalam usaha mendeteksi secara dini serta mencegah terjadinya ketuban pecah dini.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara hormon relaksin sistemik dengan terjadinya ketuban pecah dini.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan rancangan Cross-Sectional di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar dan Laboratorium Prodia dari September 2017 sampai Juni 2018. Sampel penelitian adalah ibu hamil preterm dan aterm yang mengalami ketuban pecah dini yang datang ke Poliklinik dan Kamar Bersalin Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Sanglah Denpasar, yang memenuhi kriteria dan bersedia ikut serta dalam penelitian. Total sejumlah 40 orang ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi yang bersedia diikutkan dalam penelitian. Pemeriksaan serum darah dilakukan untuk mengidenti kasi kadar serum relaksin sistemik. Dilakukan uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan peningkatan kadar relaksin sistemik terhadap ketuban pecah dini. Data dianalisis dengan menggunakan Program SPSS.
Hasil: Hasil uji Chi-square kadar hormon relaksin terhadap kedua kelompok ketuban pecah dini preterm dengan ketuban pecah dini aterm didapatkan nilai p = 0,003 (p<0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara hormon relaksin sistemik dengan terjadinya ketuban pecah dini, dimana kadar hormon relaksin yang tinggi lebih bermakna pada kejadian pecah dini preterm preterm
Â
Â
Introduction: Premature rupture of membranes (PROM) is a rupture of the fetal membranes before any signs of labor. PROM can increase maternal and neonatal mortality and morbidity in the world, especially in Indonesia. The relaxin hormone is believed to increase levels in patients with PROM. It is expected that relaxin hormone can be used as a marker to detect early signs of PROM and prevent the incident.Â
Objective: The aim of this study is to know the relationship between systemic relaxin hormones with premature rupture of membranes (PROM).Â
Methods: This study used observational analytic approach with Cross- Sectional design at the Obstetrics and Gynecology Department of Sanglah Hospital Denpasar and Prodia Laboratories from September 2017 to June 2018. The research sample was preterm and term pregnant women who experienced PROM and was admitted to the Obstetrics-Gynecology Polyclinic and Delivery Room in ER Sanglah General Hospital Denpasar, that fulfill the inclusion criteriaand are willing to participate in this study. A Total of 40 pregnant women who met the inclusion criteria were willing to be included in the study. Blood sampling was done to identify systemic relaxin serum levels. Chi-Square test was conducted to find out the relationship between the increase in systemic relaxin hormones and PROM. Data were analyzed using the SPSS Program.Â
Results: Chi-Square test results shows that relaxin hormone levels between two groups of preterm PROM and aterm PROM were p = 0.003 (p <0.05).Â
Conclusion: It was concluded that there was a relationship between systemic relaxin hormones with premature rupture of membranes, in which the higher levels of relaxin hormone were more significant in preterm premature rupture of membranes.Â
Hubungan antara lokasi insersi, panjang, dan indeks kumparan tali pusat dengan berat badan bayi lahir pada persalinan aterm
Jeffy Winarta Wahjudi, Ketut Suwiyoga, IN Hariyasa Sanjaya, I Wayan Megadhana, A.A.N Anantasika, A.A Gede Putra WiradnyanaOnline First: Dec 3, 2019
- Abstract
Hubungan antara lokasi insersi, panjang, dan indeks kumparan tali pusat dengan berat badan bayi lahir pada persalinan aterm
Pendahuluan: Berat badan lahir merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Berat badan bayi lahir secara umum dipengaruhi oleh status nutrisi dan status kesehatan selama hamil seorang ibu. Faktor lain juga berperan dalam menentukan berat badan bayi lahir diantaranya adalah faktor plasenta, morfologi dan morfometrik tali pusat. Penelitian ini berfokus pada lokasi insersi, ukuran panjang, dan indek kumparan tali pusat.Â
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara lokasi insersi, panjang, dengan indeks kumparan tali pusat dengan berat badan bayi lahir pada persalinan aterm.Â
Metode: Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan potong lintang. Sampel penelitian adalah 34 ibu yang melahirkan pada usia kehamilan 37 minggu 0 hari hingga 41 minggu 6 hari di ruang bersalin Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Sanglah Denpasar sejak bulan Mei hingga jumlah sampel terpenuhi. Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square dan dilakukan dengan bantuan piranti SPSS for windows versi 16.0.Â
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan rerata usia ibu yang melahirkan pada persalinan aterm, jumlah paritas, dan IMT adalah 25,75±6,12 tahun, 0,53±0,96 dan 26,30±3,91 kg/m2. Penelitian ini mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara lokasi insersi tali pusat (p<0,05), ukuran panjang tali pusat (p<0,0,5), indeks kumparan tali pusat (p<0,05) dengan berat badan bayi lahir pada persalinan aterm.Â
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara lokasi insersi tali pusat, ukuran panjang tali pusat, dengan indeks kumparan tali pusat dengan berat badan lahir bayi di RSUP Sanglah Denpasar yang dilahirkan pada usia kehamilan 37 minggu 0 hari hingga 41 minggu 6 hari.
Introduction: Birth weight is one of the health indicators of the newborn. Generally birth weight is influenced by nutritional status and health condition of the mother during pregnancy. Other factors may influence birth weight including placenta, morphology and morphometric of the umbilical cord.Â
Objective: This study was aimed to determine location of insertion, length, and coiling index of umbilical cord and to understand the correlation between location of insertion, length and coiling index of umbilical cord with baby birth weight on term delivery.
Methods: A cross-sectional analytic method was used in this study. There were 34 samples of mothers who gave birth on range of gestational age 37 weeks 0 days until 41 weeks 6 days at Sanglah General Hospital Delivery Room. All their data were analyzed with statistic program and bivariate analysis with chi-square test. This study has been started since May 2017 until all subjects were achieved.Â
Results: In this study, the average age of mother on term delivery, number of parity and BMI were 25,75±6,12 years old, 0,53±0,96 and 26,30±3,91 kg/m2. Respectively, a significant correlation was found between length of umbilical cord (p<0,05), location of umbilical cord insertion (p<0,05) and umbilical cord coiling index (p<0,05) with baby birth weight on term delivery.Â
Conclusion: A correlation was found between location of insertion, length and coiling index of umbilical cord with baby birth weight of term baby born at Sanglah General Hospital.
Karakteristik infeksi malaria pada anak di RSUD Dekai Papua April-Juni 2018
Yulia sitta Dewi, I Wayan Gustawan, Made Gde Dwi Lingga Utama, Bagus Ngurah Putu ArhanaOnline First: Dec 3, 2019
- Abstract
Karakteristik infeksi malaria pada anak di RSUD Dekai Papua April-Juni 2018
Â
 Pendahuluan: Infeksi malaria merupakan penyakit endemis di Papua. Malaria merupakan penyebab kematian terbanyak pada anak. Informasi mengenai karakteristik infeksi malaria pada anak di RSUD Dekai, Papua sangat penting.Â
Tujuan: Mengetahui karakteristik anak dengan infeksi malaria di RSUD Dekai, Papua April-Juni 2018.Â
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, desain potong lintang, pengumpulan data secara retrospektif pada anak usia 1 bulan hingga 13 tahun yang didiagnosis dengan infeksi malaria.Â
Hasil: Hasil penelitian infeksi malaria pada anak usia 1 bulan-13 tahun total 242 anak dengan 130 anak (53,7%) adalah lelaki dan 112 anak (46,3%) adalah perempuan. Rasio antara lelaki dan perempuan adalah 1,2:1. Insiden infeksi malaria pada anak di bawah 1 tahun adalah adalah 25 (11,4%), anak-anak berusia 1-5 tahun adalah 121 (55,3%), anak-anak berusia 6-10 tahun adalah 58 (26,5%) dan anak-anak >10 tahun adalah 15 (6,8%). Tanda dan gejala yang paling umum terkait dengan infeksi malaria adalah demam dengan gejala pernapasan (33,5%). Sebanyak 121 anak (50%) mengalami infeksi malaria falsiparum, 86 anak (35,5%) mengalami infeksi malaria vivaks dan 35 anak (14,5%) mengalami infeksi campur malaria Plasmodium falciparum + Plasmodium vivax. Sebanyak 62,81% pasien mengalami splenomegali.
Kesimpulan: Infeksi malaria merupakan infeksi terbanyak pada pasien anak di Papua dengan perbandingan lelaki dengan perempuan 1,2:1. Gejala terbanyak infeksi malaria adalah demam dengan gejala pernapasan sebanyak 33,5%. Jenis infeksi malaria terbanyak adalah malaria falsiparum dengan usia 1-5 tahun. Sebanyak 62,81% anak dengan infeksi malaria mengalami splenomegali.
Â
Introduction: Malaria infection is an endemic disease in Papua. Most malaria death occur among infant and young children. Information about characteristic of pediatric patient with malaria infection in Dekai Hospital is very important.Â
Objective: The aim of this study was to determine the characteristic of pediatric patients with malaria infection at Dekai Hospital Papua April-June 2018.Â
Results: A descriptive retrospective study was performed in infant and children aged 1 months to 13 years who were diagnosed with malaria infection. A total of 242 children were studied from the data medical record in April to June 2018. One hundred thirty (53.7%) were males and 112 (46.3%) were females. The ratio between male and female was 1.2:1. The prevalence of malaria patients in children under 1 years old was 25 (11.4%), children aged 1-5 years old was 121 (55.3%), children aged 6-10 years old was 58 (26.5%) and children >10 years old was 15 (6.8%). The most common sign and symptoms related to malaria infection was fever with respiratory symptoms (33.5%). Based on the laboratory result, children with falciparum malaria infection was 121 children (50%), children with tertiana malaria infection was 86 children (35.5%) and childen with mixed malaria infection was 35 children (14.5%). About 62.81% patients had splenomegaly.Â
Conclusion: Malaria infections is one of the most common infections in the pediatric population in Papua. The ratio between male and female 1.2:1. The most common sign related to malaria was fever with respiratory symptom which is 33.5%. Plasmodium falciparum infection predominated in 1-5 years old. About 62.81% patients had splenomegaly
Obesitas dan resistensi insulin merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia
Rikisetya Adhi Perdana, IGP Surya, IN Hariyasa SanjayaOnline First: Dec 3, 2019
- Abstract
Obesitas dan resistensi insulin merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia
Â
Pendahuluan: Preeklampsia merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian utama ibu hamil di Indonesia, selain perdarahan dan infeksi. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia 2013, hipertensi dalam kehamilan (salah satunya preeklampsia) menyumbang sebanyak 30% dari angka kematian ibu pada tahun 2010. Preeklampsia masih menjadi “Disease of Theory†dimana tidak terdapat kepastian tentang mekanisme terjadinya. Salah satu yang diduga berperan dalam terjadinya preeklampsia adalah resistensi insulin. Sementara itu, obesitas merupakan salah satu penyebab terjadinya resistensi insulin. Obesitas ditentukan dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT) trimester I, sedangkan resistensi insulin dihitung dengan rumus Homeostatic Model Assessment of Insulin Resistance (HOMA-IR).Â
Metode: Sebuah penelitian observasional analitik case-control dilakukan dengan melibatkan 54 ibu hamil yang datang ke Poliklinik dan IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar, dengan usia kehamilan di atas 20 minggu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2018.Â
Hasil: Dari hasil penelitian didapatkan obesitas merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia sebesar 25 kali (OR = 25,30, IK 95% = 6,00-46,66, p = 0,001) dibandingkan tidak obesitas. Resistensi insulin merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia sebesar 4 kali (OR = 3,95, IK 95% = 1,07-14,65, p = 0,033) dibandingkan tidak resistensi insulin.Â
Kesimpulan: Sehingga dapat disimpulkan bahwa obesitas dan resistensi insulin merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia.Â
Â
Introduction: Preeclampsia is one of the three main causes of death for pregnant women in Indonesia, in addition to bleeding and infection. Based on data from the 2013 Indonesian Health Profile, hypertension in pregnancy (including preeclampsia) accounts for as much as 30% of the maternal mortality rate in 2010. Preeclampsia is still a “disease of theoryâ€, there is no certainty about the mechanism of its occurrence. One suspected role in the occurrence of preeclampsia is insulin resistance. Meanwhile, obesity is one of the causes of insulin resistance. Obesity is determined by calculating the body mass index (BMI) on first trimester, while insulin resistance is calculated by the Homeostatic Model Assessment of Insulin Resistance (HOMA-IR).Â
Methods: An analytical observational of case-control study done by involving 54 pregnant women who came to Midwifery Polyclinic and Emergency Unit of Sanglah General Hospital Denpasar with more than 20 weeks gestational age. This study has been conducted in March until August 2018.Â
Results: From the study result, it was found that obesity had 25 times higher risk for the occurrence of preeclampsia compared to not obese patient (OR = 25.30, CI 95% = 6.00-46.66, p = 0.001). While insulin resistance had 4 times higher risk for the occurrence of preeclampsia compared to not insulin resistance (OR = 3.95, CI 95% = 1.07-14.65, p = 0.033).Â
Conclusion: Therefore it can be concluded that obesity and insulin resistance were risk factors for the occurrence of preeclampsia.Â
Karakteristik pasien hamil dengan penyakit jantung di RSUP Sanglah Denpasar
I Gusti Ngurah Warsita, Ketut Surya Negara, Anak Agung Gede Putra Wiradnyana, Made Bagus Dwi AryanaOnline First: Dec 3, 2019
- Abstract
Karakteristik pasien hamil dengan penyakit jantung di RSUP Sanglah Denpasar
Introduction: Heart disease in pregnancy is one of the causes of the highest morbidity and mortality in pregnancy and labor.Â
Objective: The purpose of this study was to determine the characteristics of pregnancy in heart disease who were treated at Sanglah General Hospital Denpasar 1 January 2016 - 31 December 2017.Â
Methods: This study used a retrospective descriptive design. All pregnancies with gestational age > 20 weeks accompanied by heart disease that admitted to ED / obstetric polyclinic Sanglah Denpasar were included.Â
Results: There were 45 cases of pregnancy with heart disease, 2.34% of all deliveries. Rheumatic heart disease (37.78%), WHO class IV (40%), age 20-34 years (80.00%), normal body mass index (62.23%), secondary education level (62.22%), previous history of heart disease (53.33%), referral of health facility II (53.34%), primigravida (51.11%), gestational age > 37 weeks (57.78%), single pregnancy (95.56%), the position of the baby's head position (91.49%). Most labor methods were vaginal (53.19%). Post-partum care (5-10 days) 62.22%, intensive care unit 51.11%. 76.60% of neonates were vigorous, 51.06% of neonates had body weighs < 2500 grams. 44.45% did not use post-partum contraception. Case fatality rate (CFR) of maternal mortality with heart disease 17.78%, 37.5% (8 cases) caused by cardiogenic shock, 37.75% cardiac arrest due to ventricular fibrillation.Â
Conclusion: Heart disease in pregnancy is the highest cause of non-obstetric maternal death in Bali. Early intervention and care are needed to prevent maternal perinatal complications.
