Vol. 51 No. 3 (2020)
Variasi morfologi koloni burkholderia pseudomallei pada media ashdown
Santoso PNC, Budayanti NNS, Pinatih KJPOnline First: Sep 18, 2020
- Abstract
Variasi morfologi koloni burkholderia pseudomallei pada media ashdown
Burkholderia pseudomallei is the causative agents of melioidosis. It is classified as “Category B†agent by the CDC due to the high fatality and it’s ability to mimics the symptoms of other diseases. This bacteria can survive and adapt in harsh environment and are resistent to various types of antibiotics. One of the adaptation that this bacteria have is the various types of colony morphologies and their ability to switch between types both in vitro and in vivo. One isolate of gram negative oxidase positive bacteria from Sanglah Hospital in Bali has been found to produce three types of colony morphology in McConkey media. It was confirmed by using PCR, Culture, and Gram Stain that those three different types of colonies were different types of colony morphologies that can be seen in Burkholderia pseudomallei. By using PCR, those three different types of colonies were identified as Burkholderia pseudomallei. Switching of colony morphology were also observed during subculturing from McConkey to Ashdown. From three different morphology in McConkey, only two different types of morphology found in Ashdown (mucoid and non-mucoid). Gram staining of those two types of colonies produce different bacterial morphology. Gram stain of mucoid colonies can be observed as regular gram negative rod bacteria while gram stain of non-mucoid colonies produce “bipolar staining†that are typical of Burkholderia pseudomallei. This showed that B. pseudomallei can exhibit different colony morphotypes and can undergo colony morphology switching in vivo.
Burkholderia pseudomallei merupakan bakteri yang menjadi penyebab melioidosis. Oleh CDC, bakteri ini dimasukkan sebagai “Category B†agent karena memiliki tingkat fatalitas yang tinggi serta sering meniru gejala penyakit lainnya. Bakteri ini memiliki ketahanan hidup yang tinggi serta dapat beradaptasi dengan lingkungan yang sulit. Salah satu adaptasi oleh bakteri ini adalah dalam perbedaan tipe koloni serta perubahan antar satu tipe ke tipe lainnya yang terjadi baik in vivo maupun in vitro. Pada penelitian ini ditemukan satu isolat bakteri gram negatif oxidase positif dari RSUP Sanglah di Bali yang menghasilkan tiga morfologi koloni di McConkey (MC). Pada penelitian ini, ditemukan bahwa ketiga tipe koloni tersebut merupakan koloni B. pseudomallei dengan morfologi yang berbeda menggunakan metode PCR, Kultur, dan Gram Staining. Ketiga koloni tersebut dipastikan sebagai B. pseudomallei saat dikonfirmasi menggunakan metode PCR. Selain itu, terlihat adanya perubahan morfologi koloni dari 3 tipe morfologi di McConkey menjadi 2 morfologi saat ditanam di media Ashdown (ASA). Kedua koloni di ASA tersebut memiliki morfologi non-mucoid dan mucoid. Pada pewarnaan Gram, Burkholderia pseudomallei dapat memberikan hasil pengecatan gram yang terlihat berbeda. Dibawah mikroskop, koloni dengan morfologi mucoid terlihat seperti bakteri batang gram negatif biasa sedangkan koloni dengan morfologi non-mucoid akan memperlihatkan “Bipolar Staining†yang khas dengan gambaran Burkholderia pseudomallei. Hal ini mengkonfirmasi bahwa B. pseudomallei dapat memiliki tipe morfologi koloni yang berbeda serta dapat merubah tipe morfologinya in vivo.
Varikokelektomi untuk memperbaiki parameter sperma pada pasien infertil dengan varikokel
Prisca Oriana Sutanto, Gede Wirya Kusuma Duarsa, Tjokorda Gde Bagus MahadewaOnline First: Sep 15, 2020
- Abstract
Varikokelektomi untuk memperbaiki parameter sperma pada pasien infertil dengan varikokel
Background. Varicocele is one of the causes of male infertility that can be corrected surgically. Varicocellectomy can be considered in adult men with clinical varicoceles with abnormal sperm analysis, infertile ≥ 2 years, and in unexplained infertility, to improve sperm parameters and male fertility potential. This study aims to determine the rate of improvement in the quality of post-varicocellectomy sperm parameters in infertile patients with varicoceles.
Method. This was a prospective cohort observational analytic study. Samples were taken from the medical records of patients who underwent varicocelectomy surgery from January 2016 to February 2019. The study involved 100 research subjects, namely grade 2-3 varicocele patients and surgery performed by the same operator. The difference evaluated in the form of postoperative sperm parameters in the form of sperm concentration, sperm motility, and normal sperm morphology.
Results. In this study, there were significant differences between pre and post varicocellectomy sperm parameters, both sperm concentration, sperm motility, and normal sperm morphology, with p <0.001. The overall success rate, out of 100 subjects, found an increase in sperm concentration in 85 patients (85%), an increase in sperm motility in 73 patients (73%), and an increase in normal sperm morphology in 65 patients (65%)
Conclusion. Varicocellectomy can significantly improve sperm parameters in infertile patients with varicoceles, both sperm concentration, sperm motility, and normal sperm morphology.
Â
Latar belakang. Varikokel merupakan salah satu penyebab infertilitas pada pria yang dapat dikoreksi dengan pembedahan. Varikokelektomi dapat dipertimbangkan pada pria dewasa dengan varikokel klinis dengan analisis sperma abnormal, infertile ≥ 2 tahun, dan pada infertil yang tidak bisa dijelaskan, untuk meningkatkan parameter sperma dan potensi fertilitas pria. Studi ini bertujuan untuk mengetahui angka perbaikan kualitas parameter sperma paska varikokelektomi pada pasien infertil dengan varikokel.
Metode. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian observasional analitik kohort prospektif. Sampel diambil dari rekam medis pasien yang menjalani operasi varikokelektomi dari Januari 2016-Februari 2019. Penelitian ini melibatkan 100 pasien varikokel grade 2-3 dan operasi dikerjakan oleh operator yang sama. Perbedaan yang dievaluasi berupa parameter sperma pasca operasi berupa konsentrasi sperma, motilitas sperma, morfologi sperma normal.
