Vol. 51 No. 2 (2020)
Hubungan ekspresi matriks metaloproteinase-9 (mmp-9) pada sel amnion dengan terjadinya ketuban pecah dini
Ida Bagus Rendra Kurniawan Artha, I Gede Putu Surya, Ketut Surya Negara, I Nyoman Hariyasa Sanjaya, Ida Bagus Gde Fajar Manuaba, I Gede Mega Putra, Tjokorda Gde Agung Suwardewa, I Wayan MegadhanaOnline First: Feb 5, 2020
- Abstract
Hubungan ekspresi matriks metaloproteinase-9 (mmp-9) pada sel amnion dengan terjadinya ketuban pecah dini
Introduction: Premature rupture of membranes (PROM) is an obstetric problem that can significantly increase maternal and perinatal morbidity and mortality due to complications caused. The occurrence of PROM is caused by many factors, one of which is the increased degradation of amniotic membrane collagen. The Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) is the main mediator of collagen degradation from the amniotic membrane, which has a high proteolytic activity against the amniotic membrane. The aim of the study is to prove that the expression of MMP-9 on amniotic cells plays a role in the mechanism of PROM in term pregnancy.
Methods: The study design is a comparative analytic observational study with a cross-sectional design using 20 samples of amniotic tissue from a term pregnant women with PROM and 20 samples without PROM. The study was conducted at Sanglah Hospital Denpasar. The research material was taken after delivery from the amniotic tissue. MMP-9 immunohistochemical study was conducted at the Histology Laboratory of the Faculty of Medicine, Udayana University, Bali. Characteristics of the sample are tested by compare mean. The prevalence ratio (PR) of MMP-9 expression was tested with the Chi Square Test.
Result:There were no significant differences in maternal age, gestational age, BMI, and parity of the two groups (p> 0.05). MMP-9 expression was associated with premature rupture of membranes with a prevalence ratio of 2.85 (95% CI = 1.62-5.02; p = 0.001).
Conclusion: The conclusion of this study is that positive MMP-9 expression in amniotic cells is associated with premature rupture of membranes.
Pendahuluan: Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah obstetri dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal secara signifikan akibat komplikasi yang ditimbulkan. Terjadinya KPD disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah meningkatnya degradasi kolagen membran ketuban. Matrik Metaloproteinase-9 (MMP-9) adalah mediator utama degradasi kolagen dari membran ketuban, dimana mempunyai aktivitas proteolitik yang tinggi terhadap membrane ketuban. Tujuan penelitian adalah untuk membuktikan ekspresi MMP-9 pada sel amnion berperan dalam mekanisme terjadinya KPD pada kehamilan aterm.
Metode: Rancangan penelitian ini studi observasional analitik komparatif dengan desain cross-sectional menggunakan 20 sample jaringan amnion ibu hamil aterm dengan KPD dan 20 sampel tanpa KPD. Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar. Bahan penelitian diambil setelah persalinan dari jaringan amnion. Imunohistokimia (IHK) MMP-9 dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali. Karakteristik sampel diuji dengan compare mean. Rasio prevalensi (RP) ekspresi MMP-9 diuji dengan Chi Square Test.
Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna pada umur ibu, usia kehamilan, IMT, dan gravida kedua kelompok (p>0,05). Ekspresi MMP-9 berhubungan dengan terjadinya ketuban pecah dini dengan rasio prevalensi sebesar 2,85 (IK 95% = 1,62-5,02; p = 0,001).
Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah ekspresi MMP-9 positif pada sel amnion berhubungan dengan terjadinya ketuban pecah dini.
Perbedaan ekspresi matriks metalloproteinase-2 dan caspase-3 sel amnion pada persalinan preterm dengan ketuban pecah dini dan tanpa ketuban pecah dini
Fatrisia Fatrisia, Ketut Surya Negara, Ketut Suwiyoga, Tjok Gde Agung Suwardewa, IWayan Megadhana, Made Darmayasa, I Gede Mega Putra, Anak Agung Gede Putra WiradnyanaOnline First: Feb 5, 2020
- Abstract
Perbedaan ekspresi matriks metalloproteinase-2 dan caspase-3 sel amnion pada persalinan preterm dengan ketuban pecah dini dan tanpa ketuban pecah dini
Background: Premature rupture of membrane (PROM) is one of pregnancy complications that has become important medical issues all over the world including Indonesia, in regards to its prevalence, related morbidity and mortality not only for the mother but also for the fetus or neonate. The weakened amniotic membrane associated with increased degradation of extracellular matrix and apoptosis is an important factor underlying the pathogenesis of PROM. The increase of MMP-2 and caspase-3 expression is an important topic to study in order to understand the risk factors of PPROM.
Method: This is a cross sectional study involving 40 mothers with and without PROM with gestational age range from 20 to 37 weeks. The sample of amniotic membrane are taken consecutively from the edges of the broken site of amniotic membrane, sized 2 cm. The sample was then fixated within a phosphate buffer saline (PBS) solution. The sample was sent to Laboratorium Biomedik Terpadu, Faculty of Medicine Udayana University for MMP-2 and caspase-3 characterization using immunohistochemistry.
Result: Maternal age, gestational age, and BMI were not the risk factors of PROM. The expression of MMP-2 and caspase-3 were significantly higher in group with PROM as compared to those without PROM (p<0.05).
Conclusion: In conclusion, there were differences in the expression of MMP-2 and caspase-3 between group with PROM as compared to those without PROM.
Latar Belakang: Ketuban pecah dini (KPD) merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang menjadi masalah kesehatan penting di seluruh dunia termasuk Indonesia, terkait dengan prevalensi, morbiditas dan mortalitas perinatal di samping maternal. Melemahnya selaput ketuban akibat degradasi komponen matriks ekstraseluler dan peningkatan apoptosis sel amnion merupakan faktor penting yang mendasari terjadinya KPD. Peningkatan kadar MMP-2 dan caspase-3 menarik untuk diteliti sebagai salah satu faktor risiko pada KPD preterm.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap 40 orang ibu bersalin dengan dan tanpa KPD umur kehamilan 20-37 minggu. Sampel penelitian berupa jaringan amnion yang diambil secara consecutive sampling. Jaringan amnion diambil dari tepi robekan selaput ketuban berukuran lebar 2 cm setelah melahirkan, kemudian dimasukkan dalam larutan fiksasi phosphate buffer saline (PBS). Sampel selanjutnya dikirim ke Laboratorium Biomedik Terpadu FK Universitas Udayana Denpasar, untuk pemeriksaan ekspresi MMP-2 dan Caspase-3 menggunakan metode imunohistokimia.
Hasil: Umur, ibu usia gestasi dan IMT bukan merupakan faktor risiko KPD preterm. Ekspresi MMP-2 dan caspase-3 sel amnion pada KPD lebih tinggi secara bermakna dibanding ekspresi MMP-2 dan caspase-3 sel amnion tanpa KPD (p<0,05).
Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan ekspresi MMP-2 dan caspase-3 sel amnion pada kasus KPD dibanding tanpa KPD pada persalinan preterm.
Kadar Serum Interferon Gamma yang Tinggi Merupakan Faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia
I Nyoman Suetri Tapayana, GP Surya, IN Hariyasa Sanjaya, AAG Budiartha, JA Pangkahila, IS Iswari, W Megadhana, TGA SuwardewaOnline First: Mar 16, 2020
- Abstract
Kadar Serum Interferon Gamma yang Tinggi Merupakan Faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia
Background:Preeclampsia is a multi-system disorder in pregnancy that can cause serious problems and is one of the major causes of maternal and fetal death in Indonesia and world while. Interferon gamma is a proinflammatory cytokine secreted during lacental hypoxia in preeclampsia patient. The aim of this study is to prove high serum levels of interferon gamma is a risk factor for the occurrence of preeclampsia.
Method:This is an observational Case-Control study, held in Obstetrics and Gynecology Department, Sanglah General Hospital Denpasar and Prodia Laboratory, during September to December 2018 period. Samples are pregnant women admitting to Delivery Room on ER and Obstetrics-Gynecology Clinic Sanglah General Hospital Denpasar with age more than 20 weeks fulfilling sampling criteria and volunteered to participate.
Result: Sixty two pregnant woman who came to the delivery room and Polyclinic Sanglah Hospital diagnosed with preeclampsia and normal pregnancy. Blood sampling was done to identify levels of interferon gamma. Chi Square test was performed. Data analyzed by SPSS. Chi-Square and Odds Ratio test obtained OR = 7,20 (95% IK = 2,33-22,28, p = 0,001). It was found that high level interferon gamma may increase the risk of preeclampsia by 6.5 times compared to low or normal levels of interferon gamma.
Conclusion: It was concluded that high level of interferon gamma levels was a risk factor of preeclampsia.
Latar Belakang: Preeklampsia merupakan gangguan multi sistem pada kehamilan yang dapat menimbulkan komplikasi yang serius hingga kematian dan merupakan salah satu penyebab utama dari kematian ibu dan janin di seluruh dunia dan juga di Indonesia. Interferon gamma merupakan sitokin proinflamasi yang disekresikan akibat hipoksia plasenta sebagai salah satu mekanisme terjadinya Preeklampsia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan kadar serum interferon gamma yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia.