Â
Pendahuluan: Penyakit jantung dalam kehamilan merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi pada kehamilan dan persalinan.Â
Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik pasien hamil dengan penyakit jantung yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain deskriptif retrospektif. Seluruh kehamilan dengan umur kehamilan (UK) >20minggu disertai penyakit jantung yang datang ke IRD/poliklinik kebidanan RSUP Sanglah Denpasar diikutsertakan.Â
Hasil: Didapatkan 45 kasus kehamilan dengan penyakit jantung, 2,34% dari seluruh persalinan. Penyakit jantung rematik (37,78%), WHO kelas IV (40%), umur 20-34 tahun (80,00%), indeks massa tubuh normal (62,23%) tingkat pendidikan menengah (62,22%), riwayat penyakit jantung sebelumnya (53,33%), rujukan RS faskes II (53,34%), primigravida (51,11%), umur kehamilan > 37 minggu (57,78%), kehamilan tunggal (95,56%), posisi bayi letak kepala (91,49%). Metode persalinan terbanyak adalah pervaginam (53,19%). Perawatan post-partum (5-10 hari ) 62,22%, perawatan ruang intensif 51,11%. 76,60% bayi bugar, 51,06% berat < 2500 gram. 44,45% tidak menggunakan kontrasepsi post-partum. Case fatality rate (CFR) kematian maternal dengan penyakit jantung 17,78%, 37,5% (8 kasus) disebabkan syok kardiogenik, 37,75% cardiac arrest dikarenakan ventrikel fibrilasi.
Kesimpulan: Penyakit jantung pada kehamilan merupakan penyebab kematian maternal non-obstetrik tertinggi di Bali. Intervensi dan perawatan dini diperlukan untuk mencegah komplikasi perinatal ibu.
Hubungan antara peningkatan rate pressure product dan uji jalan 6 menit pada pasien dengan gagal jantung kronis
Primeriana Nugiaswari, K. Badjra Nadha, Raka WidianaOnline First: Dec 4, 2019
- Abstract
Hubungan antara peningkatan rate pressure product dan uji jalan 6 menit pada pasien dengan gagal jantung kronis
Â
Pendahuluan: Gagal jantung merupakan penyakit yang paling sering memerlukan pengobatan ulang di rumah sakit, meskipun pengobatan rawat jalan telah diberikan secara optimal. Gagal jantung kronis perlu dibedakan dari gagal jantung akut. Gagal jantung kronis merujuk pada kondisi penderita gagal jantung yang secara klinis relatif lebih stabil dan tidak ada keluhan tambahan dari pemeriksaan sebelumnya. Metode penilaian kapasitas fungsional pada penderita gagal jantung kronis dapat dilakukan secara subjektif atau objektif. Secara subjektif mencakup kriteria New York Heart Association. Evaluasi kapasitas fungsional secara objektif uji jalan 6 menit. Rate pressure product merupakan hasil perkalian nadi dan tekanan darah sistolik (nadi x tekanan darah sistolik/1000). Rate pressure product digunakan sebagai penanda fungsi kardiak. Rate pressure product mencerminkan fungsi jantung dalam memenuhi kebutuhan oksigen secara stabil dan terus-menerus pada waktu beraktivitas.Â
Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk membuktikan adanya hubungan antara peningkatan rate pressure product dan jarak tempuh uji jalan enam menit pada penderita gagal jantung kronis. Terdapat 60 subjek dengan gagal jantung kronis.Â
Metode: Penderita diarahkan untuk melakukan pemeriksaan anamnesis dan fisik serta elektrokardiografi sebelum melakukan uji jalan enam menit. Setelah itu penderita gagal jantung kronis melakukan uji jalan enam menit pada lintasan di Gedung Pelayanan Jantung Tepadu Rumah Sakit Umum Pusat Sangah. Pengukuran nadi dan tekanan darah dilakukan sebelum dan setelah uji jalan enam menit. Hasil jarak tempuh diukur setelah waktu enam menit usai.Â
Hasil: Didapatkan hasil bahwa peningkatan rate pressure product berkorelasi negatif kuat dengan jarak tempuh uji jalan enam menit pada penderita gagal jantung kronis (r= -0,786; p<0,0001). Dosis aman untuk jalan pada gagal jantung kronis adalah antara 191 sampai 255 meter. Rentang ini dianggap aman untuk melakukan aktivitas karena peningkatan rate pressure product yang didapat berkisar antara 1,409 sampai 2,581.Â
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa peningkatan rate pressure product yang semakin tinggi berkaitan dengan penurunan jarak tempuh uji jalan enam menit pada penderita gagal jantung kronis.Â
Â
Introduction: Heart failure is the highest prevalence of rehospitalization despite optimal medical therapy. Chronic heart failure differs from acute heart failure. Chronic heart failure means stable heart failure from routine control with no worsening of symptoms. Functional capacity for chronic heart failure patients divided into subjective and objective measurements. New York Heart Association is commonly used as subjective measurement. However, functional capacity needs to be measured objectively. One of the simple and rapid examination is six-minute walk test. Six-minute walk test is a submaximal test for chronic heart failure patients that is proven to be safe. Rate pressure product is the result of systolic blood pressure times heart rate. Rate pressure product is a parameter for oxygen supply to tissues while exercising.Â
Objective: The aim for this study is to know the correlation between increased rate pressure product and 6-minute walking distance in chronic heart failure patients.Â
Methods: There were 60 subjects of chronic heart failure in this study. Subjects were examined through interview, physic diagnostic, and electrocardiography in polyclinic. Then subjects went through serial blood pressure and heart rate examination before and after six-minute walk test. Finally, the result of walking distance was measured using the ruler on the floor of the tract in third floor of heart service building in Sanglah Hospital.Â
Results: Results showed strong negative correlation between increased rate pressure product and 6-minute walking distance in chronic heart failure subjects (r= -0.786; p<0.0001). Safe walking distance for chronic heart failure patient is 191 until 255 meters. This range is safe due to rate pressure product gain is between 1.409 to 2.581.Â
Conclusion: It is concluded that increasing rate pressure product correlated with decreased 6-minute walking distance in chronic heart failure subjects.Â
Profil kehamilan remaja di RSUP Sanglah tahun 2016-2017
Setyawan Nurtanio, I Made Darmayasa, I Made Bagus Dwi AryanaOnline First: Dec 4, 2019
- Abstract
Profil kehamilan remaja di RSUP Sanglah tahun 2016-2017
Â
Pendahuluan: Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada wanita usia 15-19 tahun. Kehamilan pada remaja merupakan masalah kesehatan reproduksi yang dapat mempengaruhi aspek kesehatan, sosial, psikologis dan lainnya pada ibu dan anak serta keluarga yang bertanggung jawab langsung atas pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Angka kejadian morbiditas dan mortalitas pada remaja dan atau janin yang dikandungpun meningkat.Â
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kehamilan remaja, berupa angka kejadian kehamilan remaja, sebaran kehamilan remaja berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, paritas, status pernikahan, frekuensi ANC, tempat ANC, komplikasi, tindakan yang dilakukan dan kematian perinatal dan maternal di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2016-2017.Â
Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif dengan pengambilan variabel yang berasal dari sumber data sekunder, yaitu seluruh ibu yang didiagnosa hamil yang datang ke Poliklinik dan IRD Kebidanan RSUP Sanglah Denpasar yang berusia 15 sampai 19 tahun pada periode 2016-2017.Â
Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa ditemukan 155 kasus kehamilan remaja dari total 5.112 kasus. Berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan paling banyak dengan tingkat pendidikan SMA (51,6%), SMP (40,7%) dan SD (7,7%). Berdasarkan pekerjaan, tidak bekerja (65,9%) dan bekerja (34,1%). Berdasarkan paritas primigravida (92,2%) dan multigravida (7,8%). Berdasarkan status pernikahan 113 (72,9%) menikah dan 42 (27,1%) remaja menikah. Berdasarkan frekuensi ANC yakni 14 (9,1%) tidak pernah ANC, 50 (32,2%) ANC kurang dari 3 kali, dan 91 (58,7%) melakukan lebih dari 3 kali ANC.Â
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa 71,3% mengalami komplikasi dan persalinan preterm merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Sekitar 61,3% kehamilan remaja tidak memerlukan tindakan lain selain persalinan spontan.Â
Â
Introduction: Adolescent pregnancy is a pregnancy that occurs in women aged 15-19 years. Pregnancy in adolescents is a reproductive health problem that can affect health, social, psychological and other aspects of the mother and child and the family responsible for the growth and development of the child. The incidence of morbidity and mortality in adolescents and the fetus they contain increases.
Objective: This study aims to determine the profile of teenage pregnancy, in the form of teen pregnancy rates, distribution of teenage pregnancies based on education level, occupation, parity, marital status, antenatal care (ANC) frequency and provider, complications, actions, and perinatal and maternal deaths at Sanglah Hospital Denpasar during 2016-2017.
Methods: This research is a retrospective descriptive study using variables from secondary data sources. The population of study in this research is all pregnant women who come to the Obstetric and Gynaecology Department (polyclinic and outpatient clinic)of Sanglah Hospital Denpasar, aged 15 to 19 years during 2016- 2017.
Results: The results showed that there were 155 cases of teenage pregnancies out of a total of 5112 cases. Based on the level of education, the majority of patients have high school level education (51.6%), junior high school (40.7%) and elementary school (7.7%). Based on their occupation, 65.9% of the study sample are not working, and only 34.1% are working. Almost all the adolescent pregnancy patient is primigravida (92.2%), with only a small 7.8% are multigravida (7.8%). Based on marital status, 113 (72.9%) were married, and 42 (27.1%) were unmarried. Based on the ANC frequency, fourteen patients (9.1%) never had ANC ANC, fifty patients (32.2%) had ANC for less than three times, and ninety-one (58.7%) did ANC for more more than three times.
Conclusion: The study showed that 71.3% experienced complications and preterm labor was the most common complication. Around sixty percent of teen pregnancies do not require specific management other than spontaneous labor.
Red Cell Distribution Width (RDW) sebagai prediktor mortalitas pada sepsis neonatorum
Ni Made Sukewanti, I Wayan Darma Artana, I Made Kardana, Made Sukmawati, Putu Junara PutraOnline First: Dec 4, 2019
- Abstract
Red Cell Distribution Width (RDW) sebagai prediktor mortalitas pada sepsis neonatorum
Pendahuluan: Sepsis merupakan masalah yang umum terjadi pada neonatus, dengan angka mortalitas yang tinggi terutama di negara berkembang. Red cell distribution width (RDW) merupakan suatu penanda yang saat ini sedang diteliti pada sepsis. Peningkatan RDW terjadi pada kondisi produksi sel darah merah yang tidak efektif, atau peningkatan destruksi sel darah yang biasanya terjadi pada kondisi inflamasi atau infeksi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan RDW terhadap kejadian mortalitas pada neonatus cukup bulan dengan sepsis.