Hasil. Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan yang bermakna, antara parameter sperma pre dan pasca varikokelektomi, baik pada konsentrasi sperma, motilitas sperma, maupun morfologi sperma normal, dengan p <0,001. Tingkat kesuksesan secara keseluruhan, dari 100 subyek, didapatkan peningkatan konsentrasi sperma pada 85 pasien (85%), peningkatan motilitas sperma pada 73 pasien (73%), dan peningkatan morfologi normal sperma pada 65 pasien (65%)
Kesimpulan. Varikokelektomi dapat memperbaiki parameter sperma secara signifikan pada pasien infertil dengan varikokel, baik konsentrasi sperma, motilitas sperma, maupun morfologi sperma normal.
Â
Â
Â
Perbedaan derajat disfungsi ereksi pada pasien penyakit ginjal kronik derajat 5 sebelum dan setelah menjalani continuous ambulatory peritoneal dialysis
Gede Kesuma Winarta, Gede Wirya Kusuma Duarsa, Yenny KandariniOnline First: Sep 18, 2020
- Abstract
Perbedaan derajat disfungsi ereksi pada pasien penyakit ginjal kronik derajat 5 sebelum dan setelah menjalani continuous ambulatory peritoneal dialysis
Introduction: Erectile dysfunction (ED) is often found in patients with chronic kidney disease stage 5 (CKD stage 5). Erectile dysfunction is one of the sexual dysfunctions that affect physical and psychosocial health is still considered taboo and has not received attention, especially in patients with CKD stage 5 who undergo dialysis therapy with continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD). In Indonesia only 2% of patients with CKD stage 5 underwent peritoneal dialysis with CAPD. This study aimed to determine the comparison of ED degree in CKD stage 5 patients before and after undergoing CAPD.
Method: This study design is pre and post-test design studies. Involved 22 study subjects male with CKD stage 5 with a minimum age of 18 years and a maximum of 70 years, already married and had undergone a CAPD of at least 3 months. The ED degree was assessed by the International Index of Erectile Function (IIEF5) questionnaire after being diagnosed with CKD stage 5 but had not received CAPD dialysis therapy and after undergoing CAPD at least 3 months.
Result: It was found in the group before CAPD that most of the patients with severe of ED degree were 11 subjects (50%) and after CAPD were mostly with mild to moderate of ED degrees 13 subjects (59,1%).
Conclusion: Significant of ED degree difference and increase in IIEF5 score in patients after undergoing CAPD with p <0.001. On this study is there are differences of ED degree and an increase in IIEF scores in CKD stage 5 patients undergoing CAPD. Erectile dysfunction and quality of life need to get attention and treatment for patients with CKD stage 5.
Pendahuluan: Disfungsi ereksi (DE) sering ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik derajat 5 (PGK5). Disfungsi ereksi yang merupakan salah satu disfungsi seksual yang berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan psikososial masih dianggap tabu dan belum mendapat perhatian, khususnya pada pasien PGK5 yang menjalani terapi dialisis dengan continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD). Di Indonesia hanya 2% total pasien dengan PGK5 menjalani peritoneal dialisis dengan CAPD.
Bahan dan Metode: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan derajat DE pada pasien PGK5 sebelum dan setelah menjalani CAPD.Penelitian ini menggunakan studi pre dan post-tes desain. Penelitian ini melibatkan 22 subjek penelitian laki-laki PGK5 dengan umur minimal 18 tahun dan maksimal 70 tahun, sudah menikah dan telah menjalani CAPD minimal 3 bulan. Derajat DE dinilai dengan kuisioner International Index of Erectile Function (IIEF5) setelah terdiagnosis PGK5 namun belum mendapat terapi dialisis CAPD dan sesudah menjalani CAPD minimal 3 bulan.
Hasil: Didapatkan pada kelompok sebelum CAPD sebagian besar dengan derajat DE berat sebesar 11 pasien (50%) dan setelah CAPD sebagian besar dengan derajat ringan-sedang 13 pasien (59,1%).
Kesimpulan: Perbedaan derajat DE yang signifikan dan peningkatan skor IIEF5 pada pasien setelah menjalani CAPD dengan p<0,001. Terdapat perbedaan derajat DE dan peningkatan skor IIEF pada pasien PGK5 yang menjalani CAPD. Disfungsi ereksi dan kualitas hidup perlu mendapatkan perhatian dan penanganan terapi pada pasien dengan PGK5.
Hubungan waktu pemberian antibiotik profilaksis sebelum inflasi turniket pada operasi orthopaedi dengan kadar antibiotik dalam hapusan luka operasi dan resistensi bakteri terhadap cefazolin
Hafidz Addatuang Ambong, I Ketut Siki Kawiyana, Ketut Gede Mulyadi RidiaOnline First: Sep 18, 2020
- Abstract
Hubungan waktu pemberian antibiotik profilaksis sebelum inflasi turniket pada operasi orthopaedi dengan kadar antibiotik dalam hapusan luka operasi dan resistensi bakteri terhadap cefazolin
Background: Tourniquet is one of the modality commonly used in orthopaedic surgeries. The purpose of this research is to determine the optimal timing for prophylaxis antibiotic administration on surgery using tourniquet to produce maximum antibiotic concentration on the surgical site, and to determine antibiotic sensitivity of the bacteria cultured form the surgical site.
Methods: This research used analytic cross-sectional study design. A total of 24 samples are gathered using consecutive sampling method, who then are divided into three group. Inclusion criteria: orthopaedic surgery using tourniquet, and the use of cefazolin as prophylaxis antibiotic. Exclusion criteria: history of infection by cefazolin-resistant bacteria, history of chronic osteomyelitis on surgical site, and allergy to cefazolin.
Results: From the three sample group, group that receive cefazolin 30-45 minutes before tourniquet inflation gives the highest antibiotic concentration on the surgical site compared to 45-60 minutes and >60 minutes group (p=0.000). While on the antibiotic sensitivity test, no bacteria was grown on the surgical site swab sample, so the test cannot proceed.
Conclusion: The optimal timeframe for prophylaxis antibiotic administration is 30-45 minutes prior to tourniquet inflation. Surgical site bacterial growth can be prevented by antibiotic administration on the reccomended timeframe.