Metode:Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol observasional di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar dan Laboratorium Prodia dari September 2018 sampai Desember 2018. Sampel adalah ibu hamil yang datang ke Ruang Bersalin IGD dan Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dengan umur kehamilan diatas 20 minggu yang memenuhi kriteria dan bersedia ikut serta dalam penelitian.
Hasil:Total sejumlah 62 orang ibu hamil yang datang ke poliklinik dan kamar bersalin RSUP Sanglah Denpasar dengan diagnosis Preeklampsia dan kehamilan normal. Pemeriksaan serum darah dilakukan untuk mengidentifikasi kadar serum interferon gamma. Dilakukan uji Chi- square. Data dianalisis dengan menggunakan Program SPSS.Dengan uji Chi-Square dan Odds Ratio didapatkan OR= 7,2 (IK 95% = 2,33- 22,28, p = 0,001). Didapatkan kadar interferon gamma yang tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia sebesar 7 kali dibandingkan kadar interferon gamma rendah/normal.
Kesimpulan:Dapat disimpulkan bahwa kadar interferon gamma yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia.
Â
Perbandingan skor NOSE (Nasal Obstruction Symptom Evaluation) pada pasien deviasi septum sebelum dan sesudah pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018
I Gede Wahyu Adi Raditya, Luh Made RatnawatiOnline First: Feb 5, 2020
Rasio trombosit leukosit sebagai prediktor infeksi dengue
Putu Indah Budiapsari, Sri Ratna Dewi, I Nyoman SupadmaOnline First: Feb 5, 2020
- Abstract
Rasio trombosit leukosit sebagai prediktor infeksi dengue
Background: Dengue fever is difficult to distinguish from fever by other causes. Hematological identification in this case is very important for the initial screening of our suspicion on the cause of fever.
Purpose: This study aims to analyze the leukocyte trombosit ratio in children by dengue infection compared to nondengue.
Method: This cross sectional analytic study recruited children aged 0-18 years who came to the paediatrics polyclinic and the emergency room of the Famili Husada Hospital, Gianyar.
Results: Total 106 samples were collected from medical records of nondengue fever patients and 58 medical records of dengue fever patients. The mean trombosit leukocyte ratio in dengue patients was 93.47 while in nondengue it was 76.50. There was a significant difference in the leukocyte trombosit ratio between dengue compared with nondengue infections (p <0.05).
Conclusion: The leukocyte trombosit ratio can be used as a marker of dengue infection, while dengue infection has a higher leukocyte trombosit ratio compared to nondengue fever.
Latar Belakang: Secara klinis terkadang demam berdarah dengue sulit dibedakan dengan demam oleh karena sebab lain. Identifikasi hematologis dalam hal ini sangat penting untuk skrining awal kecurigaan kita pada penyebab demam.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan rasio trombosit leukosit pada anak demam oleh karena infeksi dengue dibandingkan dengan nondengue.
Metode: Penelitian retrospektif ini mengambil sampel anak usia 0-18 tahun di kabupaten Gianyar yang datang ke poliklinik anak dan UGD RSU Famili Husada Gianyar.
Hasil: 106 rekam medis pasien anak demam nondengue dan 58 rekam medis pasien demam dengue. Rerata rasio trombosit leukosit pada pasien dengue adalah 93.47 sedangkan pada nondengue adalah 76.50. Terdapat perbedaan yang signifikan pada rasio trombosit leukosit pada infeksi dengue dan nondengue (p<0.05).
Kesimpulan: Rasio trombosit leukosit dapat digunakan sebagai penanda infeksi dengue, dimana infeksi dengue memiliki rasio trombosit leukosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan nondengue.
Pemberian kombinasi kalsium dengan asam askorbat meningkatkan kadar bone alkaline phosphatase dan osteocalcin serum dibanding kombinasi kalsium dengan vitamin d3 pada patah tulang panjang paska fiksasi internal tanpa meningkatkan kadar serum kalsium
Puspa Dewi Astawa, I Ketut Siki Kawiyana, Ketut Gede Mulyadi Ridia, Putu Astawa, I Ketut Suyasa, I Wayan Suryanto Dusak, I Gede Eka WiratnayaOnline First: Apr 20, 2020
- Abstract
Pemberian kombinasi kalsium dengan asam askorbat meningkatkan kadar bone alkaline phosphatase dan osteocalcin serum dibanding kombinasi kalsium dengan vitamin d3 pada patah tulang panjang paska fiksasi internal tanpa meningkatkan kadar serum kalsium
Background: This study is aimed to reveal the effectivity of calcium and ascorbic acid (vitamin C) combination supplement in bone healing of fractures compared to calcium and vitamin D3
Methods: This study is a randomized clinical trial that involved 30 patients with lower extremity long bone fractures who underwent internal fixation procedure, and divided into two groups. One group was given calcium carbonate-ascorbic acid regiment combination whereas the other group was given calcium carbonate-vitamin D3 regiment. The regiment’s effect on the level of serum calcium, bone alkaline phosphatase (BAP), and osteocalcine (OC) was examined. The results was compared and statistically analyzed.
Results: Administration of calcium carbonate and ascorbic acid combination was be able to increase serum calcium significantly (p = 0.00, 95% CI = 0.59 – 0,87), but not as strong as combination of calcium carbonate with vitamin D3. An increased level of serum BAP and OC was found significantly higher in calcium carbonate and ascorbic acid supplementation group (p value = 0,033, CI -4,18 – -0,19 for BAP, p value = 0,04, CI -2,25 – -0,49 for OC).
Conclusion: The administration of calcium carbonate and ascorbic acid combination supplement increases the serum calcium level, but not as strong as calcium carbonate and vitamin D3 combination.
Latar Belakang: Kondisi patah tulang akan menyebabkan peningkatan kebutuhan kalsium untuk proses penyembuhannya. Pemberian suplemen diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan kalsium sekaligus mempercepat proses penyembuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan suplemen kalsium dan asam askorbat (vitamin C) dalam penyembuhan tulang pasca patah tulang dibandingkan pemberian suplemen kalsium dan vitamin D3.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis terandomisasi yang melibatkan 30 pasien patah tulang panjang ekstremitas bawah pasca fiksasi internal yang kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok diberikan suplemen kombinasi kalsium karbonat dan asam askorbat sedangkan kelompok lainnya diberikan kombinasi kalsium karbonat dan vitamin D3. Efeknya terhadap kadar serum kalsium, bone alkaline phosphatase (BAP), dan osteocalcin (OC) diperiksa melalui sampel darah yang diambil secara serial. Hasil yang didapat dibandingkan antara kadar sebelum diberikan perlakuan dengan kadar pasca perlakuan. Analisis statistik dilakukan untuk menentukan signifikasi peningkatan kadarnya.
Hasil: Pemberian kombinasi kalsium karbonat dengan asam askorbat mampu meningkatkan serum kalsium secara bermakna (p=0.00, IK 95% = 0.59 – 0,87), namun tidak lebih kuat dibandingkan kombinasi kalsium karbonat dengan vitamin D3. Peningkatan kadar BAP dan OC juga ditemukan lebih tinggi secara bermakna pada kelompok dengan suplementasi kalsium karbonat dengan asam askorbat (nilai p 0,033 IK -4,18 – -0,19 untuk BAP, nilai p = 0,04, IK -2,25 – -0,49 untuk OC) apabila dibandingkan dengan suplementasi kalsium karbonat dan vitamin D3.
Pembahasan: Kombinasi kalsium karbonat dan asam askorbat melibatkan jalur serta titik tangkap yang berbeda dengan vitamin D3 dan dapat memberikan keluaran yang menyerupai atau lebih baik pada penyembuhan pasca patah tulang. Kombinasi ini dapat dipertimbangkan penggunaannya dengan lebih luas.
Simpulan: Pemberian kombinasi kalsium karbonat dan asam askorbat terbukti dapat meningkatan kadar serum kalsium, namun tidak sekuat pada kombinasi kalsium dan vitamin D3. Suplemen kombinasi kalsium karbonat dan asam askorbat dapat dipertimbangkan dalam tatalaksana pasien patah tulang panjang pasca fiksasi internal.Karakteristik penderita abses submandibula di Departemen THT-KL RSUP Sanglah Denpasar
putu dian anggreni setiawan, I Dewa Arta Eka PutraOnline First: Feb 10, 2020
- Abstract
Karakteristik penderita abses submandibula di Departemen THT-KL RSUP Sanglah Denpasar
Submandibular abscess is the site of inflammation held by the pus in the submandibular region. Is an infection of the inner neck. The most common cause of infection. Germs are usually a mixture of aerobic and anaerobic germs. Knowing the prevalence of characteristics of submandibular patients in the ORL-HNS Department of Sanglah Hospital Denpasar. This study involved 36 patients who obtained the highest age in the age group 31-40 years (35.71%). Men numbered 22 people (61.11%) and women numbered 14 (38.89%). Patients receiving submandibula came with complaints of swelling under the jaw, as many as 36 people (100%), while for the source of infection from patients with submandibular abscesses in this study all of them helped from the teeth as much as 100%. The length of treatment for patients with submandibular abscesses was mostly verified for 7 days, which was 36.02%. The most sensitive types of antibiotics were obtained, namely cefepime and meropenem at 100% each. The results of the germ culture that were obtained most were Streptococcus Viridans, which numbered 15 people (41.67%). As many as 33 people (91.67%) in patients with submandibular abscesses in this study had no complications. The results of this study can be used as a guide in better and more effective management of submandibular abscesses.