Metode: Penelitian ini adalah suatu studi potong-lintang analitik observasional. Subyek penelitian adalah neonatus cukup bulan dengan sepsis neonatorum yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2017. Data yang digunakan adalah data sekunder diambil dari rekam medis pasien.
Hasil: Terdapat 62 subyek penelitian dengan median usia 2,5 hari, terdiri dari 36 (58,06%) lelaki dan 26 orang (41,94%) perempuan. Diagnosis Sepsis Neonatal Awitan Dini (SNAD) sebanyak 53 (85,48%) dan SNAL sebanyak 9 (14,52%). Median lama rawat adalah 10 hari, dengan luaran 35,48% meninggal dunia. Rerata RDW didapatkan lebih tinggi pada kelompok subyek yang meninggal (17,14 ±1,69) dibandingkan kelompok yang hidup (15,37 ±1,25) (p<0,001). Pada kelompok yang meninggal dunia juga didapatkan rerata trombosit yang lebih rendah (p=0,044), median IT rasio (p=0,015) serta procalcitonin yang lebih tinggi (p=0,006). Pada analisis ROC didapatkan RDW efektif dalam memprediksi mortalitas (AUC 0,797, IK 95% 0,685 – 0,908, p<0,001). Titik potong nilai RDW 15,79% memiliki sensitivitas 73% dan spesifisitas 70% dalam memprediksi mortalitas.
Kesimpulan: Peningkatan RDW dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis neonatorum.
Â
Introduction: Sepsis is a serious health problems in newborns with high mortality rate especially in developing countries. Red cell distribution width (RDW) is currently studied prognostic marker in sepsis. RDW increased in conditions of ineffective RBC’s production or increased of RBC’s destruction that occur in inflammation or sepsis.
Objective: Objective of this study is to determine RDW as a predictor of mortality in neonatal sepsis.
Methods: This research is a cross sectional study. Subject of this research is term neonates with neonatal sepsis treated in Sanglah General Hospital on 2017. Data was taken from medical record.
Results: There were 62 eligible subjects with median age 2.5 days, consists of 36 males (58.06%) and 26 females (41.94%). Based on the onset of sepsis, there were 53 (85.48%) subjects with early onset neonatal sepsis (EONS) and 9 (14.52%) with late onset neonatal sepsis (LONS). Median length of stay (LoS) in this study is 10 days, with outcome death in 35.48% subjects. Mean RDW was found significantly higher in the nonsurvivor (17.14 ±1.69) compared to survivor (15.37 ±1.25) (p<0.001). Nonsurvivor subjects had lower platetet (p=0.044), higher IT rasio (p=0.015) and higher procalcitonin (p=0.006) compared to the survived subjects. ROC analysis showed that RDW is effective in predicting mortality (AUC 0.797, 95% CI 0.685 – 0.908, p<0.001). RDW 15.79% as a cut-off point has 73% sensitivity and 70% specificity in predicting mortality.
Conclusion: Conclusion of this study increased RDW can be used as a predictor of mortality in neonatal sepsis.
Gambaran dinamika percobaan bunuh diri: Analisis 234 kasus periode tahun 2016-2018 di RSUP Sanglah Denpasar
Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Cokorda Bagus Jaya LesmanaOnline First: Dec 4, 2019
- Abstract
Gambaran dinamika percobaan bunuh diri: Analisis 234 kasus periode tahun 2016-2018 di RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan: Perilaku bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Gangguan psikologis bisa menyebabkan seseorang melakukan percobaan bunuh diri.
Tujuan: Untuk mendapatkan gambaran mengenai dinamika percobaan bunuh diri pada pasien periode tahun 2016-2018.
Metode: Desain penelitian yang digunakan yaitu deskriptif dengan metode studi kasus melalui pengumpulan data dari seluruh pasien dengan percobaan bunuh diri yang tercatat dalam register Instalasi Gawat Darurat (IGD) di RSUP Sanglah Denpasar yang ditangani oleh bidang Psikiatri.
Hasil: Data tiga tahun terakhir menunjukkan jumlah kasus dengan percobaan bunuh diri sebanyak 234 kasus, dimana jumlah pasien perempuan sebanyak 156 kasus (66,7%). Hasil penelitian didapatkanjumlahpasiendenganpercobaanbunuhdiridengan diagnosis depresi terbanyak pada perempuan dengan cara peracunan diri.
Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini yaitu pasien membutuhkan motivasi berupa dukungan sosial.
Â
Introduction: Suicidal behavior is a significant public health problem. Psychological disorders such as depression can cause a person to commit suicide.
Objective: The aim of this study was to find the dynamics characteristic of the patients with suicide attempt in 2016-2018.
Methods: The research design applied is descriptive, the case study method through the data collection from all patientsattempting suicide that were registered in Intensive Care Unit of RSUP Sanglah Denpasar handled by the poly psychiatry.
Results: The datas from last three years show the number of cases of patients attempting sucide as many as 234 cases, in which the number of female patients was 156 cases (66.7%). The result of the study shows that the number of patients attempting suicide and diagnosed with depression is mostly experienced by women by self- poisoning.
Conclusion: The conclusion of the study is the patients need motivation which is social support.
Pediatric cardiomyopathy at Sanglah Hospital Denpasar in 2015-2017
Kadek Dwi Wedantara, Ni Putu Veny Kartika Yantie, Eka GunawijayaOnline First: Dec 4, 2019
- Abstract
Pediatric cardiomyopathy at Sanglah Hospital Denpasar in 2015-2017
Pendahuluan: Kardiomiopati merupakan kasus yang jarang terjadi pada anak dan tidak dipublikasikan dengan baik. Insiden kardiomiopati meningkat setiap tahunnya. Luaran pasien anak dengan kardiomiopati tergantung pada tipe dan jenis dari kardiomiopati. Manifestasi klinis kardiomiopati pada anak biasanya berbeda, dimana murmur tidak selalu muncul sebagai gejala dari kardiomiopati pada anak.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan karakteristik dan luaran pasien anak dengan kardiomiopati di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
Metode: Kami melakukan pencarian pasien anak dengan kardiomiopati yang menjalani pemeriksaan ekokardiografi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar selama 2015-2017 secara retrospektif. Data dikumpulkan dari rekam medis dan buku catatan pasien.
Hasil: Terdapat 25 pasien yang dimasukkan dalam penelitian ini yaitu 19 pasien dengan kardiomiopati dilatasi dan 6 pasien dengan kardiomiopati hipertrofi. Usia rata-rata pasien adalah 6,5 tahun dengan jenis kelamin yang lebih banyak adalah perempuan. Murmur ditemukan pada sebagian besar pasien. Delapan kasus tanpa penyakit yang mendasarinya (kardiomiopati primer). Sebagian besar dari mereka mengalami gagal tumbuh.
Kesimpulan: Kardiomiopati paling sering terjadi pada anak di bawah 12 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Kasus yang paling sering adalah kardiomiopati dilatasi tanpa penyakit yang mendasarinya.
Â
Introduction: Cardiomyopathy is relatively rare in children and it is not well publicized. The incidence of cardiomyopathy is increased annually. Outcome of pediatric patients with cardiomyopathy depends on the types and stages of the disease. Clinical manifestations of cardiomyopathy in children are usually different, where murmurs are not always present as symptoms of cardiomyopathy in children.
Objective:Â This study aimed to describe characteristics and outcome of pediatric patients with cardiomyopathy at Sanglah Hospital Denpasar.
Method: We retrospectively reviewed pediatric patients with cardiomyopathy who were performed echocardiography examination at Sanglah Hospital Denpasar during 2015-2017. Data were collected from medical records and patient registry.
Result: There were 25 patients enrolled in this study which were 19 cases of dilated cardiomyopathy and 6 cases of hypertrophy cardiomyopathy. Mean of age was 6.5 years old with female predominantly. There were murmur in most of the patients. Eight cases were without underlying disease (primary cardiomyopathy). Most of them were failure to thrive.
Conclusion: Cardiomyopathy was most commonly occured in children younger than 12 years old and female. The most common cases were dilated cardiomyopathy without underlying disease.
Â
Â
Perbedaan kadar serum imunoglobulin G, A, dan M pada tikus wistar yang dilakukan splenektomi dengan dan tanpa tandur lien
Ketut Sudartana, Eka Winarka, Nyoman Golden, Christopher RyalinoOnline First: Dec 4, 2019
- Abstract
Perbedaan kadar serum imunoglobulin G, A, dan M pada tikus wistar yang dilakukan splenektomi dengan dan tanpa tandur lien
Pendahuluan: Masih terdapat kontroversi mengenai pengaruh tandur lien paska splenektomi terhadap fungsi immunologi. Asplenia dapat menurunkan kemampuan respon imun adaptif dan humoral. Kejadian overwhelming post splenectomy infection (OPSI) yang terjadi paska splenektomi memiliki angka insiden 5% dengan angka mortalitas 38- 70%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tandur lien terhadap kadar imunoglobulin G, A dan M serum tikus wistar.
Metode: Rancangan penelitian ini adalah randomized post-test only control group design. Sebanyak 36 ekor tikus wistar dewasa dengan berat 200-250 g ditempatkan dalam kandang terpisah dan dalam kondisi yang terkontrol dan diberikan makan minum bebas. Semua hewan coba diberikan anestesi ketamine secara intramuskuler dengan dosis 50 mg/kg. Tikus dibagi menjadi dua kelompok, yakni splenektomi (kontrol) dan tandur lien (perlakuan). Sembilan minggu setelah dilakukan tindakan, masing- masing tikus akan diambil sampel darahnya, dan dilakukan pemeriksaan imunoglobulin serum. Setelah diboservasi selama sembilan minggu, tikus diambil sampel darah untuk diperiksa kadar imunoglobulin serum.
Hasil: Dari hasil pemeriksaan, kadar imunoglobulin serum pada kelompok tandur lebih tinggi dibanding kelompok splenektomi, namun hanya IgM yang berbeda signifikan (0,428±0,092 vs 0,208±0,071, p <0,05).
Kesimpulan: Kami menyimpulkan bahwa tindakan tandur lien dapat dipilih sebagai salah satu cara untuk mempertahankan fungsi lien paska splenektomi. Tandur lien bisa menjadi salah satu pilihan terapi pencegahan OPSI disamping ada tindakan preservasi lien lainnya maupun keterlibatan protokol vaksinasi
Introduction: There is still controversy regarding the effect of post splenectomy saliva on immunological function. Asplenia can reduce the ability of the adaptive and humoral immune responses. The occurrence of Overwhelming Post Splenectomy Infection (OPSI) that occurred after splenectomy has an incidence rate of 5% with a mortality rate of 38-70%. This study aims to determine the effect of spinal fluid on immunoglobulin levels of G, A and M serum of wistar rats.
Method: The study design was a randomized post-test only control group design. A total of 36 adult Wistar rats weighing 200-250 g were placed in separate cages and under controlled conditions and given free to drink. All experimental animals were given ketamine anesthesia intramuscularly at a dose of 50 mg / kg. Rats were divided into two groups, namely splenectomy (control) and spinal cord (treatment).Nine weeks after the action, each rat would have a blood sample taken, and a serum immunoglobulin examination was carried out. After being conserved for nine weeks, rats were taken blood samples to be checked for serum immunoglobulin levels.
Result: From the examination results, serum immunoglobulin levels in the tandur group were higher than the splenectomy group, but only IgM was significantly different (0.428 ± 0.092 vs 0.208 ± 0.071, p <0.05).
Conclusion: We conclude that the action of the spinal cord can be chosen as a way to maintain the function of the spinal cord after splenectomy. Spinal discharge can be an option for prevention of OPSI as well as other preservation of the lien and involvement of the vaccination protocol.
Distribusi penderita Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) berdasarkan beberapa faktor predisposisi pada siswa sekolah dasar di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali
Putu Mayestika Sesarini, Komang Andi Dwi DwisaputraOnline First: Dec 4, 2019
- Abstract
Distribusi penderita Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) berdasarkan beberapa faktor predisposisi pada siswa sekolah dasar di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali
Â
Latar Belakang: Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukoperiosteum celah telinga tengah disertai perforasi membran timpani dengan keluarnya sekret purulen atau mukopurulen yang terus menerus atau hilang timbul lebih dari dua bulan. OMSK merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Tujuan: Untuk mengetahui distribusi penderita OMSK pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang (cross sectional). Sampel penelitian adalah seluruh penderita OMSK dari 4 SD di Kabupaten Karangasem yang dilakukan pemeriksaan kesehatan THT-KL pada tanggal 23 Juli dan 20 Agustus 2016.