Â
Latar Belakang: Turniket merupakan salah satu modalitas yang sering digunakan dalam operasi orthopaedi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari waktu terbaik pemberian antibiotik profilaksis cefazolin sebelum inflasi turniket agar menghasilkan kadar antibiotik maksimal di luka operasi, dan melihat sensitivitas antibiotik bakteri apabila terdapat pertumbuhan bakteri pada swab luka operasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik. Subjek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok waktu pemberian antibiotik. Kriteria inklusi pasien: operasi orthopaedi menggunakan turniket. Kriteria eksklusi sampel: memiliki riwayat infeksi dengan bakteri yang resisten terhadap cefazolin, riwayat osteomielitis kronik di lokasi operasi, dan alergi terhadap cefazolin.
Hasil: Dari ketiga kelompok pasien, didapatkan kadar antibiotik tertinggi pada luka operasi pada kelompok pemberian antibiotik 30- 45 menit sebelum inflasi turniket dibandingkan dengan pemberian Hubungan waktu pemberian antibiotik profilaksis sebelum inflasi turniket operasi dan resistensi bakteri terhadap cefazolin. Medicina 51(3): 555-559. 45-60 menit dan > 60 menit sebelum inflasi dengan perbedaan yang signifikan (p<0.000). Sedangkan pada pemeriksaan biakan bakteri untuk tes sensitivitas antibiotik, tidak ditemukan pertumbuhan bakteri pada kedua belas sampel,
Simpulan: Waktu pemberian antibiotik profilaksis yang optimal pada pasien yang menjalani operasi orthopaedi menggunakan turniket adalah 30-45 menit sebelum inflasi turniket. Pertumbuhan bakteri di luka operasi dapat dicegah melalui pemberian antibiotik profilaksis pada rentang waktu 30-60 menit.
Kadar vitamin c yang rendah sebagai faktor resiko terjadinya ketuban pecah dini (kpd) pada kehamilan aterm
Pepita Ayu Suwantari, IN Hariyasa Sanjaya, D Wihandani, I Pinatih, T Suryadhi, W Megadhana, T SuwardewaOnline First: Sep 29, 2020
- Abstract
Kadar vitamin c yang rendah sebagai faktor resiko terjadinya ketuban pecah dini (kpd) pada kehamilan aterm
Abstrak
Pendahuluan: Ketuban pecah dini (KPD) salah satu penyebab meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan AKB (Angka Kematian Bayi) akibat komplikasi yang ditimbulkan. Faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab KPD antara lain infeksi, mekanis, dan nutrisi. Defisiensi mikronutrien yang mempengaruhi formasi kolagen ditemukan mengubah struktur kolagen dan ini berhubungan dengan peningkatan risiko KPD. Penemuan ini mengindikasikan adanya hubungan KPD dengan vitamin C. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kadar vitamin C antara kasus KPD dan tanpa KPD pada kehamilan aterm.
Bahan dan Metode: Rancangan penelitian ini merupakan studi observasional analitik kasus kontrol menggunakan 40 sampel darah ibu hamil aterm dengan KPD dan tanpa KPD masing-masing 20 sampel. Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah dan RS Jejaring pendidikan RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan kadar vitamin C dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia Pusat Jakarta melalui perantara Laboratorium Klinik Prodia Denpasar. Normalitas diuji dengan tes Shapiro-Wilk, dan homogenitas dengan Levene’s Test.
Hasil: Rerata umur pasien, umur kehamilan dan paritas pada kedua kelompok adalah tidak berbeda bermakna. Dengan menggunakan kadar vitamin C 7,7mg/dl sebagai cut off. Dengan uji chi square didapatkan bahwa kadar vitamin C rendah dapat meningkatkan risiko terjadinya KPD sebesar 9 kali (OR = 9,33, IK 95% = 2,18-39,96, p = 0,001) dibandingkan kadar vitamin C normal. Kadar vitamin C rendah dapat meningkatkan risiko terjadinya KPD 9 kali dibandingkan kadar vitamin C normal pada kehamilan aterm.
Kesimpulan: Kadar vitamin C rendah dapat meningkatkan risikoterjadinya KPD 9 kali dibandingkan kadar vitamin C normal padakehamilan aterm.
Â
Introduction: Premature rupture of membranes (PROM) is one cause of increasing number of Maternal Mortality Rate (MMR) and Infant Mortality Rate (IMR) due to the infection. Suspected factors as causes of PROM are infection, mechanic, and nutrition. Micronutrient deficiency that affect collagen formation was found change the collagen structure and it was related to the increasing risk of PROM. This finding indicated a relationship with vitamin C. The aim of this study is to evaluate the difference of vitamin C level between PROM and with PROM in aterm pregnancy.
Method: The research design was observational analytic case control study using 40 blood samples of aterm pregnant women with 20 blood samples of PROM and 20 blood samples without PROM. This research was done in Sanglah Hospital and satelite teaching hospital of Sanglah hospital. Assessment of vitamin C level was done at Prodia Clinic Laboratory, Central Jakarta, through Clinic Laboratory Denpasar as an intermediary. Normality was tested with Shapiro-Wilk test and homogenity was tested with Levene’s Test.
Result: The mean of patient’s age, weeks of pregnancy, and parity in both groups were not different significantly. We used vitamin C level 7,7mg/dl as baseline. Chi square test showed that lower rate of vitamin C could increase the risk of PROM 9 times (OR = 9.33, CI 95% 2.18 – 39.96, p = 0.001) compared with normal rate of vitamin C. Conclusion the lower rate of vitamin C could increase the risk 9 times compared with normal rate of vitamin C in aterm pregnancy.
Conclusion: Conclusion the lower rate of vitamin C could increase the risk 9 times compared with normal rate of vitamin C in aterm pregnancy.
Antropometri Daun Telinga Siswa Kelas 1 Sekolah Dasar Negeri 1 Ubung Denpasar Tahun 2018
Dewa Made Sudiatmika, Agus Rudi AsthutaOnline First: Sep 29, 2020
- Abstract
Antropometri Daun Telinga Siswa Kelas 1 Sekolah Dasar Negeri 1 Ubung Denpasar Tahun 2018
Introduction: The ear is one of the important organ on face, both in terms of function or aesthetic. To gain maximum reconstruction results, knowledge about the dimensions and position of the ears is needed.