Â
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah submandibula. Merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam. Penyebab tersering infeksi leher dalam adalah infeksi gigi. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob. Mengetahui prevalensi karakteristik penderita abses submandibula di Departemen THT-KL RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini melibatkan 36 pasien di dapatkan berdasarkan usia terbanyak terdapat pada kelompok usia 31-40 tahun (35,71%). Lelaki sejumlah 22 orang (61,11%) dan perempuan sejumlah 14 (38,89%). Penderita abses submandibula datang dengan keluhan pembengkakan di bawah rahang, sebanyak 36 orang (100%), sedangkan untuk sumber infeksi dari penderita abses submandibula pada penelitian ini semuanya berasal dari gigi yaitu sebanyak 100%. Lama perawatan penderita abses submandibula sebagian besar penderita dirawat selama 7 hari yaitu sebanyak 36,02%. Jenis antibiotik terbanyak yang sensitif didapatkan yaitu sefepim dan meropenem masing-masing sebesar 100%. Hasil kultur kuman didapatkan terbanyak adalah jenis kuman Streptococcus viridans sejumlah 15 orang (41,67%). Sebanyak 33 orang (91,67%) pada penderita abses submandibula pada penelitian ini tidak mengalami komplikasi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penatalaksanaan abses submandibula yang lebih baik dan efektif.
Korelasi antara beban perawatan dengan depresi, ansietas, dan stres pada pelaku rawat orang dengan skizofrenia di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Kadek Suaryana, Luh Nyoman Alit Aryani, Cokorda Bagus Jaya LesmanaOnline First: Feb 3, 2020
- Abstract
Korelasi antara beban perawatan dengan depresi, ansietas, dan stres pada pelaku rawat orang dengan skizofrenia di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Introduction: Schizophrenia is a severe mental disorder that requires collaborative approach from the healt care provider, family, and the society in its management. schizophrenia including chronic mental disorders characterized by severe disability in reality testing, mental function, and sosial relation that last for more than a month. Adequate support from the family of people with schizophrenia plays a significant role in their recovery. However, providing support to these patients might become a significant burden among caregiver that it might induce the occurrence of stress, mood changes, and ansiety. Studies of the correlation of caregiving burden with psychiatric disorder by caregiver of people with schizophrenia are limited.This research aimed to determine the correlation between caregiver burden and the mental problems that might be experienced by caregivers of people with schizophrenia.
Method: This qualitative research employed a cross sectional analytic design. Sampel were obtained consecutively in june and july 2018. Caregivers of people who live with schizophrenics and outpatient or hospitalization at RSUP Sanglah are recruited as research subjects.The questionnaires used were the 22 item Zarit Burden Interview (ZBI) and the 42 item Depression, Anxiety and Stress Scale (DASS-42). A number of 69 subjects participated.
Result: The caregiving burden demonstrated strong positive significantly correlations with problems including depression, anxiety, and stress (r=0.618, r=0.694, r=0.808, respectively), and all statistically significant (p<0.001).
Conclusion: The caregiving burden with depression, anxiety, and stress had a strong correlation.
Pendahuluan: Skizofrenia adalah gangguan mental berat yang membutuhkan perawatan dan dukungan dari keluarga serta masyarakat. Skizofrenia termasuk gangguan jiwa kronis yang ditandai dengan hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas, fungsi mental, dan fungsi kehidupan sehari-hari berlangsung lebih dari satu bulan. Dukungan dari keluarga terutama pelaku rawat sangat berpengaruh pada proses pemulihan pasien kedepan, namun dapat memberikan beban perawatan bagi pelaku rawat yang dapat memicu stres, perubahan suasana perasaan bahkan kekawatiran yang berlebihan. Studi mengenai hubungan beban perawatan dengan gangguan psikiatri pada pelaku rawat orang dengan skizofrenia masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi beban perawatan pada pelaku rawat orang dengan skizofrenia dan kemungkinan kaitannya dengan masalah kejiwaan yang mereka alami agar bisa diintervensi.
Bahan dan Metode: Penelitian secara kuantitatif dengan pendekatan analitik berdesain potong-lintang. Pengambilan sampel secara konsekutif yang dilakukan bulan Juni dan Juli 2018. Pelaku rawat yang memiliki anggota keluarga menderita gangguan skizofrenia yang tinggal serumah dan menjalani rawat jalan maupun rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah direkrut sebagai subyek penelitian. Alat ukur menggunakan kuesioner 22 item Zarit Burden interview (ZBI) dan 42 item Depression, Anxiety and stress scale (DASS-42).
Hasil: Subjek penelitian yang dianalisis sebanyak 69 responden. Hasil penelitian didapatkan adanya korelasi positif kuat antara beban perawatan dengan depresi, anxietas, dan stres (r=0,618, r=0,694, r=0,808, berturut-turut), serta semuanya bermakna secara statistik (p<0,0001).
Simpulan: Beban perawatan dengan depresi, ansietas, dan stres memiliki korelasi yang kuat.
Karakteristik pasien pre-operasi refraksi kornea di Rumah Sakit Mata Bali Mandara tahun 2018
Ni Kompyang Rahayu, Saphira Evani, Ernes Erlyana Suryawijaya, I Nyoman Surya Ari WahyudiOnline First: Feb 5, 2020
- Abstract
Karakteristik pasien pre-operasi refraksi kornea di Rumah Sakit Mata Bali Mandara tahun 2018
Introduction: In Indonesia, around 20.7% of blindness are caused by refractive error. Refractive error can be corrected in various ways, by using glasses, contact lenses, or refractive surgery. This study aimed to determine the pre-operative characteristics of corneal refractive surgery patients at Bali Mandara Eye Hospital (RSMBM) in 2018 as a reference data for future studies.
Method: This was a descriptive retrospective study. Subjects were all patients who had undergone corneal refractive surgery at RSMBM in January 2018 – December 2018. The characteristics data were analyzed descriptively.
Result: The number of patients who had received corneal refractive surgery at RSMBM in 2018 was 348 people, of which 157 patients (45.12%) were women and 191 patients were men (54.88%). The highest age group of patients was 18-25 years (49.14%). The most common patients’ occupations was private employees (38.21%), most patients were from Bali (96.83%). Cosmetic reason (30.46%) was the most common purpose for patients to undergo corneal refractive surgery. Most corneal refractive surgeries were performed in March (10.63%). The most common diagnosis of pre-operative refractive errors was composite myopia astigmatism of right eye (88.22%) and left eye (85.92%). The most common degrees of refractive error was severe myopia in the right eye (38.50%) and left eye (36.21%). Most patients were treated by femto-LASIK (57.18%) as the method of corneal refractive surgery.
Â
Pendahuluan: Di Indonesia, sekitar 20,7% kasus kebutaan diakibatkan oleh kelainan refraksi. Kelainan refraksi dapat dikoreksi dengan berbagai cara, yakni dengan penggunaan kacamata, lensa kontak, ataupun pembedahan refraktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien pre-operatif bedah refraktif kornea di Rumah Sakit Mata Bali Mandara (RSMBM) sehingga dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya.
Bahan dan Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif, dengan subjek penelitian adalah seluruh pasien yang melakukan bedah refraktif kornea di RSMBM pada bulan Januari 2018 – Desember 2018. Analisis deksriptif dilakukan secara univariat pada setiap variabel karakteristik.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien yang melakukan bedah refraktif kornea di RSMBM pada tahun 2018 adalah 348 orang. Sebanyak 157 pasien (45,12%) adalah perempuan dan sebanyak 191 pasien (54,88%) adalah laki-laki. Kelompok usia pasien tertinggi adalah 18 – 25 tahun (49,14%). Pekerjaan paling banyak adalah karyawan swasta (38,21%), sebagian besar pasien berasal dari pulau Bali (96,83%). Alasan kosmetik (30,46%) merupakan tujuan terbanyak pasien melakukan bedah refraktif kornea. Bedah refraktif kornea paling banyak dilakukan pada bulan Maret (10,63%). Diagnosis kelainan refraksi pre-operatif yang paling banyak adalah miopia astigmatisme kompositus mata kanan (88,22%) dan mata kiri (85,92%). Derajat kelainan refraksi yang paling banyak ditemukan adalah miopia berat mata kanan (38,50%) dan mata kiri (36,21%). Metode bedah refraktif kornea yang paling banyak dilakukan adalah femto-LASIK (57,18%).