Hasil:. Dari total 1217 siswa dari keempat SD tersebut  didapatkan sampel sebanyak 73 siswa penderita OMSK, yaitu 41 siswa laki-laki dan 32 siswa perempuan. Penderita OMSK terbanyak berusia 6 tahun yaitu 19 siswa, sedangkan yang paling sedikit adalah 9 tahun yaitu 8 siswa. Berdasarkan status ekonomi, didapatkan 40 siswa (54,80%) dengan status ekonomi miskin. Didapatkan 7 siswa (9,59%) dengan riwayat BBLR juga didapatkan 61 siswa (83,56%) dengan status gizi baik serta 54 siswa (73,97%) yang mengalami paparan asap rokok di lingkungan tempat tinggalnya.
Kesimpulan: Distribusi penderita OMSK lebih banyak laki-laki dengan usia 6 tahun, status ekonomi miskin, tidak memiliki riwayat BBLR, status gizi baik dan mempunyai riwayat terpapar asap rokok.
Introduction: Chronic suppurative otitis media (CSOM) is inflammation of part or all of the mucoperiosteum in the middle ear space accompanied by tympanic membrane perforation with the release of purulent or mucopurulent secretions that persist or disappear after more than two months. CSOM is one of the causes of hearing loss in developing countries including Indonesia. This study aimed to determine the distribution of CSOM patients in elementary school students in Karangasem Regency.
Method: This study was a descriptive study using a cross-sectional design. The samples were all CSOM patients from 4 primary schools in Karangasem regency who conducted ENT health checks on July 23rd and August 20th, 2016.
Result:Â From a total of 1217 students from four elementary schools, 73 students with CSOM was obtained, namely 41 male students and 32 female students. Most students with CSOM are 6 years old, 19 students, while the least is 9 years, 8 students. Based on economic status, there were 40 students (54.80%) with poor financial conditions. 7 students (9.59%) with a history of LBW were also found 61 students (83.56%) with good nutritional status and 54 students (73.97%) who experienced exposure to cigarette smoke in their neighborhood.
Conclusion: The distribution of CSOM was more male with 6 years of age, poor economic status, no history of low birth weight, good nutritional status and a history of exposure to cigarette smoke.
Distribusi kasus benda asing traktus aerodigestivus di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2012 – Desember 2016
Ni Made Alit Ardianti, I Wayan SuciptaOnline First: Dec 5, 2019
- Abstract
Distribusi kasus benda asing traktus aerodigestivus di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2012 – Desember 2016
Â
Latar Belakang: Benda asing traktus aerodigestivus adalah suatu benda yang pada keadaan normal tidak terdapat di dalam saluran tersebut.
Tujuan: Untuk mengetahui distribusi penderita benda asing traktus aerodigestivus di bagian T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif. Sampel penelitian adalah semua pasien yang dicurigai tertelan atau tersedak benda asing dan dilakukan esofagoskopi atau bronkoskopi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2012 sampai dengan Desember 2016.
Hasil: Seratus tujuh pasien dengan riwayat benda asing di traktus aerodigestivus, didapatkan 62 orang laki-laki dan 45 orang perempuan dengan perbandingan 1,4 : 1. Rentang usia terbanyak didapatkan usia 0-10 tahun, usia termuda 5 bulan dan usia tertua 92 tahun. Suku bangsa terbanyak adalah suku Bali 73,83%. Keluhan utama yang ditemukan adalah tertelan benda asing 57,94%. Benda asing organik terbanyak yang ditemukan adalah tulang ayam sebanyak 26,17% sedangkan benda asing anorganik terbanyak adalah uang logam sebanyak 21,49%. Jenis tindakan terbanyak yang dilakukan adalah esofagoskopi yaitu 76,64%. Sebanyak 78,50% benda asing berada di esofagus dan 21,50% berada di trakeobronkial.
Kesimpulan: Pada penelitian ini penderita dengan riwayat tertelan atau tersedak benda asing traktus aerodigestivus terbanyak adalah laki-laki dengan perbandingan 1,4 : 1. Usia tersering adalah 0-10 tahun. Jenis tindakan terbanyak yang dilakukan adalah esofagoskopi.
Introduction: Aerodigestive foreign body is a substance normally does not exist in the tract. This study aimed to know the patient’s distribution of aerodigestive foreign body in ENT-HNS Faculty of Medicine Udayana University / Sanglah General Hospital Denpasar.
Method: This study use retrospective descriptive methods. Samples were all patients suspected of being inhaled or ingested by foreign bodies and were performing esophagoscopy or bronchoscopy at Sanglah General Hospital Denpasar during January 2012 until December 2016.
Result: One hundred and seven patients with a history of foreign bodies in the aerodigestive tract, 62 male and 45 female with a ratio 1,4:1. The most common age groups is 0-10 years old, where the youngest is 5 month dan oldest is 92 years old. The most tribes is Balinese 73.83%. The most chief complaints are history of ingested foreign bodies 57.94%. Chicken bone is the most organic foreign body 26.17% and coin is the most inorganic foreign body 21.49%. The most management were esophagoscopy 76.64%. As many as 78.50% foreign bodies in the esophageal tract and 21.50% in the tracheobronchial tract.
Conclusion: In this study, most patients with a history of inhaled or ingested foreign bodies in the aerodigestive tract were male with a ratio 1,4:1. The most common age groups is 0-10 years old. The most common management is esophagoscopy.
Efek pemberian antibiotika profilaksis terhadap hasil kultur tube thoracostomy pada pasien pneumothoraks akibat trauma tumpul thoraks di RSUP Sanglah Denpasar periode September 2018
I Gusti Bagus Dwi Rangkuty Agung, I Nyoman Semadi, I Gde Raka WidianaOnline First: Dec 5, 2019
- Abstract
Efek pemberian antibiotika profilaksis terhadap hasil kultur tube thoracostomy pada pasien pneumothoraks akibat trauma tumpul thoraks di RSUP Sanglah Denpasar periode September 2018
Latar Belakang :Trauma thoraks merupakan salah satu jenis trauma dengan insiden tinggi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas setelah trauma kepala dan ektremitas. Tindakan pemasangan selang torakostomitelah menjadi salah satu standar manajemen trauma thoraks. Infeksi merupakan komplikasi yang dapat terjadi selama perawatan yang telah diperdebatkan karena keterkaitannya dengan penggunaan antibiotika profilaksis. Hingga saat ini belum ada pedoman penggunaan antibitiotika profilaksis pada pemasangan selang torakostomipada kasus pneumothorak. Oleh karena itu, peneliti tertarik meneliti efek pemberian antibiotika profilaksis terhadap hasil kultur selang torakostomi pasien pneumothoraks akibat trauma tumpulthoraks.
Metode: Rancangan penelitiandengan menggunakan Double Blind Randomized Post Test Only Control Group Design.Subyek penelitian adalah pasien trauma tumpul thoraksdengan pneumothorak syang datang ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah memiliki indikasi pemasangan selang torakostomi . Sebesar 30 pasien yang termasuk dalam sampel penelitian kemudian dilakukan perbandingan terhadap hasil kultur pada ujung selang  antara pasien yang mendapat antibiotika profilaksis dan plasebo.
Hasil: Tidak ada perbedaan hasil kultur antara sampel yang mendapat antibiotika profilaksis dengan sampel yang mendapat plasebo pemberian antibiotika terhadap hasil kultur tubethoracostomy (p=1,00). Pemberian antibiotika, umur, fraktur kosta, dan lama pemakaian TT tidak mempunyai pengaruh terhadap hasil kultur tubetorachostomy diatas dengan p> 0,05. Analisis ini juga menunjukkan bahwa diberikan atau tidaknya antibiotik dengan mengontrol usia, kondisi fraktur kosta, dan durasi TT tidak bermakna terhadap kejadian infeksi pada pemasangan torakostomi WSD (OR yang mencakup angka 1).
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan hasil kultur selang thorakostomi antara yang diberikna antibiotika profilaksis dan plasebo pada pasien pneumothoraks akibat trauma tumpul thoraks yang memerlukan pemasangan TT di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
Â
Abstract
Introduction: Thoracic trauma is one type of trauma with a high incidence that causes morbidity and mortality after head trauma and extremity. The act of installing a thoracostomy hose has become one of the standards for management of thoracic trauma. Infection is a complication that can occur during treatment that has been debated because of its association with the use of prophylactic antibiotics. Until now there has been no guideline for the use of antibitiotika prophylaxis in the installation of a thoracostomy hose in pneumothoracic cases. Therefore, researchers are interested in examining the effect of prophylactic antibiotics on the results of thoracostomy hose culture of pneumothorax patients due to blunt thoracic trauma.
Method: Research design using Double Blind Randomized Post Test Only Control Group Design. The subjects of the study were blunt thoracic trauma patients with pneumothorax who came to the emergency department Sanglah Central Hospital had an indication of the installation of a thoracostomy hose. As many as 30 patients included in the study sample then compared the results of culture at the end of the interval between patients who received prophylactic antibiotics and placebo.
Results: There were no differences in culture results between samples receiving prophylactic antibiotics and samples receiving placebo antibiotics for thoracostomy tube culture results (p= 1.00). The administration of antibiotics, age, rib fracture, and duration of TT use did not have an effect on the results of the torachostomy tube culture above with p-value > 0.05. This analysis also showed that antibiotics were given or not by controlling age, costal fracture conditions, and the duration of TT was not significant for the incidence of infection in the installation of WSD thoracostomy (OR which includes 1).
Conclusion: There were no differences in the results of the interval thoracostomy culture that was given prophylactic antibiotics and placebo in pneumothorax patients due to blunt thoracic trauma that required the installation of TT at Sanglah General Hospital.
Karakteristik mental dan emosional anak disabilitas berdasarkan strength and difficulties questionairre di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Jimbaran, Bali
Armand Setiady Liwan, Trisna Windiani IGA, Sugitha Adnyana IGAN, Soetjiningsih .Online First: Dec 5, 2019
- Abstract
Karakteristik mental dan emosional anak disabilitas berdasarkan strength and difficulties questionairre di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Jimbaran, Bali
Abstract
Latar Belakang: Anak-anak penyandang disabilitas berpotensi untuk menjalani kehidupan secara penuh dan berkontribusi pada aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Anak disabilitas dihadapkan dengan berbagai macam masalah, tidak hanya keterbatasan fisik tetapi juga masalah kesehatan mental dan emosional yang dapat menghambat pendidikan dan kehidupan bermasyarakat.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang untuk mengetahui karakteristik dan nilai SDQ pada anak dengan disabilitas di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Jimbaran Bali. Penelitian ini dilakukan dengan cara convenient sampling selama bulan Februari 2018.
Hasil: Lelaki lebih banyak dari perempuan dengan jumlah 21 orang (66%). Lima orang berada pada kelompok usia anak (16%) dan 27 orang berada pada kelompok usia remaja (84%). Berdasarkan riwayat kelahiran, 26 orang (81%) dengan riwayat kelahiran cukup bulan. Pendidikan ayah dan ibu terbanyak pada tingkat SMA. Berdasarkan penghasilan orang tua, terbanyak pada tingkat menengah sebanyak 19 orang (59%). Nilai kesulitan total menunjukkan jumlah terbanyak pada kategori abnormal yaitu sebanyak 16 orang (50%), sedangkan nilai kekuatan (prososial) terbanyak pada kategori normal yaitu sebanyak 22 orang (69%). Dari keempat subskala pada nilai kesulitan total, 20 dari 32 orang dengan masalah emosional (62%), 15 dari 32 orang (47%) dengan masalah conduct dan juga masalah teman sebaya, hanya 8 dari 32 orang (25%) memiliki masalah hiperaktifitas.
Simpulan: Sebagian besar anak penyandang disabilitas di YPAC Jimbaran Bali memiliki nilai kesulitan pada kategori abnormal, namun mereka masih memiliki nilai kekuatan (prososial) Â berada pada kategori normal.
Â
Abstract
Introduction: Children with disability have a potential to have a complete life and contribute wholly in social, cultural, and economy aspects. They are faced a wide range of issues, not only do they have physical limitations, but also bound to mental and emotional problems.
Method: A descriptive study with cross-sectional design at Yayasan Pendidikan Anak Cacat Jimbaran Bali was done to know the characteristics of mental and emotional in children with disability based on Strength and Difficulties Questionairre.
Result: This study results found that male was more than female with 21 students (21/32). Five students were in the age group of childhood (6-9 years-old) and 27 were in the adolescent groups (6-11 years-old). Based on birth history, 26 (26/32) were term babies. Most fathers and mothers’ education were at the senior high school level. Based on the parents’ income, 19 children mostly were categorized as middle economic level (19/32). The value of the total difficulties indicated the number of abnormal categories as many as 16 children (16/32), while the value of strength (prosocial) most normal category as many as 22 children (22/32). Of the four subscales on the value of difficulties in total, 20 of 32 children were with emotional problems, 15 of 32 children were with conduct and peer problems. Only 8 out of 32 children had hyperactivity problems.
Conclusion: Based on these results, we can conclude that the majority of children with disability had difficulties score on the abnormal category, but score of strength were on the normal category.