Method: This research was a cross sectional descriptive study to obtain ear anthropometric data of grade 1 students of SDN 1 Ubung in 2018 through a direct measurements based on earlobe landmarks.
Result: The study involved 86 students aged 6-7 years, 33 (38.4%) male and 53 (61.6%) female. The results of measurements of eight parameters of the earlobe in the group of male students were: earlobe length 55.5 mm, earlobe width 31.9 mm, lobule length 14.3 mm, lobule width 17.8 mm, concha length 23 .0 mm, concha width 17.0 mm, ears protrusion as high as superaurale 18.0 m and ears protrusion as high as tragus 21.6 mm. The results of female group were: earlobe length 54.6 mm, earlobe width 30.2 mm, lobule length 14.4 mm, lobule width 16.8 mm, concha length 22.7 mm , concha width 17.3 mm, ears protrusion as high as superaurale 15.9 mm and ears protrusion as high as tragus 19.4 mm. The ear subunit ratio in the male students group were: ear length to ear width 1.7, ear length to lobule length 3.9, ear width to lobule width 1.8 and concha length to concha width 1.4. The ear subunit ratio of female students groups were: earlobe length to earlobe width 1.8, earlobe length to lobule length 3.8, ear width to lobule width 1.8 and concha length to concha width 1.3.
Conclusion: The results of the study can be used as a reference for ear reconstruction.
Pendahuluan: Telinga merupakan salah satu organ penting pada wajah, baik dari segi fungsi ataupun estetika. Untuk mendapatkan hasil rekonstruksi maksimal, diperlukan pengetahuan tentang dimensi serta posisi telinga.
Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif potong lintang untuk mendapatkan data antropometri daun telinga siswa kelas 1 Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Ubung pada tahun 2018 melalui pengukuran langsung berdasarkan landmark-landmark daun telinga.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 86 siswa usia 6-7 tahun, 33 (38,4%) laki-laki dan 53 (61,6%) perempuan. Karakteristik hasil pengukuran delapan parameter daun telinga pada kelompok siswa laki-laki didapatkan panjang daun telinga 55,5 mm, lebar telinga 31,9 mm, panjang lobul 14,3 mm, lebar lobul 17,8 mm, panjang konka 23,0 mm, lebar konka 17,0 mm, penonjolan telinga setinggi superaural 18,0 mm dan penonjolan telinga setinggi tragus 21,6 mm. Karakteristik hasil pengukuran delapan parameter dau telinga pada kelompok perempuan usia 6-7 tahun didapatkan panjang telinga 54,6 mm, lebar telinga 30,2 mm, panjang lobul 14,4 mm, lebar lobul 16,8 mm, panjang konka 22,7 mm, lebar konka 17,3 mm, penonjolan telinga setinggi superaural 15,9 mm dan penonjolan telinga setinggi tragus 19,4 mm. Karakteristik rasio ukuran subunit telinga pada kelompok anak laki-laki didapatkan rasio panjang telinga berbanding lebar telinga 1,7, panjang daun telinga berbanding panjang lobul 3,9, lebar telinga berbanding lebar lobul 1,8 dan panjang konka berbanding lebar konka 1,4. Karakteristik rasio ukuran subunit telinga pada kelompok anak perempuan didapatkan rasio panjang telinga berbanding lebar telinga 1,8, panjang daun telinga berbanding panjang lobul 3,8, lebar telinga berbanding lebar lobul 1,8 dan panjang konka berbanding lebar konka 1,3.
Kesimpulan: Hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan tindakan rekonstruksi daun telinga.
Ekspresi matriks metaloproteinase-2 (MMP-2) yang tinggi pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III-IV
Ketut Yoga Mira Pratiwi, I Gede Mega Putra, Ketut Suwiyoga, Made Darmayasa, I Nyoman Bayu Mahendra, I Gede Ngurah Harry Wijaya Surya, Tjokorda Gde Agung Suwardewa, I Wayan MegadhanaOnline First: Sep 29, 2020
- Abstract
Ekspresi matriks metaloproteinase-2 (MMP-2) yang tinggi pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III-IV
Background: Uterine prolapse is the descent of the uterus into the vaginal canal or beyond vaginal introitus as a result of the failure of the pelvic floor supporting ligament. Uterine prolapse has multifactorial risk factors, but in every case of uterine prolapse, pelvic floor supporting tissue weakness, including the sacrouterine ligament, is always found. The strength of the sacrouterine ligament is determined by fibroblasts and extracellular matrix. The strength of the extracellular matrix itself is influenced by regulators such as TGF-β, TSP-1 and matrix metalloproteases (MMPs). Various MMPs play a role in the degradation of extracellular matrix where MMP-2 is one of them. The purpose of this study was to prove that the high expression of MMP-2 on sacrouterine ligament as a risk factor for stage III-IV uterine prolapse.
Method: This research is an observational study with case control method. There were 22 cases of stage III-IV uterine prolapse as a case group and 22 non-prolapse cases as a control group. This research was conducted at Sanglah General Hospital and the Pathobiology Laboratory of the Faculty of Veterinary Medicine, Udayana University. Samples were taken from the sacrouterine ligament of stage III-IV uterine prolapsed patients and non-prolapse uterus who had undergone total hysterectomy. Matrix Metaloproteinase-2 expression was assessed by immunohistochemical staining methods.
Result: High expression of MMP-2 on sacrouterine ligament was a risk factor for stage III-IV uterine prolapse as much as 6.5 times (OR =6,5; CI 95% =1,64-25,76; p =0,005).
Conclusion: The conclusion of this study was high expression of MMP-2 on sacrouterine ligament was a risk factor for stage III-IV uterine prolapse.