Ekspresi fibulin-5 yang rendah pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat iii-iv
I Nyoman Gde Dwipa Mahardhika, Ketut Suwiyoga, I Gede Mega Putra, Ketut Surya Negara, I Nyoman Bayu Mahendra, Made Darmayasa, I Wayan Megadhana, Tjokorda Gde Agung SuwardewaOnline First: Feb 4, 2020
- Abstract
Ekspresi fibulin-5 yang rendah pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat iii-iv
Introduction: Risk factors for uterine prolapse are multifactorial which associated with weak pelvic floor support muscles, the sacrouterine ligament. The sacrouterine ligament is composed of elastin and collagen where one of the elastin forming proteins is fibulin-5. If there is a disruption in fibulin-5 expression it will cause uterine prolapse. The aim of this study was to prove low fibulin-5 expression in the sacrouterine ligament as a risk factor for degree III-IV uterine prolapse.
Method: This study was an observational design with case control, located at Sanglah Hospital and Pathobiology Laboratory of the Faculty of Veterinary Medicine between April 1 and October 31, 2018. There were 22 subjects in the case and control groups respectively. Samples were taken from the sacrouterine ligament of III-IV uterine prolapse patients who underwent hysterectomy and non-prolapse who performed total hysterectomy with indications of benign abnormalities such as uterine myomas, or bleeding disorders that met the inclusion and exclusion criterias. Samples originating from the sacrouterina ligament were then taken to the Pathobiology Laboratory to make immunohistochemical preparations so they could assess the fibulin-5 expression. Fibulin-5 expression is divided into low and high. Data analysis using Chi-square test, with a value of p <0.005 considered significant.
Result: Based on fibulin-5 expression between the two groups, low fibulin-5 expression in the sacrouterine ligament was a risk factor for grade III - IV uterine prolapse of 4.91 times (OR = 4.91; 95% CI = 1.33- 18, 21; p = 0.014).
Conclusion: Based on the results of the study it can be concluded that low fibulin-5 expression in the sacrouterine ligament is a risk factor for degree III-IV uterine prolapse.
Pendahuluan: Prolaps uterus adalah turunnya uterus ke dalam liang vagina atau keluar liang vagina sebagai akibat gagalnya ligmentum penyokong dasar panggul. Faktor risiko terjadinya prolaps uterus bersifat multifaktorial yang berhubungan dengan lemahnya otot penyangga dasar panggul yaitu ligamentum sakrouterina. Ligamentum sakrouterina tersusun oleh elastin dan kolagen dimana salah satu protein pembentuk elastin adalah fibulin-5. Apabila terjadi gangguan dalam ekspresi fibulin-5 akan menyebabkan terjadinya prolaps uterus. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan ekspresi fibulin-5 yang rendah pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III-IV.
Metode: Penelitian ini merupakan rancangan observasional dengan kasus kontrol, bertempat di RSUP Sanglah dan Laboratorium Patobiologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unud antara 1 april 2018 - 31 oktober 2018. Terdapat masing-masing 22 subyek pada kelompok kasus dan kontrol. Sampel diambil dari ligamentum sakrouterina pasien prolaps uterus derajat III-IV yang menjalani histerektomi dan non-prolaps uterus yang dilakukan histerektomi total dengan indikasi kelainan jinak seperti mioma uteri, atau gangguan perdarahan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel yang berasal dari ligamentum sakrouterina kemudian dibawa ke Laboratorium Patobiologi FKH Unud untuk dibuat preparat imunohistokimia sehingga dapat menilai expresi fibulin-5 sampel. Expresi fibulin-5 dibedakan menjadi rendah dan tinggi. Analisis data menggunakan uji Chi-square,  dengan nilai p<0,005 dianggap bermakna.Â
Hasil: Berdasarkan ekspresi fibulin-5 antara kedua kelompok, ekspresi fibulin-5 yang rendah pada ligamentum sakrouterina merupakan faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III - IV sebesar 4,91 kali (OR =4,91; IK 95% =1,33-18,21; p =0,014).
Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah ekspresi ekspresi fibulin-5 yang rendah pada ligamentum sakrouterina menjadi faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III-IV.
Â
Â
Â
Â
Gambaran hasil pemeriksaan kekuatan otot mahasiswa program studi sarjana kedokteran dan pendidikan dokter fakultas kedokteran dan mahasiswa program studi farmasi fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas udayana tahun 2019
Nila Wahyuni, I Putu Gede AdiatmikaOnline First: Jan 26, 2020
- Abstract
Gambaran hasil pemeriksaan kekuatan otot mahasiswa program studi sarjana kedokteran dan pendidikan dokter fakultas kedokteran dan mahasiswa program studi farmasi fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas udayana tahun 2019
Introduction: Muscle strength is an important component in health that plays a role in physical development, sports skills and social relations. Based on epidemiological data, muscle strength is also a predictor of mortality in various clinical conditions. The objective of this research is to find out the description of muscle strength in Udayana University’s medical and pharmacy students.
Method: This research is a descriptive study with cross-sectional design and sample selection using purposive random sampling method with 120 respondents.
Results: Based on examination with handgrip dynamometer, most of the respondent’s muscle strength was normal, the other muscle strength was classified as poor and lacking.
Discussion: Respondent’s muscle strength did not reach the maximum category.
Pendahuluan: kekuatan otot merupakan komponen penting dalam kesehatan yang berperan dalam perkembangan fisik, keterampilan olahraga dan hubungan sosial. Berdasarkan data epidemiologi kekuatan otot juga merupakan faktor prediktor mortalitas pada berbagai kondisi klinis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kekuatan otot pada mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan mahasiswa Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.
Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif dengan rancangan potong lintang (cross-sectional) dan pemilihan sampel menggunakan metode purposive random sampling dengan jumlah responden sebanyak 120 orang.
Hasil: Pemeriksaan dengan handgrip dinamometer sebagian besar kekuatan otot responden tergolong normal, pemeriksaan kekuatan otot lainnya tergolong kategori buruk dan kurang.
Diskusi: Kekuatan otot responden tidak mencapai kategori maksimal.
Karakteristik kelainan refraksi pada mahasiswa dengan computer vision syndrome di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Tahun 2018
Luh Suci Maharani, Cokorda Dewiyani Pemayun, Ariesanti Tri HandayaniOnline First: Jan 10, 2020
- Abstract
Karakteristik kelainan refraksi pada mahasiswa dengan computer vision syndrome di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Tahun 2018
Background: Computer vision syndrome (CVS) is characterized by a range of eye and vision-related symptoms and has been a recognised health problem for over 20 years. It is estimated that globally, about 45 to 70 million people spend hours staring into a video display terminal (VDT). Uncorrected or undercorrected refractive error (RE) can be major contributing factors to computer related eye stress. The aim of this study was to investigate the RE characteristic in student with CVS at faculty of medicine Udayana University.
Method: This study is a descriptive observational study with cross sectional approach. This study was conducted at faculty of medicine Udayana University on March 15th 2018. Data was collected through questionnaires and basic ophthalmology examination.
Result: Student with CVS who participated in this study were 47 students and 35 of themwith RE. Characteristic of the subject consist of 9 boys and 38 girls. Mostly of them were 20 years old, Balinese, miopia astigmat compositum, and history of previous glasses. The most disturbing symptoms is eye strain with total 38 person (80.9%), mostly of them use computer ≥ 5 years, with duration per day were less then 4 hours, break between working about >10 minutes, and distance from eye to screen >50cm.
Conclusion: The proportion of ocular and extraocular symptom were found mostly in student with RE, however there was no statistically significant association between them (p>0.05).
Latar Belakang: Computer vision syndrome (CVS) merupakan sekumpulan gejala pada mata dan penglihatan, dimana telah menjadi perhatian dunia sejak 20 tahun. Empat puluh lima sampai tujuh puluh juta penduduk didunia menghabiskan waktu untuk menatap layar video display terminals (VDT). Salah satu faktor yang memperberat keluhan stress mata berhubungan dengan komputer adalah riwayat kelainan refraksi uncorrected maupun undercorrected. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik kelainan refraksi yang terjadi pada mahasiswa CVS.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan analytic cross-sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana tanggal 15 Maret 2018. Data penelitian dikumpulkan melalui kuisioner dan pemeriksaan mata dasar.
Hasil: Mahasiswa yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebanyak 47 orang CVS, dengan 35 orang mempunyai riwayat kelainan refraksi. Karakteristik subjek penelitian terdiri atas 9 orang lelaki dan 38 orang perempuan, sebagian besar subjek penelitian berusia 20 tahun, suku Bali, kelainan refaraksi miopia astigmat (MAC), dan riwayat menggunakan kacamata minus. Hasil penelitianiniantaralaingejalaterseringmatategangataulelah dengan total 38 orang (80,9%), aktivitas pemakaian komputer ≥ 5 tahun, pemakaian kurang dari 4 jam perhari, dengan jeda istirahat diantara waktu pemakaian komputer > 10 menit, dan jarakfokuskelayar>50cm.
Kesimpulan: Proporsi keluhan okular dan ekstraokular ditemukan lebih banyak pada mahasiswa dengan riwayat kelainan refraksi, walaupun secara statistik tidak ditemukan hubungan bermakna.