Hubungan antara kalori total, protein, rasio protein: Kalori pada makanan pendamping ASI dan pola pemberian susu dengan stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kenjeran, Surabaya, Indonesia
I Gusti Ayu Putu Eka Pratiwi, Roedi Irawan, Boerhan HidayatOnline First: Dec 5, 2019
- Abstract
Hubungan antara kalori total, protein, rasio protein: Kalori pada makanan pendamping ASI dan pola pemberian susu dengan stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kenjeran, Surabaya, Indonesia
Abstrak
Pendahuluan: ASI tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan seorang anak saat usia >6 bulan. Kejadian stunting meningkat pada periode ini. MPASI memegang peran penting pada periode ini. Kandungan kalori dan protein yang adekuat dari makanan yang dikonsumsi menentukan pertumbuhan seorang anak. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hubungan antara total kalori, protein, rasio protein:kalori dari MPASI dan pola pemberian susu dengan stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kenjeran, Surabaya.
Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian potong-lintang pada anak-anak berusia 6-24 bulan, menggunakan total sampling dari anak-anak yang menghadiri posyandu di Kecamatan Kenjeran Surabaya dari tanggal 1 Mei 2018 sampai 31 Mei 2018.
Hasil: Penelitian ini mendapatkan 45 anak dengan usia median 15,13 (6,4-23,67) bulan, 17 (37,8%) anak berusia 6-12 bulan dan 28 (62,2%) anak berusia 13-24 bulan. Jenis kelamin lelaki sebanyak 25 (55,6%). Stunting terdapat pada 18 (40%) anak. Rerata kalori MPASI pada kelompok stunting adalah 37% dari kebutuhan dan 36% dari kebutuhan pada kelompok tanpa stunting. Kalori, protein, dan rasio protein:kalori dari MPASI yang diberikan tidak berhubungan dengan stunting [exp(B)=0,031(IK95%=0,000 sampai 1503), p=0,528; exp(B)=4,451(IK95%=0,254 sampai 78,034), p=0,307; (exp(B)=1,030 (IK95%=0,861 sampai 1,232), p=0,745, berturut-turut]. Pola pemberian susu yaitu ASI, kelompok usia 13-24 bulan, dan penghasilan keluarga <Rp.3.500.000 berhubungan dengan stunting [exp(B)=176,730 (IK95%=2,46 sampai 15270), p=0,023; exp(B)=51,278 (IK95%=1,752 sampai 1501), p=0,022; exp(B)=127,713 (IK95%=1,455 ampai 11210), p=0,034, berturut-turut].
Simpulan: Kalori, protein, rasio protein:kalori MPASI tidak berhubungan dengan stunting, sedangkan pola pemberian susu yaitu ASI memiliki hubungan dengan stunting.
Abstract
Introduction: Breast milk hasn’t enough to meet children requirement at the age of >6 months. Prevalence of stunting increase in this period. Complementary food (CF) plays an important role in this period. Calorie and protein of CF determine children growth. The purposes of this study were to prove the relationships of CF (total calories, protein, protein:calorie ratio) and milk feeding pattern with stunting in children aged 6-24 months in Kenjeran, Surabaya.
Method: This study was a cross-sectional study. Children aged 6-24 months (May 1, 2018 to May 31, 2018) who were attending Posyandu at Kenjeran District (Surabaya) were included in this study, using total sampling.
Result: There were 45 children included in this study (median age 15.13 (6.4-23.67) months), 17 (37.8%) children aged 6-12 months and 28 (62.2%) children aged 13-24 months. There were 25 (55.6%) male. Stunting was present in 18 (40%) children. The average of CF calories in stunting group was 37% of requirement and in no stunting group was 36% of requirement. Calorie, protein, and protein:calorie ratio of CF had no relationship with stunting [exp(B)=0.031(95% CI=0.000 to 1503), p=0.528; exp(B)=4.451(95% CI=0.254 to 78.034), p=0.307; (exp(B)=1.030 (95% CI=0.861 to 1.232), p=0.745, respectively]. Milk feeding pattern (breast milk), age group 13-24 months and family income < IDR 3,500,000 had relationship with stunting [exp(B)=176.730 (95% CI=2.46 to 15270), p=0.023; exp(B)=51.278 (95% CI=1.752 to 1501), p=0.022; exp(B)=127.713 (95% CI=1.455 to 11210), p=0.034, respectively].
Conclusion: Calories, protein, protein:calorie ratio of CF has no relationship with stunting, while milk feeding pattern (breast milk) has a relationship with stunting.
Hubungan antara indeks apoptosis sel amnion dengan ketuban pecah dini pada persalinan preterm
Giri Chandra, K Suwiyoga, K Surya Negara, Komang Arijana, IG Mega Putra, IN Hariyasa Sanjaya, IGN Harry Wijaya SuryaOnline First: Dec 1, 2019
- Abstract
Hubungan antara indeks apoptosis sel amnion dengan ketuban pecah dini pada persalinan preterm
Pendahuluan: Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm merupakan suatu keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal. Kondisi kehamilan preterm dengan ketuban pecah dini memerlukan penanganan untuk mencegah terjadinya persalinan preterm dan mengurangi komplikasi yang dapat terjadi seperti solusio plasenta, infeksi intrauterine, hingga kematian bayi. Penting sekali mempertahankan integritas selaput ketuban selama kehamilan namun pada ketuban pecah dini terjadi apoptosis sel amnion.
Tujuan: Mengetahui adanya hubungan antara indeks apoptosis sel amnion pada persalinan preterm dengan ketuban pecah dini. Penelitian ini merupakan studi cross sectional di Departemen Obstetrik dan Ginekologi RSUP Sanglah dan Laboratorium Biomedik Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar dari 5 Juli 2017 sampai 16 Februari 2018.
Metode: Sampel adalah 40 ibu hamil yang datang ke ruang bersalin IGD RSUP Sanglah Denpasar dengan usia kehamilan 20 minggu sampai 36 minggu 6 hari yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia ikut serta dalam penelitian. Total sejumlah 20 ibu hamil yang datang dengan ketuban pecah dini dan 20 ibu hamil tanpa ketuban pecah dini. Selaput ketuban lapisan amnion diambil dari plasenta setelah persalinan, dilakukan pemeriksaan indeks apoptosis dengan pemeriksaan Terminal deoxynucleotidyl transferase mediated deoxy Uridine triphospate biotin Nick End Labeling (TUNEL) di laboratorium. Data penelitian kemudian dilakukan uji Chi-Square dan dianalisis dengan menggunakan SPSS.
Hasil: Hasil uji Chi-square dan Prevalence Ratio diperoleh PR= 19,0 (IK 95% = 2,81 - 128,6, p = 0,001).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara indeks apoptosis sel amnion sebagai faktor risiko terjadinya ketuban pecah dini pada kehamilan preterm.Indeks apoptosis sel amnion berhubungan dengan ketuban pecah dini pada persalinan preterm.
Â
Introduction: Premature rupture of membranes in preterm pregnancy is a condition that can cause increased maternal and perinatal morbidity and mortality. Preterm pregnancy with premature rupture of membranes requires treatment to prevent the occurrence of preterm labor and reduce complications that can occur such as placental abruption, intrauterine infection, and infant mortality. It is important to maintain the integrity of the fetal membranes during pregnancy but in premature rupture of membranes occurs amniotic cell apoptosis.
Objective: Knowing the relationship between the amniotic cell apoptosis index in preterm labor with premature rupture of membranes.
Methods: This study was a cross-sectional study conducted in the Obstetrics and Gynecology Department at Sanglah General Hospital and Integrated Biomedical Laboratory of the Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar, from July, 5th 2017 to February, 16th 2018. Samples were 40 pregnant women who came to the emergency room at Sanglah Hospital Denpasar with 20 weeks up to 36 weeks 6 days gestational age that met the inclusion criteria and were willing to participate in the study. A total of 20 pregnant women who came with premature rupture of membranes and 20 pregnant women without premature rupture of membranes. Amniotic layer of fetal membranes were taken from the placenta after labor, apoptosis index was examined by examination of Terminal deoxynucleotidyl transferase mediated deoxy Uridine triphospate biotin Nick End Labeling (TUNEL) in the laboratory.
Results: The research data was then tested by Chi-Square test and analyzed using SPSS.Chi-square test and Prevalence Ratio results was PR = 19.0 (95% CI = 2.81 - 128.6, p = 0.001).
Conclusion: This study shows that there is a strong correlation between the amniotic cell apoptosis index as a risk factor for premature rupture of membranes in preterm pregnancy. Amniotic cell apoptosis index is associated with premature rupture of membranes in preterm labor.
Â
Chest x-ray radiological findings: pulmonary metastases of various primary malignancy in Sanglah General Hospital, Denpasar, Bali
Inez Kartika, Firman Parulian SitanggangOnline First: Oct 1, 2019
- Abstract
Chest x-ray radiological findings: pulmonary metastases of various primary malignancy in Sanglah General Hospital, Denpasar, Bali
Pulmonary metastasis was extremely common in any case of malignancy. Lungs ranked second as a favorable site of metastases and can be found in 20-54% malignant cases. Chest x-raywas easy performed, low cost, and relative low dose radiation, still played important role for screening, detection, and restaging of cancer. This study was designed to describe pulmonary metastases pattern of various primary malignancy in chest x-ray at Sanglah General Hospital, Bali. We perform cross-sectional data collecting of subjects with primary malignancy undergoing treatment and surveillance in our hospital, from October 2016-February 2017. There were 93 eligible subjects presenting primary malignancy with pulmonary metastases that underwent chest x ray procedure for evaluation and restaging. The pleural type ranked first (29.03%) with majority originated from breast cancer (44.4%). Followed by nodular type (25.81%), with leading primary malignancy is breast cancer (50%). There are also mixed type (24.7%), pneumonic type (17.2%), and lymphangitic type (3.23%), all dominantly originated from breast cancer. The most common type of pulmonary metastases in our hospital was pleural type with its primary malignancy tumor derived from breast, followed by nodular type, mixed type, pneumonic type, and lymphangitic type.
Â
Metastasis pulmonal sangat umum pada kasus keganasan. Paru- paru menduduki peringkat kedua sebagai lokasi metastasis yang baik dan dapat ditemukan pada 20-54% kasus keganasan. Rontgen dada mudah dilakukan, biaya rendah, dan dosis radiasi yang relatif rendah, masih memainkan peran penting untuk skrining, deteksi, dan restaging kanker. Penelitian ini dirancang untuk mendeskripsikan pola metastasis pulmonal dari berbagai keganasan primer pada rontgen dada di Rumah Sakit Umum Sanglah, Bali. Kami melakukan pengumpulan data cross-sectional dari subyek dengan keganasan primer yang menjalani perawatan dan surveilans di rumah sakit kami, dari Oktober 2016-Februari 2017. Ada 93 pasien yang memenuhi syarat yang menunjukkan keganasan primer dengan metastasis paru yang menjalani prosedur rontgen dada untuk evaluasi dan restaging. Jenis pleura menempati peringkat pertama (29,03%) dengan mayoritas berasal dari kanker payudara (44,4%). Diikuti oleh tipe nodular (25,81%), dengan keganasan primer utama adalah kanker payudara (50%). Ada juga tipe campuran (24,7%), tipe pneumonia (17,2%), dan tipe limfangitis (3,23%), semuanya dominan berasal dari kanker payudara. Jenis metastasis paru yang paling umum di rumah sakit kami adalah tipe pleura dengan tumor keganasan primer berasal dari payudara, diikuti oleh tipe nodular, tipe campuran, tipe pneumonia, dan tipe limfangitis.
Epidemiologi fraktur pelvis di Rumah Sakit Umum Sanglah dari Januari 2017 - Desember 2018
I Wayan Suryanto Dusak, Herryanto Agustriadi Simanjuntak, Ivander Purvance, Nyoman Gede BimantaraOnline First: Dec 1, 2019
- Abstract
Epidemiologi fraktur pelvis di Rumah Sakit Umum Sanglah dari Januari 2017 - Desember 2018
Background: Pelvic fractures are rare injuries which occur at frequency as aa percentage of all fractures lies between 0.3%-6% of all fractures. In polytrauma, pelvic ring injury is present in 20% of cases. Pelvic ring fractures can affect all ages; however, the predominant age group was in the 18 to 44 age group with an overall mean age of 45. The purpose of this study was to describe the incidence of pelvic fracture, gender characteristic, fracture type, mortality rate, and associated injuries in Sanglah Hospital.
Methods: We conducted a descriptive retrospective study, using patients’ medical record data obtained from Sanglah General Hospital between January 2017– December 2018, with a total of 47 patients with pelvic fractures. The variables obtained were sex, age, diagnosis, management, mode of injury, fracture type classification, treatment, mortality rate, and associated injury. Then these data were analyzed using SPSS 22.