Pendahuluan: Prolaps uterus adalah turunnya uterus ke dalam liang vagina atau keluar liang vagina sebagai akibat gagalnya ligmentum penyokong dasar panggul. Prolaps uterus memiliki faktor risiko yang bersifat multifaktorial, namun pada setiap kasus prolaps uterus, selalu ditemukan kelemahan pada jaringan penyangga dasar panggul, termasuk ligamentum sakrouterina. Kekuatan ligamentum sakrouterina ditentukan oleh fibroblast dan matriks ekstraselular. Kekuatan matriks ekstraselular sendiri dipengaruhi oleh regulator-regulator seperti TGF-β, TSP-1 dan matriks metaloprotease (MMPs). Beragam MMP yang berperan dalam degradasi matriks ekstraselular dimana MMP-2 salah satu diantaranya. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan ekspresi MMP-2 yang tinggi pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III-IV.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode kasus kontrol. Terdapat 22 kasus prolaps uterus derajat III-IV sebagai kelompok kasus dan 22 kasus non prolaps sebagai kelompok kontrol. Penelitian ini dikerjakan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dan Laboratorium Patobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Sampel diambil dari ligamentum sakrouterina pasien prolaps uterus derajat III-IV dan non-prolaps uterus yang telah dilakukan histerektomi total. Ekspresi matriks metaloproteinase-2 dinilai dengan metode pengecatan immunohistokimia.
Hasil: Ekspresi MMP-2 yang tinggi pada ligamentum sakrouterina merupakan faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III - IV sebesar 6.5 kali (OR =6,5; IK 95% =1,64-25,76; p =0,005).
Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah ekspresi MMP-2 yang tinggi pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III-IV.
Perbedaan kadar c-reactive protein (crp) dan jumlah leukosit serum ibu antara kehamilan aterm normal dengan ketuban pecah dini aterm di RSUP Sanglah Denpasar
Natanael Kurniawan Susanto, IGP Surya, I Nyoman Hariyasa Sanjaya, Made Suyasa Jaya, I Wayan Megadhana, IBG Fajar ManuabaOnline First: Sep 30, 2020
- Abstract
Perbedaan kadar c-reactive protein (crp) dan jumlah leukosit serum ibu antara kehamilan aterm normal dengan ketuban pecah dini aterm di RSUP Sanglah Denpasar
Premature rupture of membranes (PROM) is one of obstetric problem worldwide. It is high in prevalence, perinatal and maternal morbidity and mortality. Infection is one of the risk factors for PROM. The occurrence of infection can be detected using serum CRP level and leukocyte count examination. The study was cross-sectional design. Samples was divided into 2 groups, the term PROM group (36 people) and the normal term pregnancy group (36 people). The research sample is maternal peripheral blood taken by consecutive sampling. The blood was taken from cubital vein as much as 5 ml, then 3 ml for CRP serum level test and 2 ml for leukocyte count test. Then the samples were sent to the Emergency Department Laboratory at Sanglah General Hospital Denpasar. From a total of 72 samples obtained that age, parity and ANC were not significantly different in two groups (p> 0.05). CRP serum level and leukocyte count in term PROM pregnancies were significantly higher than CRP serum level and leukocyte count in normal term pregnancies (p <0.05). This study concludes that there are differences in CRP serum level between normal term pregnancies and term PROM pregnancies. There are differences in the serum leukocyte count between normal term pregnancies and term PROM.
Â
Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang menjadi masalah di bidang obstetri di seluruh dunia termasuk di Indonesia, terkait dengan prevalensi, morbiditas dan mortalitas perinatal maupun maternal. Salah satu faktor risiko KPD adalah infeksi. Untuk mendeteksi adanya infeksi diperlukan pemeriksaan serum CRP dan jumlah leukosit. Rancangan penelitian ini adalah cross-sectional study. Sampel dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kehamilan KPD aterm (36 orang) dan kehamilan normal aterm (36 orang). Sampel penelitian berupa pengambilan sampel darah yang diambil dengan cara consecutive sampling. Dilakukan pengambilan darah vena cubiti sebanyak 5 ml, selanjutnya 3 ml untuk pemeriksaan serum CRP dan 2 ml untuk pemeriksaan leukosit. Sampel selanjutnya dikirim ke Laboratorium IGD RSUP Sanglah Denpasar. Pada penelitian ini didapatkan total 72 sampel. Karakteristik umur, paritas dan ANC tidak terdapat perbedaan bermakna pada dua kelompok (p>0,05). CRP dan jumlah leukosit serum pada kehamilan KPD aterm lebih tinggi secara bermakna dibanding CRP dan jumlah leukosit pada kehamilan normal aterm (p<0,05). Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan kadar CRP antara kehamilan aterm normal dengan kehamilan KPD aterm. Terdapat perbedaan jumlah leukosit serum antara kehamilan aterm normal dengan KPD aterm.
Vesicovaginal fistula pasca operasi: Laporan kasus dengan modalitas magnetic resonance imaging
Marsha Ruthy Darmawan, Nyoman Srie Laksminingsih, Kadek Budi SantosaOnline First: Sep 18, 2020
- Abstract
Vesicovaginal fistula pasca operasi: Laporan kasus dengan modalitas magnetic resonance imaging
Â
Vesicovaginal fistula (VVF) merupakan salah satu tipe fistula urogenital yang dapat terjadi sebagai komplikasi setelah operasi pengangkatan rahim akibat tumor ginekologi jinak maupun ganas. Seorang wanita berusia 46 tahun mengeluhkan inkontinensia urin setelah tindakan operasi salphingooverektomi bilateral untuk pengangkatan kanker serviks, kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi dan radioterapi pada tahun 2015. Pasien telah menjalani rekonstruksi fistula dengan flap otot gracilis namun gagal. Pemeriksaan MRI pelvis menunjukkan sebuah saluran pada buli posterolateral sisi kiri yang berhubungan dengan vagina, terlihat hypointense pada T1WI dan hyperintense pada T2WI. Temuan lain pada MRI yaitu sakulasi pada buli posterior kiri curiga suatu residual fistula rektovagina dan adanya penebalan pada dinding buli. Pasien menjalani perbaikan fistula transabdominal dan masih dalam perawatan klinisi. MRI pelvis konvensional dapat memberikan informasi penting untuk mendiagnosis VVF seperti lokasi, panjang dan diameter fistula; yang membantu dalam perencanaan tatalaksana operasi.