Korelasi negatif kebiasaan merokok dan korelasi positif tingkat kebugaran fisik terhadap kecepatan pemulihan denyut nadi pada populasi dewasa di denpasar
Nila Wahyuni, Made Krisna Dinata, Indira Vidiari JuhannaOnline First: Jan 26, 2020
- Abstract
Korelasi negatif kebiasaan merokok dan korelasi positif tingkat kebugaran fisik terhadap kecepatan pemulihan denyut nadi pada populasi dewasa di denpasar
Introduction: Recovery of pulse after exercise is a non-invasive autonomic nerve function examination that describes a person’s adaptability to training and is also a marker of the prognosis of cardiovascular disease. Some of the factors that affect pulse recovery are smoking habits and physical fitness levels. Based on the limitations of previous research it used physical training protocols with different intensities and in other studies involving only heavy smokers so similar research was needed with physical training protocols with the same intensity and research respondents with mild, moderate and severe smoking habits.This study was aimed to determine the effect of smoking habits and physical fitness level on pulse rate.
Method: This is a cross-sectional descriptive study using simple random sampling technique. Fourty eight male subjects that fulfilled the inclusion criteria were incorporated in this study. Physical fitness level was assessed with Harvard Step test and test results were categorized using Short Form (Fitness Index II), meanwhile pulse recovery rate was investigated using pulsemeter.
Results: Smoking habits contributed 10.2% and physical fitness levels contributed 15.1% to the rate of pulse recovery with a correlation coefficient of less than 0.5.
Discussion: Smoking is associated with autonomic dysfunction which causes a decrease in the rate of pulse rate recovery. Individuals with a good level of physical fitness have better cardiovascular function thereby increasing the rate of pulse rate recovery.
Pendahuluan: Pemulihan denyut nadi setelah berolahraga merupakan suatu pemeriksaan fungsi saraf otonom non invasif yang menggambarkan kemampuan adaptasi seseorang terhadap pelatihan dan juga merupakan penanda prognosis penyakit kardiovaskular. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemulihan denyut nadi adalah kebiasaan merokok dan tingkat kebugaran fisik. Berdasarkan kelemahan penelitian sebelumnya dimana pada penelitian tersebut menggunakan protokol pelatihan fisik dengan intensitas yang berbeda dan pada penelitian lain hanya melibatkan perokok berat sehingga diperlukan penelitian serupa dengan protokol pelatihan fisik dengan intensitas yang sama dan responden penelitian dengan kebiasaan merokok ringan, sedang maupun berat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kebiasaan merokok dan tingkat kebugaran fisik terhadap kecepatan denyut nadi.
Bahan dan Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif cross-sectional dengan menggunakan teknik simple random sampling. Didapatkan 48 orang sampel penelitian berjenis kelamin laki-laki yang memenuhi kriteria inklusi. Tingkat kebugaran fisik dengan dengan Harvard Step test dan hasil tes dikategorikan dengan menggunakan Short Form (Fitness Indeks II) sedangkan pengukuran pemulihan denyut nadi dilakukan dengan menggunakan pulsemeter.
Hasil: Kebiasaan merokok memberikan kontribusi sebesar 10,2% dan tingkat kebugaran fisik memberikan kontribusi sebesar 15,1% terhadap kecepatan pemulihan denyut nadi dengan koefisien korelasi kurang dari 0,5.
Diskusi: merokok dikaitkan dengan disfungsi otonom yang menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan pemulihan denyut nadi. Individu dengan tingkat kebugaran fisik yang baik memiliki fungsi kardiovaskular yang lebih baik sehingga meningkatkan kecepatan pemulihan denyut nadi.
Water-soluble Fullerene (C60) as The Reactive Oxygen Species Scavenger in Preventing Further Degeneration in Patients with Osteoarhtritis
John Nolan, Made Bramantya Karna, A.A. Gde Yuda Asmara, Putu Feryawan MeregawaOnline First: Feb 26, 2020
- Abstract
Water-soluble Fullerene (C60) as The Reactive Oxygen Species Scavenger in Preventing Further Degeneration in Patients with Osteoarhtritis
Background: Osteoarthritis (OA) is the most common degenerative disease that may contribute in the joints among population. Reactive oxygen species (ROS) is one of the main indicators that may affect the progression of OA itself. The current treatments are entangling physical measures, drug therapy, and surgery. The sphere carbon component call C60 Fullerene thought can be the breakthrough therapeutic management in treating OA patients.
Method: Literature review is done by searching journals with “C60 fullereneâ€, “osteoarthritisâ€, and “reactive oxygen species†on the search engines. From 49 journals that were reviewed, 47 were found suitable as reference for this paper.
Outcome: C60 fullerene is cage structured molecule consists of spherical carbon molecules. This derivate may work as the free radical scavenger that has high acting reactivity with ROS. C60 fullerene works by using several mechanisms that protects from main proinflammatory cytokines resulting from ROS expression, such as TNF-α and IL-1β. This modality works in several places, in the synoviocytes and also chondrocytes. Through its advantageous, there some setbacks including the difficult process regarding its nano molecule procedure and the questions marks regarding its safety and toxicity.
Conclusion: C60 fullerene may contribute in treating patients with OA through several mechanism of action. Further researches are required to identify the efficacy and effectivity of the C60 fullerene in treating OA patients and also its safety and toxicity.
Â
Latar Belakang: Osteoarthritis (OA) merupakan suatu kondisi degenerative yang sering terjadi pada sendi manusia di seluruh dunia. Stress oksidatif (ROS) merupakan salah satu dari indikasi utama dalam progresivitas dan perkembangan dari OA itu sendiri. Pengobatan terkini dari OA meliputi rehabilitasi fisik, terapi obat, dan operasi. Terdapat sebuah komponen rantai hidrokarbon yang disebut C60 fullerene dinyatakan dapat menjadi suatu terobosan dalam pengobatan pada pasien dengan OA.
Metode: Artikel review ini diselesaikan dengan mencari kata kunci “C60 fullereneâ€, “osteoarthritisâ€, dan “reactive oxygen species†berbagai jurnal di beberapa mesin pencarian. Dari 49 jurnal yang ditemukan, didapatkan 47 jurnal tersebut cocok untuk dijadikan bahan dalam pembuatan artikel ini.
Hasil: Bahan hidrokarbon C60 fullerene ini merupakan rantai yang berbentuk bulat. Derivat ini dapat digunakan sebagai scavenger untuk stres oksidatif dengan reaktivitasnya yang tinggi terhadap stres oksidatif. C60 dapat bekerja melalui beberapa macam jalur yang dapat melindungi tubuh dari beberapa sitokin proinflamasi yang dihasilkan dari ekspresi stres oksidatif, seperti TNF-α dan IL-1β. Modalitas ini dapat bekerja pada beberapa tempat, seperti di synovial dan juga kondrosit. Terlepas dari kelebihannya, ada beberapa kekurangan dan limitasi yang perlu diperhatikan dari penggunaan nano molekul ini berhubungan dengan tingkat keamanan dan toksisitasnya.
Kesimpulan: C60 fullerene bisa berkontribusi dalam mengatasi pasien dengan OA melalui beberapa mekanisme kerja. Namun, penelitian lebih lanjut perlu dikembangkan untuk mengetahui secara pasti dari efektivitas C60 fullerene dalam mengatasi OA dan juga terkait keamanan dan toksisitasnya.
Morbus hansen tipe borderline lepromatous pada anak
Ana Rahmawati, IGAA Dwi KarmilaOnline First: Feb 1, 2020
- Abstract
Morbus hansen tipe borderline lepromatous pada anak
Leprosy or Morbus Hansen (MH) is a chronic infectious disease caused by the bacteria Mycobacterium leprae (M. leprae). Leprosy can occur at various ages from infants to old age with the most age groups, productive age. Prevalence and characteristics of leprosy in children are important in epidemiology and an indicator of the success of leprosy control. Disabilities obtained from an early age will affect the physical and mental development of child patient. The diagnosis of leprosy is based on four cardinal signs of leprosy, namely the presence of anesthesia, thickening of the nerve at the site of predilection, the presence of skin lesions, and the presence of acid fast bacilli (AFB) on the smear of the skin. A diagnosis of leprosy is made up of at least two of the first three cardinal signs or the fourth cardinal sign. In this case report reported cases of borderline lepromatous type leprosy in an 11-year-old boy. The diagnosis of leprosy is based on history, physical examination and investigations in the form of a acid fast bacilli (slit-skin smear). Therapy for the case include MDT MB children for 12 months.
Penyakit kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M. leprae). Penyakit kusta dapat menyerang berbagai usia dari bayi sampai usia lanjut dengan kelompok usia terbanyak adalah usia produktif. Prevalensi dan karakteristik penyakit kusta pada anak memiliki arti penting dalam epidemiologi dan merupakan indikator tingkat keberhasilan pengendalian penyakit kusta. Kecacatan yang didapat sejak usia dini akan mempengaruhi perkembangan fisik maupun mental penderita anak. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan 4 tanda kardinal dari kusta yaitu adanya anestesia, penebalan saraf pada lokasi predileksi, adanya lesi kulit, dan didapatkan adanya Basil Tahan Asam (BTA) pada hapusan kulit. Diagnosis kusta ditegakkan minimal 2 dari 3 tanda kardinal pertama atau adanya tanda kardinal yang keempat. Pada laporan kasus ini dilaporkan kasus kusta tipe borderline lepromatous pada seorang anak lelaki berusia 11 tahun. Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa hapusan sayatan kulit (slit-skin smear). Terapi yang diberikan pada kasus meliputi MDT MB anak selama 12 bulan.