Results: During the 24- month study period, 47 patients with pelvic fracture were documented. Among those patients, 27 patients were male (57.4%) and 20 patients were female (42.6%). Out of the 47 patients, 9 patients (19.1%) were younger than 20 years old, 19 patients (40.4%) belong to 20-39 years old age group, 11 patients (23.4%) were in 40-59 years old age group and 8 patients (17.1%) were older than 60 years old. The highest number of patients belonged to 20-39 years old age group. The prevalence of low energy injury was 6.4% and high energy injury was 93.6%. We classified the pelvic fracture based on Tile Classification, of which classified as stable in 46.8% patients (type A injury), rotationally unstable in 40.5%patients (type B injury), and rotationally vertically unstable in 12.7% patients (type C injury). The overall operative rate of all pelvic fractures is 46.8%. Mortality rate is 7.2% of all pelvic fractures.
Conclusion: This study showed that in Sanglah Hospital from January 2017 – December 2018, among patients with pelvic fracture, men with age ranging from 20-39 has the highest incidence rate, and the mode of injury mainly high energy injury from motor vehicle accident. Most of the patients have other associated injuries, concluding that in every case of pelvic fractures, other organs trauma should be suspected. A proper understanding and study on the epidemiology of pelvic fractures may lead to future strategies to curb the number of pelvic fractures experienced by Indonesian population.
Latar Belakang: Fraktur pelvis merupakan cedera yang jarang terjadi dengan angka insiden antara 0,3% -6% dari seluruh fraktur. Pada politrauma, cedera pelvis terjadi pada 20% kasus. Fraktur pelvis dapat terjadi di semua umur, namun, kelompok usia yang dominan adalah kelompok usia 18 hingga 44 tahun dengan rerata usia 45 tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan kejadian fraktur pelvis, karakteristik jenis kelamin, tipe fraktur, angka kematian, dan cedera terkait di RSUP Sanglah.
Metode: Kami melakukan penelitian deskriptif retrospektif, menggunakan data rekam medis pasien yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari Januari 2017 sampai Desember 2018, dengan total 47 pasien dengan fraktur pelvis. Variabel yang diperoleh adalah jenis kelamin, usia, diagnosis, manajemen, mekanisme cedera, klasifikasi jenis fraktur, penanganan, angka kematian, dan cedera terkait. Kemudian data ini dianalisis menggunakan SPSS 22.
Hasil: Selama 24 bulan masa studi, 47 pasien dengan fraktur pelvis dimasukkan dalam penelitian. Diantara pasien tersebut, 27 pasien adalah lelaki(57,4%) dan 20 pasien adalah perempuan (42,6%). Dari 47 pasien, 9 pasien (19,1%) berusia kurang dari 20 tahun, 19 pasien (40,4%) berada pada kelompok usia 20-39 tahun, 11 pasien (23,4%)Â berada di kelompok usia 40- 59 tahun dan 8 pasien (17,1%) usia lebih dari 60 tahun. Jumlah pasien terbanyak adalah pada kelompok usia 20-39 tahun. Prevalensi akibat cedera berkekuatan rendah adalah 6,4% dan akibat cedera berkekuatan tinggi adalah 93,6%. Kami mengklasifikasikan fraktur pelvis berdasarkan Klasifikasi Tile, yang dikelompokkan stabil pada 46,8% pasien (tipe A), tidak stabil secara rotasional pada 40,5% pasien (tipe B), dan tidak stabil rotasional dan vertikal pada 12,7% pasien (tipe C cedera). Jumlah operasi dari seluruh fraktur pelvis adalah 46,8%. Angka kematian adalah 7,2% dari seluruh fraktur pelvis.
Simpulan: Studi ini menunjukkan bahwa di Rumah Sakit Sanglah dari Januari 2017 hingga Desember 2018, di antara pasien dengan fraktur pelvis, pada pria dari usia 20-39 tahun memiliki angka kejadian tertinggi, dan mekanisme cedera berkekuatan tinggi karena kecelakaan kendaraan bermotor. Sebagian besar pasien memiliki cedera terkait lainnya, kesimpulannya bahwa pada setiap kasus fraktur pelvis, trauma organ lain harus dipikirkan. Pemahaman dengan penelitian yang tepat mengenai epidemiologi fraktur pelvis dapat mengarah pada strategi untuk mengurangi jumlah angka kejadian fraktur pelvis yang terjadi di masyarakat.
Pola kepekaan bakteri yang terisolasi dari kultur darah terhadap antibiotik di Unit Perawatan Intensif Anak RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015-2016
Maria Priskila, Dyah Kanya Wati, Ida Bagus Gede Suparyatha, I Nyoman Budi Hartawan, I Wayan Gustawan, Ni Nengah Dwi Fatmawati, I Ketut TunasOnline First: Dec 1, 2019
- Abstract
Pola kepekaan bakteri yang terisolasi dari kultur darah terhadap antibiotik di Unit Perawatan Intensif Anak RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015-2016
Pendahuluan: Resistensi antibiotik merupakan salah satu masalah global pada Unit Perawatan Intensif Anak (UPIA), termasuk di Bali. Patogen bakteri dan pola kepekaannya harus dipantau pada Rumah Sakit.
Metode: Penelitian deskriptif, retrospektif dari rekam medis dan register laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar, dari pasien usia 1 bulan – 12 tahun yang dirawat di UPIA RSUP Sanglah. Spesimen kultur darah dikumpulkan secara aseptik dari 2 sisi yang berbeda, dimasukkan dalam botol BacT/ALERT dan diinkubasi secara aerob. Tes kepekaan antibiotik dilakukan menggunakan automatic Vitek Compact 2 System (BiomeÌrieux). Data hasil kultur darah diambil dari register hasil kultur darah Laboratorium Mikrobiologi Klinik, dan data pasien diambil dari rekam medis UPIA RSUP Sanglah.
Hasil: Total sampel kultur darah berjumlah 510 didapatkan dari pasien yang dirawat di UPIA RSUP Sanglah selama waktu penelitian. Sebanyak 82 sampel dinyatakan positif, dimana 69,5% diantaranya merupakan bakteri gram positif. Mikroorganisme yang paling banyak ditemukan antara lain Staphylococcus hominis spp (21.9%), Staphylococcus epidermidis spp (12.1%), Staphylococcus haemolyticus ssp (8.5%), Salmonella spp (8.5%) dan Enterobacter cloacae (6%). Bakteri gram negatif masih sensitif terhadap Ampicillin, Cefepime, dan Ceftriaxone. Bakteri gram positif sensitif terhadap Gentamicin dan Linezolid.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua antibiotik yang digunakan di UPIA dapat digunakan sebagai terapi empirik karena pola kepekaan bakteri yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi empirik di UPIA, termasuk di RSUP Sanglah Denpasar, harus berdasarkan pola kepekaan antibiotik lokal.
Introduction: Antibiotic resistance is a major worldwide problem in pediatric intensive care unit (PICU), including in Bali. The bacterial pathogens and their susceptibility patterns should be monitored in hospital settings.
Method: A descriptive, retrospective study from medical records and registers of Clinical Microbiology Laboratory, Sanglah Hospital Denpasar, taken from patients aged 1 month-12 years who were admitted in PICU of Sanglah Hospital. Specimens for blood cultures were collected aseptically from 2 different sites, inserted into BacT/ALERT bottles, and incubated aerobically. The bacterial identification and antibiotic susceptibility testing were performed using automatic Vitek Compact 2 System (BiomeÌrieux). Data of blood cultures results was taken from blood culture results registry of Clinical Microbiology Laboratory, and patient data was retrieved from medical records of PICU Sanglah Hospital.
Result: A total of 510-blood culture samples obtained from patients who admitted to PICU of Sanglah Hospital during the study period. Eighty-two samples (16.1%) were positive, which 69.5% of them were gram-positive bacteria. The most common microorganisms found were Staphylococcus hominis spp (21.9%), Staphylococcus epidermidis spp (12.1%), Staphylococcus haemolyticus ssp (8.5%), Salmonella spp (8.5%) and Enterobacter cloacae (6%). Most of gram-negative bacteria were still sensitive to Ampicillin, Cefepime, and Ceftriaxone. On the other hand, the gram-positive bacteria showed susceptible to Gentamicin and Linezolid.
Conclusion: This study shows that not all antibiotics used in the PICU can be used as empiric therapy because of differences of isolated bacteria susceptibility pattern. This study suggested that empirical therapy in PICU, including in Sanglah Hospital Denpasar, should be based on local antibiotics susceptibility pattern.
Gambaran kemampuan para praktisi olahraga di Kabupaten Buleleng dalam memberikan pertolongan pertama terhadap cedera olahraga
Ni Luh Kadek Alit Arsani, Ni Nyoman Mestri Agustini, Putu Dewi Sri Wahyuni, I Wayan ArtanayasaOnline First: Dec 20, 2019
- Abstract
Gambaran kemampuan para praktisi olahraga di Kabupaten Buleleng dalam memberikan pertolongan pertama terhadap cedera olahraga
Pendahuluan: Tingkat pengetahuan para praktisi olahraga di Kabupaten Buleleng dalam memberikan pertolongan pertama terhadap cedera olahraga masih perlu ditingkatkan. Banyak atlet yang mengalami cedera belum mendapat pertolongan pertama secara optimal. Data dari Kementerian Pemuda dan Olahraga mengenai kajian penatalaksanaan cedera olahraga pada olahragawan tahun 2010 ditemukan kejadian cedera olahraga sangat tinggi pada atlet, sementara keterlibatan para praktisi olahraga (pelatih, atlet, guru olahraga) dalam kegiatan penanganan cedera termasuk rendah (11%). Keterlibatan para praktisi olahraga dalam penanganan cedera olahraga sangat bermanfaat untuk memberikan pertolongan pertama secara tepat sehingga dapat mencegah cedera menjadi lebih parah dan bahkan dapat menyelamatkan nyawa atlet apabila terjadi kegawatdaruratan sebelum mendapat pertolongan medis.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui jenis-jenis cedera olahraga yang sering terjadi pada cabang olahraga unggulan di Kabupaten Buleleng; 2) untuk mengetahui tingkat pengetahuan para praktisi olahraga di Kabupaten Buleleng dalam memberikan pertolongan pertama terhadap cedera olahraga dengan metode RICE. Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif, dimana teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Sampel penelitian adalah atlet, pelatih, dan guru olahraga di Kabupaten Buleleng yang ditentukan dengan teknik purposive sampling.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis cedera olahraga yang sering terjadi pada cabang olahraga unggulan di Kabupaten Buleleng adalah: sprain, strain, kram otot, luka lecet, luka memar.
Kesimpulan: Tingkat pengetahuan para praktisi olahraga di Kabupaten Buleleng terhadap cedera olahraga masih sangat rendah. Dapat disarankan pelatihan penanganan cedera olahraga bagi praktisi olahraga di Kabupaten Buleleng masih sangat diperlukan, sarana dan prasarana olahraga perlu dilengkapi agar dapat memberikan pertolongan pertama saat terjadi cedera olahraga.
Introduction: The level of knowledge of sports practitioners in Indonesia for first-aid sports injury needs to be improved at this time. Many athletes who suffer injuries have not received optimal first aid. Data from the Ministry of Youth and Sports regarding the study of sports injury management in sportsmen in 2010 found that sports injury was very high in athletes, while the involvement of sports practitioners (coaches, athletes, sports teachers) in injury management activities was low (11%). The involvement of sports practitioners in handling sports injuries is very useful to provide first aid appropriately so that it can prevent injuries becoming more severe and can even save the lives of athletes in the event of emergencies before receiving medical services.
Objective: The objectives of this study were: 1) to investigate the kind of sports injuries that often occur in elite sports in Buleleng Regency; 2) to investigate the level of knowledge of sports practitioners in Buleleng Regency in providing first aid to sports injuries using the RICE method.
Method: This research was a quantitative descriptive study, where data collection techniques were using questionnaires and interviews. The research sample was athletes, coaches, and sports teachers in Buleleng regency which were determined by purposive sampling technique.
Result: The results showed that the types of sports injuries that often occur in elite sports in Buleleng Regency were: sprain, strain, muscle cramps, laceration, and contusion.
Conclusion: The level of knowledge of sports practitioners in Buleleng Regency in providing first aid to sports injuries using the RICE method was still very low. It can be suggested that training in handling sports injuries for sports practitioners in Buleleng regency is necessary. Sports facilities and infrastructure need to be equipped in order to provide first aid when sports injuries occur.
Hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kebutaan akibat katarak dengan tingkat pendidikan pada pegawai bank danamon denpasar tahun 2018
Ni Made Wasiastiti Budi, W.G. Jaya Negara, AA Mas Putrawati, Ni Made Ari Suryathi, Siska .Online First: Apr 1, 2020
- Abstract
Hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kebutaan akibat katarak dengan tingkat pendidikan pada pegawai bank danamon denpasar tahun 2018
Pendahuluan: Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dimana kebutaan karena katarak sebagian besar terjadi di Negara Berkembang karena tingkat pendidikan dan ekonomi yang masih rendah serta masih kurangnya sistem pelayanan, kualitas tenaga kesehatan dan jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia. Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat Indonesia terhadap kesehatan mata masih dianggap belum merata, kurangnya informasi dan edukasi yang baik menyebabkan penderita katarak terlambat mendapat penanganan sehingga sampai saat ini masih banyak ditemukan kasus kebutaan oleh karena katarak.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan studi analitic cross-sectional. Dilakukan pada tanggal 17 Juni 2018 di Bank Danamon cabang Hayam Wuruk Denpasar.