Vesicovaginal fistula (VVF) is a type of urogenital fistula which occurs as a complication after removal of the uterus surgically due to benign or malignant gynecological tumors. A 46 years old woman complaining of urine incontinentia after a bilateral salphingooverectomy to remove her cervix cancer and then followed by chemotherapy and radiotherapy in 2015. The patient had fistula reconstruction with gracilis muscle but failed. Pelvic MRI showed a tract in the posterolateral left of the bladder which connects to the vagina, seen as hypointense in T1WI and hyperintense in T2WI. Other findings include sacculation in the left posterior of the bladder which might indicate residual of a rectovaginal fistula and thickening of the bladder wall. The patient then had another transabdominal fistula repair and still in clinician’s care. Conventional pelvic MRI can give important information to diagnose the location, length, diameter of the fistula, which can help tremendously in surgical planning.
Serial kasus: Giant cell tumor di lokasi yang jarang
I Gusti Ayu Trisnawati, Elysanti Dwi MartadianiOnline First: Sep 18, 2020
- Abstract
Serial kasus: Giant cell tumor di lokasi yang jarang
Giant cell tumor (GCT) merupakan tumor tulang yang umum ditemukan pada orang dewasa berumur 20-50 tahun dengan lokasi tersering yaitu epifisis tulang panjang. Adapun predileksi lainnya yang jarang ditemukan seperti pada pelvis dan manus dengan insidensi 1,5-6,1 % di pelvis dan hanya 1-4% pada manus. Tiga orang wanita berusia 15 tahun, 34 tahun dan 26 tahun mengeluhkan muncul benjolan yang nyeri pada pelvis, jari tengah tangan kiri dan pergelangan tangan kiri. Pada pemeriksaan radiologi konvensional secara umum ditemukan lesi litik ekspansil bersepta dengan penipisan korteks pada regio tersebut dan dicurigai GCT. Biopsi telah mengkonfirmasi lesi-lesi tersebut adalah GCT. Adanya GCT pada lokasi yang jarang dilaporkan mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Foto polos merupakan modalitas yang murah dan mudah dilakukan untuk mendapatkan gambaran khas GCT, namun CT dan MRI dapat dilakukan tidak hanya untuk konfirmasi diagnosis namun untuk melihat perluasan tumor dan apakah adanya tanda-tanda malignansi.
Â
Giant cell tumor (GCT) is a bone tumor generally found in young adults age 20-50 years-old where the frequent location for this tumor is epiphysis of the long bone. Other rare predilections for this tumor are pelvic also hands with an incidence in the pelvic bone are 1.5-6.1% and 1-4% in the hands. Three women at the age of 15, 34, and 26 years- old are complaining of painful lumps in her pelvic bone, 3rd finger of the left hand, and the left wrist. Radiology conventional examination shows a lytic expansile septated lesion with cortex thinning in those regions and suspected of having GCT. Biopsies of the lumps were taken and confirmed that the lesions were GCT. GCT found in rare places is reported to have a higher recurrence rate. Conventional radiographs are a quick and easy examination for diagnosis GCT, but CT scan and MRI can give more information about the lesions, their expansion, and if there are signs of malignancies
Variasi kondrosarkoma pada usia muda : Serial kasus
Nony Zulfariska, Elysanti Dwi Martadiani, I Gede Eka Wiratnaya, Hafidz Addatuang Ambong, I Wayan Juli SumadiOnline First: Sep 18, 2020
- Abstract
Variasi kondrosarkoma pada usia muda : Serial kasus
Kondrosarkoma adalah tumor ganas yang berasal dari tulang rawan. Bentuk yang biasanya terjadi pada usia dekade ke 4 dan ke 5. Kondrosarkoma yang menyerang usia muda memiliki kemiripan dalam hal pola distribusi pada tulang dan memiliki derajat secara histologi yang lebih tinggi. Kami melaporkan 3 kasus kondrosarkoma pada usia muda dibandingkan populasi secara umum dari kondrosarkoma. Pasien pertama usia 33 tahun, perempuan dengan keluhan massa yang nyeri di daerah lengan bawah kanan, pasien kedua 28 tahun, laki laki dengan keluhan benjolan pada panggul kiri, dan pasien ketiga usia 22 tahun perempuan hamil, dengan keluhan benjolan pada panggul kanan. Kondrosarkoma tidak biasanya terjadi pada usia muda. Semua pasien kami menunjukan lesi ekspansil yang berhubungan dengan destruksi dari kortikal, kalsifikasi matriks kondroid intratumor dan berbagai derajat keterlibatan jaringan lunak. Hasil biopsy menunjukkan kondrosarkoma grade I (derajat rendah) pada pasien pertama, grade II (derajat sedang) pada pasien kedua, dan grade III (derajat tinggi) pada pasien ketiga. Penatalaksanaan pada pasien pertama adalah amputasi transhumeral, sedangkan pasien kedua dan ketiga adalah eksisi luas. Tujuan laporan kasus ini adalah untuk memberikan gambaran bahwa kasus chondrosarcoma dapat terjadi pada usia muda.
Â
Chondrosarcoma is a cartilage forming malignant tumor. The typical presentation is in the 4th and 5th decades. Chondrosarcoma affecting younger individuals has dissimilarity in the skeletal distribution pattern and has higher histological grade.We report three chondrosarcomas cases presented in younger age than general population of chondrosarcomas. First patient is a 33-year-old female presented with a mass and pain on the right forearm, second patient is a 28-year-old male patient presented with a lump in the region of his left pelvic, and third patient is a 22-year female patient with pregnancy presented with a lump on her right inguinal area.Chondrosarcoma is not common in younger ages. All of our patients showed expansile lesion associated by cortical destruction, intratumoral chondroid matrix calcification and various degree of soft tissue involvement. Biopsy results revealed chondrosarcoma grade I (low grade) in first patient, grade II (intermediate grade) in second patient, grade III (high grade) in third patient. Transhumeral amputation was performed on first patient, wide excision for the second and hemipelvictomy on the last patient.