Â
Tumor Glomus
Putu Erika Paskarani, Ni Wayan WinartiOnline First: Feb 5, 2020
- Abstract
Tumor Glomus
Glomus tumors are a very rare mesenchymal neoplasm, it happen less than 2% of all soft tissue tumors. It can be benign, borderline and malignant. The most common location were subungual, however it also can grow at the body organ and extremities. A 60-year-old male patient with firmly defined 1,5 cm diameters tumor mass at the proximal 1/3 proximal cruris region. He was complaining long history of pain and it spreading from the lesion area to the sole of the foot in the last 1 year occasionally. The pain improves at rest. An excisional biopsy was performed with macroscopic features of rounded tissue gray-white color and tender. On microscopic examination, there are neoplastic cell proliferation arranged in a solid pattern, with spherical cell morphology, amphophilic to eosinophilic cytoplasm with spherical nucleus in the middle without atypical nuclear sign. Besides that, there is focal area of stromal hyalinization. No visible mitosis. Based clinical and histopathology feature, the patient is diagnosed as a glomus tumor. The prognosis is quite good because the location and size of the tumor allowing for complete surgical excision and the possibility of recurrence are very rare.
Â
Tumor glomus merupakan neoplasma mesenkimal yang sangat jarang, hanya kurang dari 2% dari seluruh tumor jaringan lunak. Tumor ini dapat bersifat jinak, borderline dan ganas. Lokasi tumor tersering adalah di subungual namun dapat juga terjadi di organ dalam maupun ekstremitas. Pasien laki-laki, 60 tahun dengan massa tumor ukuran diameter 1,5 cm berbatas tegas pada regio cruris dekstra 1/3 proksimal, mengeluh nyeri timbul saat sentuhan dan terkadang menjalar dari daerah lesi ke telapak kaki sejak 1 tahun terakhir. Nyeri tersebut membaik saat istirahat. Telah dilakukan biopsi eksisi pada tumor tersebut dengan gambaran makroskopisjaringan berbentuk bulat, warna putih abu-abu dan kenyal ukuran 0,8 × 0,7 × 0,3cm. Pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan proliferasi sel neoplastik yang membentuk pola solid, dengan morfologi sel bentuk bulat, sitoplasma amphofilik sampai eosinofilik dan inti bulat di tengah tanpa tanda atipia inti. Di sekitar sel tumor tampak fokus stroma yang mengalami hialinisasi. Tidak tampak mitosis. Pasien di diagnosis sebagai tumor glomus. Prognosis pasien ini baik karena lokasi dan ukuran tumor yang memungkinkan untuk dilakukan eksisi pembedahan dan kemungkinan terjadinya rekurensi sangat jarang.
Laparoskopi nefrektomi pada pasien dengan gangguan jantung dan paru
I Nyoman Trisna Wirakusuma Yudi, Tjokorda Gde Agung Senapathi, Christopher Ryalino, Adinda Putra PradhanaOnline First: Mar 16, 2020
- Abstract
Laparoskopi nefrektomi pada pasien dengan gangguan jantung dan paru
Laparoscopy is a minimally invasive surgical procedure by inserting CO2 gas into the peritoneal cavity. Laparoscopy provides an advantage during surgery and shorten the hospital length of stay. The combination of nephrectomy in laparoscopy is the first step performed at Sanglah Hospital, Denpasar, this action presents different challenges in the management of anesthesia. Reported cases of women, 57 years old, with left staghorn stones, sinus pyohydronefrosis and post left nefrostomy with ASA III physical status (patients with LVH and decreased grade I of LV diastolic function and severe moderate restriction in the lungs), performed laparoscopic nephrectomy with anesthesia ASA III status, general anesthesia and endotracheal intubation. The duration of the surgery was 8 hours 15 minutes. Significant hemodynamic fluctuations occurred during the operation, however with good preparation of anesthesia, a good recovery outcome was obtained. Laparoscopy provides post-operative advantages, including: minimally traumatized, minimal pain, fewer pulmonary dysfunction, a faster recovery period, and shorten the hospital length of stay. During the laparoscopic procedure, performed a pneumoperitoneum will cause cardiorespiratory changes. The development of knowledge about pathophysiology, hemodynamic changes and respiration will determine the progress of the management of anesthesia in laparoscopy.
Â
Laparoskopi merupakan suatu prosedur pembedahan minimal invasif dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum. Laparoskopi memberi keuntungan dalam durante operasi dan lama rawat yang singkat. Kombinasi tindakan nefrektomi dalam laparoskopi merupakan tindakan yang baru pertama kali dikerjakan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, tindakan ini memberi tantangan berbeda dalam manajemen anestesi. Dilaporkan kasus perempuan, 57 tahun, dengan batu staghorn sinistra, pyohydronefrosis sinistra dan post nefrostomy sinistra dengan status fisik ASA III (pasien dengan left ventricle hypertrophy dan penurunan fungsi diastolik ventrikel kiri grade I dan restriksi sedang berat pada paru-paru), dilakukan tindakan laparoskopi nefrektomi dengan anestesi umum dan intubasi endotrakea. Durasi operasi selama 8 jam 15 menit. Terjadi fluktuasi hemodinamik signifikan selama durante operasi, namun dengan persiapan anestesi yang baik diperoleh luaran pemulihan yang baik. Laparoskopi memberikan keuntungan pasca operasi, diantaranya: trauma yang lebih minimal, nyeri minimal, gangguan fungsi paru yang sedikit, masa pemulihan yang lebih cepat, sehingga masa rawat inap di rumah sakit juga lebih singkat. Selama tindakan laparoskopi dilakukan pneumoperitoneum yang akan menimbulkan perubahan kardiorespirasi. Perkembangan pengetahuan tentang patofisiologi, perubahan hemodinamik dan respirasi sangat menentukan kemajuan penanganan anestesi pada tindakan laparoskopi.
Two cases of type 2 diabetes mellitus (T2DM) in children
Vania Catleya Estina, I Wayan Bikin Suryawan, I Made ArimbawaOnline First: Feb 1, 2020
- Abstract
Two cases of type 2 diabetes mellitus (T2DM) in children
Increasing prevalence of obesity in children and adolescents, also making a high prevalence of Type-2 Diabetes Mellitus (T2DM). T2DM initially said to be an adult disease is now reported in children and adolescents in the developed countries because of increased incidence of obesity and sedentary habits associated with lifestyle changes.  We report two cases of T2DM with onset at or below 12 years of age who registered at Sanglah General Hospital, Denpasar, Bali. T2DM was diagnosed based on the absence of ketosis, good beta cell reserve as shown by the C peptide assay, absence of insulin autoantibody, and response to oral hypoglycemic agents. The objective of these reports is to describe clinical characteristics, management, and social aspects for T2DM patients. We report two cases of T2DM at the age of 10 and 12 years old. Both patients were female. We evaluate the patient by visiting them to look at their social aspect and problem also management. All of them initially have the same problem in compliance to the medication and lifestyle modification, both of them have a good psychological aspect found using PedsQl, They also have a family history of diabetes but only one is an obese patient. T2DM is now beginning to be seen in the first decade of life. Screening for children who have a risk of diabetes is important. A complication is the biggest fear for T2DM patient, especially for children, routine management and regular evaluation should be done.
Â
Meningkatnya prevalensi obesitas pada anak-anak dan remaja, juga membuat meningkatnya angka prevalensi pada anak dengan Diabetes Mellitus Tipe-2 (DMT2). Diabetes Mellitus tipe 2 awalnya suatu penyakit yang sering didapatkan pada orang dewasa, namun sekarang sering dilaporkan mulai terjadi pada anak-anak dan remaja di negara maju karena peningkatan kejadian obesitas dan kebiasaan yang menetap terkait dengan perubahan gaya hidup tidak sehat. Kami melaporkan dua kasus DMT2 dengan onset usia di bawah 12 tahun yang terdaftar di Rumah Sakit Umum Sanglah, Denpasar, Bali. Kami melaporkan dua kasus DMT2 pada usia 10 dan 12 tahun. Kedua pasien adalah perempuan. Kami mengevaluasi pasien dengan melihat aspek sosial dan masalah mereka serta tatalaksana DMT2. Diabetes Mellitus tipe 2 sekarang mulai terlihat pada dekade pertama kehidupan. Skrining untuk anak-anak yang memiliki risiko diabetes adalah penting untuk mencegah terjadinya DMT2. Komplikasi merupakan masalah terbesar bagi pasien DMT2, terutama untuk anak-anak, serta melakukan pemantauan rutin dan evaluasi reguler sebaiknya harus tetap dilakukan.