Hasil: Data dikumpulkan melalui kuesioner, pegawai Bank yang berpartisipasi dalam penelitain ini adalah 55 orang dengan karakteristik subyek lebih banyak jenis kelamin laki-laki yaitu 31 orang dengan rentangan usia antara 22 sampai 53 tahun. Tingkat pendidikan responden SMP sebanyak 1 orang (1,8%), SMA 2 orang (3,6%) dan paling banyak pada tingkat pendidikan D3/S1 sebanyak 52 orang (94.5%). Distribusi pengetahuan, sikap dan perilaku dengan tingkat pendidikan, meliputi distribusi responden dengan pengetahuan paling banyak adalah pengetahuan baik pada tingkat pendidikan D3/S1 sebanyak 51 orang (94,4%), distribusi sikap paling banyak pada sikap baik dengan tingkat pendidikan D3/S1 sebanyak 49 orang (94,2%) dan distribusi perilaku paling banyak pada perilaku baik dengan tingkat pendidikan D3/S1 sebanyak 47 orang (47%).
Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan subjek dengan pendidikan D3/S1 memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang baik tentang kebutaan akibat katarak, akan tetapi secara statistik hubungan dari ketigavariabledengantingkatpendidikandidapatkansangatlemah.
Introduction: Blindness and visual impairment are one of the public health problems in which blindness due to cataract or lens opacification mostly occurs in developing countries due to the low level of education and economy status as well as lack of a medical service system, the quality of medical attendant and the number of health facilities available. Knowledge, attitudes and behavior of Indonesian people towards eye health are still considered unequal, lack of a proper information and education until this days that has led to many blindness cases because the people who were suffering cataract were late to get medical treatment.
Method: This study is an observational descriptive using cross-sectional analytic study. The data were collected in the form of quesioner on June 17th 2018 at Bank Danamon branch Hayam Wuruk Denpasar.
Result: There were 55 participants, 31 males with age between 22 – 53 years old, the level of educations are : 1 person (1.8%) graduated from middle high school, 2 persons (3.6%) graduated from senior high school and most 52 persons (94.5%) graduated from college and bachelor degree. The results of this study showed that in graduated from college and bachelor degree education group had good knowledge (n 51, 94.4%), good attitude (n 49, 94.2%), and good behaviour (n 47, 47%).
Conclusion: In this study shows that subjects graduated from college and bachelor degree have adequate knowledge, attitudes and behaviors concerning about blindness due to cataracts, but statistically the correlation of the three variables with the level of education is very low.
Anestesia perioperatif pada pasien obesitas morbid dengan gangguan tidur
Ferdi Yanto, IB Gde SudjanaOnline First: Dec 1, 2019
- Abstract
Anestesia perioperatif pada pasien obesitas morbid dengan gangguan tidur
 Obesitas menjadi perhatian kesehatan serius tidak hanya di negara maju namun juga di negara berkembang seperti Indonesia dengan peningkatan prevalensi di semua status ekonomi penduduk. Obesitas berhubungan dengan banyak gangguan organ. Sindrom hipoventilasi obesitas (SHO) merupakan kumpulan gejala berupa trias obesitas morbid, hipoventilasi dengan hiperkapnea, dan hipoksemia. Sindrom SHO berbeda dengan obstructive sleep apnea (OSA). Kami melaporkan kasus, lelaki, berusia 33 tahun dengan diagnosis tonsilitis kronis, hipertrofi adenoid, dan OSA, yang direncanakan mendapat tindakan adenotonsilektomi. Evaluasi pra-anestesi menunjukkan pasien status fisik ASA III dengan Mallampati III. Tindakan anestesi umum dengan teknik intubasi sadar. Kondisi pasien stabil selama operasi, pasca-operasi pasien dirawat di Ruang Terapi Intensif (RTI). Selama observasi di RTI menunjukkan adanya desaturasi dengan polisitemia sehingga diagnosis SHO dapat ditegakkan. Dua hari setelah perawatan dengan continuous positive airway pressure (CPAP), kondisi pasien mengalami pemulihan. Pemeriksaan fisik menyeluruh, laboratorium darah lengkap, analisis gas darah, dan tes fungsi paru penting untuk dilakukan. Sindrom SHO masih merupakan tantangan dalam tatakelola anestesi dan evaluasi peri-operatif.
Â
Â
Obesity is a major health concern not only in develop country but also in developing country such as Indonesia while its prevalence is still increasing in all economic status. Obesity is correlated with many illnesses form various organ. Obesity hypoventilation syndrome (OHS) is defined by the triad of morbid obesity, daytime hypoventilation with hypercapnia, and hypoxemia. Here in we reported a case of 33 years old male with chronic tonsillitis, adenoid hypertrophy and OSA, who came for a planned adenotonsilectommy. Pre-anesthesia evaluation showed patient with physical status of ASA III and Mallampati III. General anesthesia was performed with awake intubation technique. Intraoperative patient stable and safe with post operation care in Intensive Care Unit (ICU) after it. During observation in ICU show desaturation with polisitemia so the diagnosis of OHS can be established. Two days after treatment with CPAP, the patient’s condition is improved. Physical examination, full blood laboratory, blood gas analysis, and lung function tests are essential Obesity hypoventilation syndrome (OHS) remains a challenge in anesthesia management and peri-operative evaluation.
Nevus unius lateris yang dilakukan tindakan bedah listrik
Ni Nyoman Tri Priliawati, Made WardhanaOnline First: Dec 2, 2019
- Abstract
Nevus unius lateris yang dilakukan tindakan bedah listrik
Nevus unius lateris (NUL) merupakan varian nevus epidermal yang ditandai dengan sel yang predominan yaitu keratinosit, mempunyai morfologi verukosa dan terutama mengenai permukaan epidermis. Nevus unius lateris lesinya ditandai dengan adanya distribusi lesi unilateral mengikuti garis Blaschko. Pada laporan kasus ini dilaporkan kasus nevus unius lateris (NUL) pada seorang anak laki-laki berusia 14Â tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan sik, dermoskopi dan histopatologi. Pasien pada laporan kasus ini dilakukan tindakan bedah listrik. Pada pasien menunjukkan hasil baik paska tindakan. Modalitas terapi ini dipilih karena bersifat sederhana, dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, hasil kosmetik baik, dan biayanya terjangkau bagi pasien.
Nevus unius lateris (NUL) is a variant of epidermal nevi in which keratinocytes, the predominant cell, has verrucous morphology and mainly affect epidermis. Nevus unius lateris is characterized with unilateral lesions following Blaschko lines. We report a case of NUL on 14 years old boy. The diagnosis of patient was based on the anamnesis, physical examination, dermoscopy, and histopathology examination. We perform electrosurgery on the patient and it shows good results. This modality of therapy was chosen because it is simple, well tolerated by patients, good cosmetic results, and the cost is affordable for patients.
Â
Â
Gangguan sikap menentang akibat adiksi internet pada remaja
Nyoman Widhyalestari Parwatha, IGA Endah Ardjana, IGA Trisna Windiani, IGAN Sugitha Adnyana, Soetjiningsih - -Online First: Dec 2, 2019
- Abstract
Gangguan sikap menentang akibat adiksi internet pada remaja
Adiksi internet digambarkan sebagai suatu keadaan patologis karena terlalu sering menggunakan internet. Remaja dengan permasalahan penggunaan internet mempunyai risiko masalah sik dan gangguan tingkah laku seperti gangguan sikap menentang. Satu kasus penderita remaja lelaki dengan atrial brilasi dan ventrikel extrasistole occasional, dikeluhkan mudah marah dan sering menentang nasehat ayah sejak ketergantungan bermain internet setelah perceraian orang tuanya 3 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan internet addiction test (IAT) didapatkan nilai IAT 60 termasuk level adiksi internet sedang dan sesuai dengan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III memenuhi kriteria gangguan sikap menentang, sedangkan dalam diagnostic and statistical manual of mental disorder (DSM)-5 sebagai oppositional de ant disorder. Modalitas farmakoterapi dengan amiodaron untuk masalah jantungnya dan penatalaksanaan psikiatri berupa cognitive behavior therapy for internet addiction (CBT-IA) dan psikoedukasi keluarga menunjukkan hasil yang memuaskan. Setelah 3 bulan penderita tidak ada keluhan sik, mulai dapat menghilangkan ketergantungannya terhadap internet dengan skor IAT 24 (pengguna normal), mampu mengontrol emosi dan perilaku serta memperbaiki komunikasi dengan keluarga. Penatalaksanaan gangguan jantung dan gangguan psikiatri memerlukan kerjasama antara tenaga medis,orangtuadanlingkungandisampingpemberianfarmakoterapi danpsikoterapi.
Internet addiction is described as a pathological state because too much internet use. Adolescents with internet using problem are in risk of physical problems and behavioral disorders such as oppositional de ant disorder. One case of male adolescent with atrial brillation and occasional extrasistole ventricles, complained of irritability and often opposed to his father's advice since got depended on playing the internet after his parents' divorce 3 years ago. On the Internet Addiction test (IAT) examination, IAT score 60 were categorized as moderate level of internet addiction and in accordance with the “Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III and Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder (DSM)-5 ful lling the criteria for oppositional disrupted disorder. The pharmacotherapy modalities with amiodarone for heart problems and psychiatric management in the form of Cognitive Behavior Therapy for Internet addiction (CBT- IA) and family psychoeducation showed satisfactory results. After 3 months the patient has no physical complaints, starting to eliminate his dependence on the internet with an IAT score 24 (normal user), able to control his emotion and behavior and improve communication with the family. Management of heart problems and psychiatric disorders requires collaboration between medical personnel, parents and the environment in addition to providing pharmacotherapy and psychotherapy.
Kista epidermal yang awalnya dicurigai neurofibroma tipe-1 yang dilakukan tindakan bedah eksisi
Made Hasri Dewi, Made WardhanaOnline First: Jan 7, 2020
- Abstract
Kista epidermal yang awalnya dicurigai neurofibroma tipe-1 yang dilakukan tindakan bedah eksisi
Abstrak
Kista epidermal adalah jenis kanker kulit jinak yang paling banyak ditemukan pada pasien. Kista berbentuk benjolan bulat dan berdinding tipis, yang terbentuk dari kelenjar keringat (sebaseus) dan terjadi akibat adanya sumbatan pada muara kelenjar tersebut. Kista ini juga dikenal dengan nama kista ateroma, kista epidermal, kista inklusi epidermal dan kista sebaseus. Kista dapat dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi, derivasi embriologi, dan dari gambaran histopatologinya, lebih sering pada orang yang berkulit gelap, dapat terjadi pada semua usia  tetapi lebih banyak pada dekade ketiga dan keempat. Patogenesis kista epidermal banyak berhubungan dengan rupturnya folikel pilosebaseus yang berhubungan dengan akne. Tindakan pembedahan utamanya dibidang dermatologi mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pada laporan kasus ini dilaporkan kasus Kista Epidermal pada leher seorang laki-laki usia 34 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan histopatologi. Pasien pada laporan kasus ini dilakukan tindakan bedah eksisi, menunjukkan hasil yang baik.Â
Abstract
Epidermal cysts are the most common type of benign skin cancer in patients. Cysts are thin, round-walled lumps that form from the sweat glands (sebaceous) and occur due to blockages in the mouth of the gland. These cysts are also known as atheroma cysts, epidermal cysts, epidermal inclusion cysts and sebaceous cysts. Cysts can be categorized according to anatomic location, embryological derivation, and from histopathological features, more often in dark-skinned people, can occur at all ages but more in the third and fourth decades. The pathogenesis of epidermal cysts is much associated with rupture of the pilosebaseous follicle associated with acne. Its main surgical action in the field of dermatology has developed quite rapidly. In this case report reported cases of epidermal cysts on the neck of a man aged 34 years. The diagnosis is based on history, physical examination and histopathology. Patients in this case report performed surgical elips excision, showed good results
Management of systemic lupus erythemathous with polymyositis overlap syndrome
Suryo Gading, Ketut Dwi Kumara Wati, Komang Ayu Witarini, Hendra Santoso, I Gusti Ngurah SuwarbaOnline First: Dec 5, 2019
- Abstract
Management of systemic lupus erythemathous with polymyositis overlap syndrome
Peningkatan kasus SLE terjadi pada anak di Rumah Sakit Umum Sanglah, pada kasus yang jarang SLE bukan sebagai satu kesatuan namun tumpang tindih dengan penyakit jaringan ikat lainnya. Polymyositis adalah penyakit dengan gejala utama kelemahan otot yang berhubungan dengan nyeri otot. Polymyositis sangat jarang menjadi sindrom yang tumpang tindih dengan SLE, namun terjadi pada 4-6% pasien SLE. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan manajemen dan temuan klinis pada SLE dan Polymyositis. Kasus ini seorang perempuan berusia 12 tahun yang mengalami artralgia dan mialgia selama 1 bulan, disertai demam selama 1 bulan, penurunan nafsu makan, ruam pada wajah, fotosensitifitas, mati rasa, kelemahan otot dan kesemutan pada kaki kanan. Diagnosis SLE dibuat berdasarkan kriteria diagnostik American College of Rheumatology. Pemeriksaan neurologis dan elektromiografi signifikan menunjukkan penurunan kekuatan motorik pada tungkai kanan bawah, atrofi gastrocnemius, steppage gait, dan penurunan sensasi sensorik pada dermatom L4-S1 kanan. Oleh karena itu dapat disimpulkan kasus ini adalah kasus sindrom SLE overlap dengan polymyositis. Pasien diobati dengan prednison 2 mg/kg/hari selama 2 minggu, dan juga diberikan ibuprofen 10 mg/kg/dosis untuk menghilangkan rasa sakit, dilanjutkan dengan pemberian azathioprin yang direncanakan selama satu tahun. Pasien menunjukkan hasil yang baik dengan hilangnya gejala dan pemeriksaan laboratorium normal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sindrom SLE overlap dengan polymyositis yang diobati dengan prednison dan ibuprofen dilanjutkan dengan azathioprin menunjukkan hasil yang baik dengan hilangnya gejala serta hasil pemeriksaan laboratorium yang normal.