Serial kasus: review beberapa tipe dari cedera uretra pada pria dalam pemeriksaan uretrografi retrograde
Yan William Sulaiman, Nyoman Srie Laksminingsih, Elysanti Dwi MartadianiOnline First: Sep 18, 2020
- Abstract
Serial kasus: review beberapa tipe dari cedera uretra pada pria dalam pemeriksaan uretrografi retrograde
Cedera uretra merupakan kasus kegawatdaruratan di bidang urologi yang sering terjadi, dimana sebagian besar pada laki-laki karena bentuk anatomi. Cedera dapat terjadi pada uretra bagian anterior dan posterior. Juli 2017- Oktober 2018, di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, Bali, terdapat 26 kasus cedera uretra, dimana 20 kasus cedera uretra anterior, dan 6 kasus cedera uretra posterior, beberapa di antaranya disertai fraktur pelvis. Pemeriksaan uretrografi retrograde dapat menentukan adanya cedera uretra. Kami mengulas beberapa tipe cedera uretra yang melakukan pemeriksaan uretrografi retrograde dari 6 pasien di rumah sakit Sanglah dengan menggunakan klasifikasi Goldman untuk menentukan jenis cedera uretra. Pentingnya untuk mengetahui tipe cedera uretra untuk menentukan penatalaksanaan. Dengan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat, kemungkinan komplikasi dapat berkurang.
Urethral injury is a common urologic emergency case. Mostly occur in males due to the anatomical structure. Injury may affect the anterior or posterior part of the urethra. During July 2017- October 2018, in Sanglah Hospital, Denpasar, Bali, there have been 26 cases of uretral injury consist of 20 cases with anterior part and 6 cases with posterior part, some of them associated with pelvic fractures. Retrograde urethrography examination can determines the suspicion of urethral injury. We review 6 patients on retrograde urethrography with urethral injury in Sanglah hospital using Goldman Classification to determine the type of urethral injury. With proper diagnosis and treatment, the possibility of complications can be minimize.
Manajemen anestesi pada operasi bariatric pasien obesitas: Laporan kasus
Ida Bagus Gita Dharma Wibawa, Tjahya AryasaOnline First: Sep 19, 2020
- Abstract
Manajemen anestesi pada operasi bariatric pasien obesitas: Laporan kasus
Abstrak
Sekitar 13% populasi dunia dewasa mengalami tahun 2016 mengalami obesitas. Operasi bariatric dipertimbangkan sebagi terapi jangka panjang yang efektif pada pasien dengan BMI ≥ 40 atau ≥ 35 dengan komorbid sehingga pasien dapat secara signifikan dan konsisten menurunkan berat badan. Penurunan berat badan dengan operasi dapat dikatagorikan malabsorptif, restriktif, atau kombinasi keduanya. Jejuno-ileal bypass dan bilipankreatik bypass adalah metode malabsorpsi yang jarang digunakan saat ini. Prosedur laparoskopi saat ini lebih unggul. Dapat mendapatkan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan open bariatric surgery dengan pemulihan yang lebih cepat menurunkan resiko dari komplikasi pulmonal post operasi dan menurunkan nyeri pasca operasi. Laki-laki 47 tahun dengan BB 205 kg; TB 174 cm; BMI 67.71 kg/m2, obesitas dilakukan laparoscopy bariatric. Induksi pasien dilakukan anestesi umum dengan induksi menggunakan propofol TCI, fentanyl 200mcg, dengan pelumpuh otot vecuronium 10mg, video laringoskopi, dengan ETT cuff no. 8. Saat operasi ETCO2 mengalami kenaikan hingga 70mmHg karena pemberian CO2 memperberat asidosis respiratorik pada pasien. Komplikasi durante operasi sering terjadi dan harus segera ditangani sebelum memperburuk keadaan pasien. Posisi pasien secara reverse trendlenberg dan pemberian PEEP durante operasi dapat mengurangi peningkatan ETCO2 pada pasien.
Abstract
Obesity went up to 13% of adult world population in 2016. Bariatric operations used as considerations of long term treatment which is effective in patient with BMI ≥ 40 or ≥ 35 with comorbid so patient consistently and significant decreasing body weight. Decreasing body weight using operations categorized as mal-absorptive, restrictive, or both of it. Jejuno-ileal bypass and bilio-pancreatic bypass is used as malabsorption methods. Laparoscopy procedure is superior. Rather than open bariatric procedure laparoscopy had any advantages such as speedy recovery, which decrease risk and complications post operations and also decreasing post operative pain. Man 47y.o. with BW 205kg, BH 174 cm; BMI 67.71 kg/m2, obesity performed laparoscopy bariatric. Inductions using propofol TCI, fentanyl 200mcg with muscle relaxant using vecuronium 10mg, video laryngoscopy, with ETT cuff no.8. During the operation ETCO2 increased to 70mmHg due to CO2 inflation and respiratory acidosis get worse. Complications during the operations usually happens and need to be handled before patient conditions getting worse. Patient positions using reverse Trendelenburg and giving PEEP during the operations decreasing ETCO2 in patient.
Diseksi aorta akut non-traumatik sebagai tantangan diagnosis klinis dalam kedaruratan: kasus serial
Putu Aditha Satya Putra, M. Widhiasih, P. PatriawanOnline First: Sep 29, 2020
- Abstract
Diseksi aorta akut non-traumatik sebagai tantangan diagnosis klinis dalam kedaruratan: kasus serial
Aorta dissection is a complication of aortic aneurysm which is characterized as a separation of the walls of the blood-filled aorta. This condition is quite rare with an incidence rate of 2.6-3.5/100.000 patients per year, but highly fatal. The varied manifestations of this condition may cause a misdiagnosis due to the similar symptoms with other conditions. We reported 4 cases of aortic dissection for 2 years in Sanglah Hospital; a 42 years old male with a Stanford A aortic dissection and a grade 3-TAVB, a 63 years old male with aortic aneurysms with an abdominal aortic dissection and occlusion of left renal artery cause renal infarction and contracted, and two cases of a 72 and 82 years old males with an abdominal aortic dissection, one of which also has lung cancer which has metastasized to the liver. No specific symptoms of aortic dissection were present on these patients. Three of the patients died before surgical intervention. Accordance with our findings, aortic dissection is more likely in males and high mortality rate. Aortic dissection is often accompanied by other clinical conditions, thus masking its presence and causing the specific signs of aortic dissection to not appear which is clearly observed in our report. The specific symptoms were only present in 5-15% cases, leading to a misdiagnosis and delayed treatment. CT angiography, has a significant role in determining the diagnosis of aortic dissection.