Manajemen anestesi pada pasien pediatri yang menderita atresia duodenum dengan penyakit penyerta atrioventicular septal defect komplit (atrial septal defect primum, single ventrikel) dengan malposisi dari arteri besar disertai dengan pulmonal stenosis mod
I Gusti Ayu Eka Para Santi Sidemen, Kadek Agus Heryana Putra, I Ketut Wibawa NadaOnline First: Feb 5, 2020
- Abstract
Manajemen anestesi pada pasien pediatri yang menderita atresia duodenum dengan penyakit penyerta atrioventicular septal defect komplit (atrial septal defect primum, single ventrikel) dengan malposisi dari arteri besar disertai dengan pulmonal stenosis mod
Atrioventricular septal defect (AVSD) covers a spectrum of heart anomalies with a common atrioventricular connection and has an incidence of 4–5.3 per 10.000 live births. In atrioventricular septal defect, the common AV valve can have a common orifice or can be divided by bridging leaflet tissue into two separate orifice. Congenital intrinsic duodenal obstruction may be caused by duodenal atresia, stenosis, membrane, or web and most frequently occurs in the second part of the duodenum at or below the ampulla of Vater. For the surgical treatment of congenital intrinsic duodenal obstruction KIMURA, in 1977 introduced an anastomotic technique of side-to-side duodenoduodenostomy in two layers, arranging the bowel incisions to form a “diamond-shaped†and created a larger stoma.
Â
Atrioventricular Septal Defect (AVSD) merupakan kelainan jantung dimana adanya hubungan (kebocoran) antara ruang atrium jantung dan ruang ventrikel jantung yang umum dan memiliki insiden 4-5,3 per 10.000 kelahiran hidup. Pada defek septum atrioventrikular, katup AV umumnya dapat mempunyai satu kebocoran atau dapat dibagi menjadi beberapa kebocoran yang terpisah. Obstruksi duodenum bawaan mungkin disebabkan oleh atresia duodenum, stenosis, membran, atau jaringan dan paling sering terjadi pada bagian kedua dari duodenum atau di bawah dari ampula Vater. Untuk terapi pembedahan pada obstruksi duodenum intrinsik bawaan diperkenalkan pertama kali oleh KIMURA pada tahun 1977 yaitu teknik anastomotik dimana dilakukan side-to-side duodenoduodenostomi dalam dua lapisan, mengatur sayatan usus untuk membentuk "diamond-shaped" dan menciptakan stoma yang lebih besar.
Serial kasus: Pengukuran serial dalam penyakit blount dan korelasinya dengan prognosis terapi
Dessy Maria, Elysanti Dwi Martadiani, Pande Putu Yuli AnandasariOnline First: Feb 4, 2020
- Abstract
Serial kasus: Pengukuran serial dalam penyakit blount dan korelasinya dengan prognosis terapi
A child development always plays a major role to their quality of life, particularly about musculoskeletal development. Blount disease is a local growth disturbance which characterized by disorganized enchondral ossification (osteochondrosis) of the medial portion of the epiphyseal and metaphyseal area of the proximal tibia. A 3 years old and a 5 years old male, came with major complaint of bowing legs. Radiograph was performed and showed tibia vara deformity, confirmed with abnormal tibia-femoral angle and meta-diaphyseal (Drennan) angle and medial tibial beaking which are confirmed as Blount disease. Monthly radiographic examination follow-up was performed after surgery and showed improvement of tibia-femoral angle and Drennan angle. Normal value was achieved at 3 months follow up for both patient. In this case series, both Blount disease were diagnosed solely using conventional radiograph using tibia-femoral angle and Drennan angle, as addition of medial tibial beaking patognomonic finding. Blount disease, can be easily diagnosed through measurements and its patognomonic finding seen in conventional radiograph. Corrective surgery should be done before 4 years of age for better outcome. Conventional radiograph is essential not only for confirming diagnosis but also to evaluate treatment outcome.
Â
Tumbuh kembang pada masa kanak-kanak selalu memegang peranan penting dalam menentukan kualitas hidup, khususnya perkembangan muskuloskeletal. Penyakit Blount adalah gangguan pertumbuhan lokal yang ditandai ossifikasi enkondral (osteokondrosis) pada medial epifisis dan metafisis tibia proksimal. Perubahan hasil pengukuran sudut pada foto konvensional kaki adalah cara yang mudah dilakukan tapi cukup spesifik untuk membantu menegakkan diagnosis dan koreksi dini dapat membuat perbaikan yang signifikan. Anak lelaki berusia 3 tahun dan 5 tahun datang dengan keluhan bengkok pada kaki. Pemeriksaan radiologi konvensional dilakukan dan menunjukkan adanya deformitas varus tibia, dikonfirmasi dengan hasil pengukuran sudut tibio-femoral dan sudut meta-diafisis (Drennan) yang abnormal, disertai penonjolan (beaking) medial tibia, yang menegaskan penyakit Blount. Pada kedua kasus ini, penyakit Blount didiagnosis hanya dengan menggunakan pemeriksaan radiologi konvensional, yaitu pengukuran sudut tibio- femoral dan sudut Drennan, sebagai tambahan dari penemuan khas penonjolan (beaking) medial tibia. Operasi koreksi harus dilakukan sebelum pasien berusia 4 tahun untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Pemeriksaan radiologis konvensional penting tidak hanya untuk menegakkan diagnosis tetapi juga untuk mengevaluasi hasil terapi.
Rekonstruksi defek lengan menggunakan extended pedicle groin flap. Laporan kasus
Made Dharmendra Widetya, Agus Roy R H HamidOnline First: Feb 4, 2020
- Abstract
Rekonstruksi defek lengan menggunakan extended pedicle groin flap. Laporan kasus
Groin flap merupakan flap axial berpembuluh darah yang berasa dari arteri iliaka sirkumfleksa superfisial. Groin flap sering dipergunakan oleh ahli bedah rekonstruksi untuk menutup defek jaringan pada tangan.Kami melaporkan kasus seorang laki-laki berusia 64 tahun dengan keluhan luka terbuka yang luas pada lengan kanan setelah terkena gergaji mesin. Pada pasien telah dilakukan tindakan operasi reduksi terbuka dan fiksasi internal menggunakan plate dan screw, penyambungan pembuluh darah dan saraf, serta menutup defek jaringan dengan menggunakan extended pedicle groin flap. Groin flap berpembuluh darah telah dipergunakan secara luas pada pembedahan rekonstruksi tangan. Flap tersebut dapat menutupi defek berukuran besar tanpa harus mengorbankan pembuluh darah besar dan tidak memerlukan penyambungan pembuluh darah mikro. Groin flap adalah flap kulit axial berpembuluh darah yang berasal dari sistem arteri dan vena iliaka sirkumfleksa superfisial. Flap ini dapat menutup defek sampai dua per tiga bagian distal dari lengan. Groin flap berpembuluh darah telah dipergunakan secara luas pada pembedahan rekonstruksi tangan. Flap ini dapat menutup defek sampai dua per tiga bagian distal dari lengan.Nekrosis sebagian dari flap merupakan komplikasi yang dapat terjadi namun kerusakan seluruh flap sangat jarang terjadi.
Â
Groin flap merupakan flap axial berpembuluh darah yang berasa dari arteri iliaka sirkumfleksa superfisial. Groin flap sering dipergunakan oleh ahli bedah rekonstruksi untuk menutup defek jaringan pada tangan.Kami melaporkan kasus seorang laki-laki berusia 64 tahun dengan keluhan luka terbuka yang luas pada lengan kanan setelah terkena gergaji mesin. Pada pasien telah dilakukan tindakan operasi reduksi terbuka dan fiksasi internal menggunakan plate dan screw, penyambungan pembuluh darah dan saraf, serta menutup defek jaringan dengan menggunakan extended pedicle groin flap. Groin flap berpembuluh darah telah dipergunakan secara luas pada pembedahan rekonstruksi tangan. Flap tersebut dapat menutupi defek berukuran besar tanpa harus mengorbankan pembuluh darah besar dan tidak memerlukan penyambungan pembuluh darah mikro. Groin flap adalah flap kulit axial berpembuluh darah yang berasal dari sistem arteri dan vena iliaka sirkumfleksa superfisial. Flap ini dapat menutup defek sampai dua per tiga bagian distal dari lengan. Groin flap berpembuluh darah telah dipergunakan secara luas pada pembedahan rekonstruksi tangan. Flap ini dapat menutup defek sampai dua per tiga bagian distal dari lengan.Nekrosis sebagian dari flap merupakan komplikasi yang dapat terjadi namun kerusakan seluruh flap sangat jarang terjadi.
Â
Metastasis melanoma maligna okuli ke payudara: Laporan satu kasus
Herman Saputra, Ni Putu Sriwidyani, Ni Putu YuliawatiOnline First: Feb 4, 2020
- Abstract
Metastasis melanoma maligna okuli ke payudara: Laporan satu kasus
Metastatic tumor to the breast is rare and malignant melanoma is the most common primary tumor. Metastasis malignant melanoma may give similar tumor morphology and give difficulty to differentiate secondary or primary malignancy from clinical examination. A 38 year old female with breast tumor suspected phyllodes tumor. Biopsy from breast tumor, confirmed with S100, melan A and HMB 45 imunohistochemical staining, was diagnosed with malignant melanoma. Clinical reevaluation found ocular tumor suspected malignant melanoma, and final diagnosis was malignant melanoma with metastasis to the breast.