There has been an increase in SLE cases among children in Sanglah General Hospital. In rare case there is a possibility SLE occurs not as a single entity but overlap with other connective tissue disease. Polymyositis is a disease with a main symptom of muscle weakness associated with muscle pain and swollen. Polymyositis very rarely becomes overlapping syndrome with SLE, occurring in 4-6% of SLE patients. The aim of this study is to describe clinical findings and management of SLE and Polymyositis. This case is a 12 year old girl presented with arthralgia and myalgia since one month before admission, accompanied by a 1 month episode of relapsing fever, decrease in appetite, facial rash, photosensitivity, muscle weakness numbness and tingling sensation on right foot. Diagnosis of SLE was based on the diagnostic criteria of the American College of Rheumatology. Neurologic examination and electromyography was significant for decrease in motoric power on right lower limb, gastrocnemius atrophy, steppage gait, and decrease in sensoric sensation of right L4-S1 dermatome. Hence, diagnose of SLE and polymyositis was concluded. This is a case of SLE overlap syndrome with polymyositis. Patient was treated with prednisone 2 mg/kg/day for 2 weeks, and also given ibuprofen 10 mg/kg/dose for pain relief, continued with azathioprin plan for one year. Patient showed good result with disappearance of symptomp and normal laboratory examination. The conclusion of the study is SLE overlap syndrome with polymyositis treated with prednison and ibuprofen continue with azathioprin showed good outcome with disappearance of symptomp and normal laboratory examination.
Leukaemia cutis in a 12-year-old boy with acute myeloblastic leukaemia and severe malnutrition: A case report
Novita Assa, Ketut AriawatiOnline First: Dec 4, 2019
- Abstract
Leukaemia cutis in a 12-year-old boy with acute myeloblastic leukaemia and severe malnutrition: A case report
Abstrak
Leukaemia adalah neoplasma ganas yang mempengaruhi sistem hematopoetik. Insiden rerata 4-4,5 kasus / tahun / 100.000 pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Leukaemia cutis adalah infiltrasi sel leukaemia agresif ke dalam lapisan epidermal, dermis, dan sub-cutis. Kejadiannya sangat jarang, bisa terjadi pada semua jenis leukaemia. Seorang anak lelaki berusia 12 tahun, dirujuk dengan demam intermiten, pucat dan perdarahan gusi sejak 10 bulan serta benjolan di kulit sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pemeriksaan fisik menunjukkan hiperplasia gingiva, massa multipel 1-3 cm di kepala, leher, dada, perut dan tangan, hepatomegali dan splenomegali. Status gizi adalah gizi buruk. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, anaemia ringan, dan trombositopenia berat. Aspirasi sumsum tulang terjadi kecurigaan AML dengan 10% myeloblast, dan 5% monoblast. Biopsi kulit menunjukkan infiltrasi kulit oleh myeloblast dan monoblast. Pasien didiagnosis dengan leukaemia mieloblastik akut, leukaemia kutis, dan gizi buruk. Kemoterapi dengan protokol leukaemia akut non-limfoblastik. Setelah 4 bulan kemoterapi, keluarga memutuskan untuk tidak melanjutkan kemoterapi dan hanya terapi suportif seperti transfusi. Pasien meninggal 9 bulan setelah diagnosis.
Abstract
Leukaemia is a malignant neoplasm affecting the hematopoietic system. Incidence averages 4-4.5 cases/year/100.000 in children younger than 15 years. Leukaemia cutis is an aggressive leukaemia cell infiltration into the epidermal, dermis, and sub-cutis layers. The incidence is infrequent, can occur in all types of leukaemia. A 12-year- old boy, referred with pale, intermittent fevers, gum bleeding from 10 months and lumps on the skin from 2 months before admission. Physical examination was showed gingival hyperplasia, multiples mass of 1-3 cm in diameter in the head, neck, thoracic, abdominal and hand region, hepatomegaly and splenomegaly. The nutritional status was severe malnutrition. Laboratory examinations showed leukocytosis, mild anaemia, and severe thrombocytopenia. Bone marrow aspiration occurs AML suspicion with 10% myeloblast and 5% monoblast. Skin biopsy suggests cutaneous infiltration by myeloblast and monoblast. A patient diagnosed with acute myeloblastic leukaemia, leukaemia cutis, and severe malnutrition — chemotherapy with guided by non-lymphoblastic acute leukaemia protocol. After 4 months of chemotherapy patients and families decided not to continue chemotherapy and only supportive therapy such as transfusion. The patient passed away 9 months after the diagnosis.Leukaemia cutis is uncommon as the presenting feature of AML and is associated with an unfavourable prognosis. There is no specific treatment for cutaneous leukaemia other than palliation and symptomatic relief. The 2-year survival rate for the unfavorable prognostic group it is 10-20%.
Psikosis dan gerakan shaking sebagai efek samping putus zat alkohol dan ganja: Laporan kasus
D.P.G Purwa Samatra, Sri Yenni Trisnawathi, Sri Yenni Trisnawathi, I Gst Ayu Agung Aria Tristayanthi, I Gst Ayu Agung Aria TristayanthiOnline First: Oct 1, 2019
- Abstract
Psikosis dan gerakan shaking sebagai efek samping putus zat alkohol dan ganja: Laporan kasus
Alcohol and cannabis withdrawal may elicit a multitude of neuropsychiatric manifestations. However, concomitant withdrawal of both substances rarely reported. Herein we reported a patient who had demonstrated pyschosis and shaking movement as a result of alcohol and cannabis withdrawal. 24year-old male was admitted to the ER complaining of headache, pain on the whole body, nausea and vomiting 6 hours prior to admission. He had confusion, agitation, aggression, insomnia, delusion of persecution accompanied by auditory and visual hallucination, depression, and suicidal ideation 10 days prior. Patient also exhibited rhythmic shaking predominantly on the upper extremities and trunk which impaired his writing and drawing capabilities. These symptoms had appeared since he abruptly stopped alcohol and cannabis consumption 48 hours prior. He had a chronic history of alcohol consumption (i.e. 15 years and ongoing) with approximately 10-12 alcohol units per day and chronic cannabis use of 3-4 times per day, thrice a week, 6 years prior. Patient was treated with thiamine, benzodiazepines, psychotherapy, relaxation, and CBT. He was finally stabilized and discharged 10 days later. Concomitant alcohol and cannabis withdrawal may demonstrate different signs and symptoms than if it stands alone. In this case, he demonstrated psychiatric disturbances, in addition to postural and enhanced physiologic tremor. He also exhibited restlesness, insomnia, nausea and vomiting, traceable to the last onset of alcohol and cannabis consumption, respectively. The corresponding treatment should be tailored individually according to patient’s needs.
Â
Putus zat alkohol dan ganja dapat menimbulkan beragam manifestasi klinis neuropsikiatri. Namun, kejadian putus zat keduanya secara bersamaan jarang dilaporkan. Dilaporkan seorang pasien yang telah menunjukkan gejala psikosis dan gerakan abnormal berupa shaking sebagai akibat dari putus zat alkohol dan ganja. Seorang pria 24 tahun dirawat di UGD mengeluh nyeri kepala dan seluruh tubuh, mual dan muntah 6 jam sebelum rawat inap. Pasien mengalami kebingungan, agitasi, agresi, insomnia, waham persekusi disertai dengan halusinasi auditorik dan visual, depresi, dan ide bunuh diri 10 hari sebelumnya. Pasien juga menunjukkan gerakan shaking terutama pada ekstremitas atas dan badan yang mengganggu kemampuan menulis dan menggambarnya. Gejala ini muncul sejak ia menghentikan konsumsi alkohol dan ganja 48 jam sebelumnya secara mendadak. Pasien memiliki riwayat konsumsi alkohol kronis (sejak 15 tahun lalu),10- 12unit alkohol per hari dan penggunaan ganja kronis 3-4 kali sehari, tiga kali seminggu, sejak 6 tahun sebelumnya. Pasien dirawat dengan tiamin, benzodiazepin, psikoterapi, relaksasi, dan CBT. Pasien akhirnya stabil dan dipulangkan 10 hari kemudian. Putus zat alkohol dan ganja secara bersamaan dapat menunjukkan manifestasi klinis berbeda dibandingkan berdiri sendiri. Pasien menunjukkan gangguan kejiwaan, di samping tremor postural dan fisiologis yang meningkat. Pasien juga gelisah, insomnia, mual dan muntah, yang seluruh gejalanya berasal dari putus zat alkohol dan ganja secara mendadak. Tatalaksana pada kasus seperti ini perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Manajemen jalan napas pasien hidrosephalus non komunikan dengan celah wajah transversal bilateral nonsindromik : laporan kasus
Aninda Tanggono, Tjahya Aryasa, Made WiryanaOnline First: Dec 1, 2019
- Abstract
Manajemen jalan napas pasien hidrosephalus non komunikan dengan celah wajah transversal bilateral nonsindromik : laporan kasus
Background: Asyndromic bilateral transverse facial cleft are a very rare clefts and an atypical facial anomaly, occuring alone or associated with other anomalies. The incidence of atypical cleft has not been reported widely, but it was estimated from 1 in 50,000 births to 1 in 175,000 live births. The severity may vary from mild to severe, described as a cleft that stretches back to the ear. It increases the risk of airway difficulties. Advanced airway management equipments are provided as an alternative for anesthesiologists, thus they are expected to manage the airway difficulties more safely. This case report aims to present an alternative airway management in patient with asyndromic bilateral transverse facial cleft associated with other anomalies, such as noncommunicating hydrocephalus.
Case: A 7-months-old patient with noncommunicating hydrosephalus accompanied by asyndromic bilateral transverse facial cleft had VP-shunt cito surgery and was posted for correction of facial deformity. In this case, a larger mask was used to cover the cleft, following sevoflurane inhalation. Laryngoscopy was done to assist intubation. The intubation procedure necessitated a tongue spatula which is placed between the upper corners of the lips with the lower border of the nose to restrict the opening of the oral cavity while on the procedure.
Â
Latar belakang: Celah wajah transversal bilateral nonsindromik merupakan kelainan celah wajah yang sangat jarang terjadi dan atipikal, dapat terjadi secara tunggal atau bersamaan dengan deformitas lainnya. Insiden celah wajah atipikal tidak diketahui secara luas, namun beberapa data memperkirakan 1 dari 50.000 sampai 1 dari 175.000 kelahiran hidup. Tingkat keparahan bervariasi, dari ringan hingga keparahan yang ditandai dengan celah yang membentang kembali ke telinga. Hal ini menjadi penyulit dalam manajemen jalan napas. Perangkat pengelolaan jalan napas alternatif semakin tersedia bagi ahli anestesi, dan diharapkan ahli anestesi akan memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengelola jalan napas dengan aman. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui anestesi yang digunakan pada manajemen jalan napas pasien celah wajah transversal bilateral nonsindromik yang disertai kelainan kongenital lainnya.
Kasus: Pasien berusia 7 bulan dengan hidrosefalus non komunikan disertai dengan celah wajah transversal bilateral nonsindromik telah menjalankan prosedur VP-shunt cito dan rekontruksi wajah. Pada kasus ini, masker berukuran lebih besar digunakan untuk menutupi celah wajah, sehingga memungkinkan untuk dilakukannya pembiusan dengan inhalasi sevoflurane. Laringoskopi dilakukan untuk memperlancar proses intubasi, dan dengan bantuan spatula lidah yang diletakkan diantara sudut atas bibir dengan batas bawah hidung, untuk membantu limitasi pembukaan rongga mulut.