Â
Tumor metastatik pada payudara sangat jarang dan melanoma maligna merupakan tumor metastasis ke payudara yang tersering. Melanoma maligna yang metastasis pada payudara dapat menimbulkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dengan keganasan primer payudara. Seorang wanita usia 38 tahun dengan tumor payudara dengan kegurigaan suatu phyllodes tumor. Hasil biopsi tumor payudara dikonfirmasi dengan pemeriksaan imunohistokimia S100, melan A dan HMB 45, didiagnosis dengan melanoma maligna. Reevaluasi klinis menunjukkan tumor okuli curiga melanoma maligna, dan diagnosis final suatu melanoma maligna okuli dengan metastasis ke payudara.
Manajemen anestesi reseksi tumor otak pada kehamilan
Christopher Ryalino, Budi Hartono, Ida Bagus Krisna Jaya SutawanOnline First: Feb 5, 2020
- Abstract
Manajemen anestesi reseksi tumor otak pada kehamilan
Pregnancy may increase the growth of brain tumors. This occurs due to hormonal changes and increased circulation in pregnancy. The three most common types of brain tumors in pregnancy are meningioma, glioma, and pituitary adenoma. Brain tumors diagnosed during pregnancy are not routine problems in clinical settings. However, this situation presents its challenges, especially in the discipline of anesthesiology, to keep the patient and the fetus safe. Optimal anesthetic management requires a thorough understanding of maternal and fetal physiology, pharmacodynamic and pharmacokinetic changes of the drugs, and consideration of the risks and benefits of the intervention. The ultimate goal is to provide anesthesia that is safe for the mother and minimize the risk of preterm labor and fetal death. In this case report, we present anesthetic management of female patients with a 12-week pregnancy who underwent resection of a brain tumor, suspected glioma. Management of anesthesia was carried out with general anesthesia, orotracheal intubation, with invasive blood pressure monitoring through the arterial line. Postoperatively, patients can be extubated in the operating room, and fetal viability can be maintained.
Â
Kondisi kehamilan dapat memacu pertumbuhan tumor otak. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan hormonal dan peningkatan sirkulasi ibu hamil. Tiga jenis tumor otak yang paling sering dijumpai pada kehamilan adalah meningioma, glioma, dan adenoma pituitari. Tumor otak yang terdiagnosis selama kehamilan bukan hal yang rutin ditemui dalam klinis. Meskipun demikian, situasi ini memberikan tantangan tersendiri, khususnya dalam disiplin ilmu anestesi, karena harus memerhatikan keselamatan dua persona, yaitu pasien dan fetus. Manajemen anestesi yang optimal membutuhkan pemahaman menyeluruh terkait fisiologi ibu dan fetus, perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik obat, serta pertimbangan risiko dan keuntungan intervensi. Tujuan akhirnya adalah memberikan anestesi yang aman bagi ibu serta meminimalisasi risiko persalinan preterm dan kematian fetus. Pada laporan kasus ini disampaikan manajemen anestesi pasien perempuan dengan kehamilan 12 minggu yang menjalani reseksi tumor otak, dicurigai glioma. Tatalaksana anestesi dilakukan dengan teknik anestesi umum, intubasi orotrakheal, dengan monitoring tekanan darah invasif melalui jalur arterial. Pasca operasi, pasien dapat dilakukan ekstubasi secara dini dan viabilitas janin dapat dipertahankan.
Pasien obesitas berat yang menjalani operasi nefrolitotomi perkutaneus bilateral pada posisi pronasi: Sebuah laporan kasus
Christopher Ryalino, Rina Lizza RoostatiOnline First: Feb 5, 2020
- Abstract
Pasien obesitas berat yang menjalani operasi nefrolitotomi perkutaneus bilateral pada posisi pronasi: Sebuah laporan kasus
Obese patients have higher cardiopulmonary risk during surgery, especially in the prone position. Proper anesthetic management provides better cardiopulmonary compliance. A morbidly obese 47 years old man (body mass index of 46.1 kg/m2) presented with bilateral staghorn stones was scheduled for bilateral percutaneous nephrolithotomy surgery in the prone position. The patient was put into a prone position, taking care that paddings were placed on the face, chest, and hips, and also positioned to prevent abdominal compression. His vital signs were monitored, and arterial blood gas and urine output were regularly evaluated. Prone position decreased cardiac index, which reflected in decreased stroke volume. Metabolically active adipose tissue leads to increased oxygen consumption. Chest wall compliance reduces ±30% due to the massive mass of the chest wall, increased pulmonary blood volume, and splinted diaphragm. Functional residual capacity decreases more in prone position because of the work of gravity in mediastinal and abdominal contents and the shape of the chest wall. Paddings must be placed on the chest and hip in order to release abdominal pressure. Generally, the prone position is better for morbidly obese patients, as long as we secure the airway, maintain stable hemodynamic during surgery, and use proper padding to avoid abdominal compression. These steps result in a better impact on patient outcome.
Â
Pasien obesitas memiliki risiko kardiopulmoner lebih tinggi dibandingkan non-obesitas selama operasi. Risiko ini lebih tinggi bila pasien berada dalam posisi pronasi. Menariknya, manajemen anestesi yang tepat secara dramatis membuat pasien obesitas memiliki komplians kardiopulmoner lebih baik. Di sini kami menjelaskan manajemen anestesi yang telah berhasil menangani masalah ini. Seorang pria berusia 47 tahun, obesitas berat dengan IMT 46,1 kg/m2, datang dengan keluhan batu staghorn bilateral yang direncakan untuk operasi nephrolithotomy perkutan bilateral dalam posisi pronasi. Untuk mengamati hemodinamik selama operasi kami memasang dan arteri line. Setelah diintubasi, kami memasukkan kasa di sekitar tabung endotrakeal sebagai packing. Pasien lalu diposisikan pronasi; bantalan ditempatkan di dada dan abdomen bawah cukup jauh untuk mencegah kompresi abdomen. Semua titik-titik tekanan dialasi dengan gulungan kapas sebagai bantalan. Kepala ditempatkan pada bantalan kepala gel untuk menghindari kompresi mata. Tanda-tanda vital dipantau secara berkesinambungan selama operasi; analisa gas darah arteri, tekanan vena sentral, jumlah urine, dan glukosa darah diperiksa. Posisi pronasi menurunkan indeks jantung sebesar ± 24% yang mencerminkan penurunan stroke volume. Jaringan adiposa aktif secara metabolik menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Komplians dinding dada berkurang sebesar ± 30% karena bobot dinding dada yang berat, peningkatan volume darah paru dan terbatasnya gerakan diafragma. Menariknya, kapasitas residu fungsional pasien obesitas pada posisi terlentang lebih rendah dibandingkan pasien obesitas pada posisi pronasi. Hal ini disebabkan adanya gaya gravitas terhadap isi mediastinum dan abdomen, juga bentuk dinding dada. Inilah sebabnya mengapa pemasangan bantalan penting untuk posisi pronasi dengan tujuan menghindari kompresi abdomen. Secara umum, posisi pronasi lebih baik untuk pasien obesitas, selama kita dapat mengamankan jalan napas selama operasi, mempertahankan stabilitas hemodinamik selama operasi, dan memasang bantalan yang tepat untuk menghindari kompresi abdomen. Langkah-langkah ini dapat memberikan dampak yang besar untuk pasien.
Diagnosa defek kongenital dari ekstremitas atas menggunakan radiografi konventional: laporan kasus berseri radial club hand
Feni Wati Pujianto, Elysanti Dwi Martadiani, Pande Putu Yuli AnandasariOnline First: Feb 16, 2020
- Abstract
Diagnosa defek kongenital dari ekstremitas atas menggunakan radiografi konventional: laporan kasus berseri radial club hand
Radial club hand (RCH), known as congenital longitudinal radial deficiency, is a rare congenital anomaly with one every 30000 to 100000 live births ratio. Clinically deformity is usually first noticed at birth and can be diagnosed upon physical examination and confirmed through conventional radiographs. We report five cases of RCH among 2 years in Sanglah Hospital, a 19 months old male with RCH type IV and a 4 months old male with RCH type III, and both of them have accompanied anorectal malformation congenital anomaly. One case of RCH type III associated with another bone defect in 3 years old male as well as 9 years old female with bilateral RCH type IV. And the last case is 2 months old male with RCH type IV which loss to follow up for further examination and evaluation of other congenital anomalies.
Â
Radial club hand (RCH) dikenal juga sebagai congenital longitudinal radial deficiency, merupakan kelainan kongenital yang jarang ditemui, dengan angka kejadian sekitar 1:30.000 hingga 1:100.000 kelahiran hidup. Deformitas lengan bawah biasanya dapat terlihat sejak lahir, namun untuk menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemeriksaan fisik serta radiografi konvensional. Kami melaporkan 5 kasus RCH yang ditemukan dalam kurun waktu 2 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Kasus pertama dan kedua terdiri dari anak lelaki, masing-masing berusia 19 bulan dengan RCH tipe IV dan berusia 4 bulan dengan RCH tipe III, yang keduanya disertai kelainan malformasi anorectal. Kasus ketiga dan keempat adalah anak lelaki usia 3 tahun dengan RCH tipe III dan anak perempuan usia 9 tahun dengan RCH tipe IV bilateral, keduanya disertai kelainan tulang lainnya. Kasus terakhir adalah bayi lelaki berusia 2 bulan dengan RCH tipe IV, yang tidak datang kembali untuk mendapat evaluasi lebih lanjut perihal kelainan bawaan lainnya.