Â
Â
Diseksi aorta merupakan komplikasi dari aneurisma aorta, yang ditandai oleh adanya pemisahan lapisan dinding aorta. Kondisi ini cukup langka dan dapat berakibat fatal, dengan angka kejadian 2,6-3,5/100.000 pasien per tahun. Manifestasi yang bervariasi dari diseksi aorta dapat menyebabkan kesalahan dalam menegakkan diagnosa, hal ini disebabkan karena gejala yang muncul dapat menyerupai penyakit lainnya. Kami melaporkan 4 kasus diseksi aorta, yang ditemukan dalam kurun waktu 2 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Dua kasus pertama adalah lelaki berusia 42 tahun dengan diseksi aorta Stanford A, grade 3-Total arterioventricular block (TAVB), dan lelaki berusia 63 tahun dengan aneurisma aorta yang disertai diseksi aorta abdominalis dan oklusi arteri renalis kiri. Dua kasus terakhir adalah lelaki usia 72 dan 82 tahun dengan diseksi aorta abdominalis, salah satunya menderita kanker paru-paru yang telah menyebar ke hati dan tidak menunjukkan gejala spesifik dari diseksi aorta. Tiga dari empat kasus meninggal sebelum dilakukan intervensi bedah. Pada kasus kami, diseksi aorta lebih banyak terjadi pada lelaki dengan tingkat kematian yang tinggi. Diseksi aorta seringkali disertai kondisi klinis lainnya, sehingga menutupi keberadaannya dan tidak memunculkan gejala spesifiknya. Gejala spesifik yang hanya muncul pada 5-15% kasus, dapat menyebabkan kesalahan diagnosis dan keterlambatan pengobatan. Masalah ini terpapar dalam laporan kasus kami. Computed tomography (CT) angiografi memiliki peran penting dalam menentukan diagnosis.
Evaluasi radiologi pada trauma tembus kompleks nasoorbitoethmoid
Putu Ayu Winda Wirastuti Giri, Dwija Putra AyustaOnline First: Sep 29, 2020
- Abstract
Evaluasi radiologi pada trauma tembus kompleks nasoorbitoethmoid
Nasoorbitoethmoid (NOE) complex defined as structure that surrounds important fine structure, the nasolakrimal drainage system and medial canthal ligament. It also contiguous with vital region including the orbit and the anterior cranial fossa so does the structure in it. Although the penetrating injuries of the NOE complex is rare, but it provides complicated treatment and sequels due to its location and the structure within it. We reported a case of penetrating injuries at the NOE complex in a 28 years old mal patient. The patient complains of pain in both eyes followed by a blurred vision on the left eye. Axial head CT scan showed smooth and firm edge corpus alienum with air density (-178 to -955 HU) got through the medial aspect of the left eye and emerge into left ethmoidale sinus, os vomer and the tip end at right ethmoidale sinus. The patient undergone surgical treatment to remove the corpus alienum and get good result after surgery.
Kompleks nasoorbithoethmoid (NOE) merupakan struktur yang melingkupi sekelompok struktur halus yang penting seperti sistem drainase nasolakrimal dan ligamen kantus medial. Struktur ini juga berhubungan dengan daerah penting lainnya termasuk orbita dan fossa kranial anterior serta struktur di dalamnya. Walaupun trauma tembus pada kompleks NOE jarang terjadi, tetapi penanganan dan gejala sisa yang ditimbulkan cukup kompleks akibat lokasi dan struktur yang terdapat di dalamnya. Kami melaporkan sebuah kasus trauma tembus kompleks NOE pada pasien lelaki berusia 28 tahun. Pasien mengeluh nyeri pada kedua bola mata yang diikuti dengan pandangan mata kiri yang semakin kabur. CT scan kepala potongan aksial menunjukkan benda asing berdensitas udara (-178 sampai dengan -955 HU) dengan tepi licin dan batas tegas yang memasuki aspek medial mata kiri dan menembus sinus ethmoidalis kiri, os nasal, dan berakhir di sinus ethmoidalis kanan. Pasien menjalani tindakan pembedahan untuk mengangkat benda asing tersebut dan mendapatkan hasil yang cukup baik setelah tindakan pembedahan.
Duodenal web dengan karakteristik gastric oulet obstruction pada temuan radiografi awal
Gede Ugu Marta, Pande Putu Yuli AnandasariOnline First: Sep 30, 2020
- Abstract
Duodenal web dengan karakteristik gastric oulet obstruction pada temuan radiografi awal
Duodenal Web merupakan salah satu penyebab utama obstruksi duodenum, terhitung 1:10.000- 1:40.000 kelahiran.1 Kami membawakan kasus, perempuan usia 1 bulan dengan temuan pencitraan duodenal web yang tampak sebagai Gastric outet obstruction. Gambaran single buble terlihat pada radiografi awal, ultrasonografi tidak menunjukkan tanda-tanda hypertropic pyloric stenosis (HPS). Upper GI studies menunjukkan obstruksi parsial pada duodenum part II. Duodenal web dengan central hole, dikonfirmasi melalui operasi. Variasi temuan pencitraan duodenal web tergantung pada derajat dan lokasi obstruksi.2,3 Gambaran double-bubble merupakan temuan radiografi klasik. Pada kasus kami, temuan awal berupa single bubble menyerupai gambaran pada HPS. Pada Upper GI studies, bulbus duodenum tampak prominen, tanpa adanya windsock sign yang jelas, dengan udara di bagian distal, menunjukkan obstruksi parsial. Disimpulkan adanya obstruksi parsial bagian distal dari bulbus duodenum. Pencitraan serial diperlukan untuk membuat kesimpulan yang lebih baik. Distensi gaster mungkin merupakan temuan radiografi awal pada duodenal wed, dimana Windsock sign tidak selalu ditemukan.
Â
fek macklin pada kasus trauma- pneumomediastinum dan emfisema interstitial
Ni Putu Popy Theresia Puspita, D G MahiswaraOnline First: Sep 30, 2020
- Abstract
fek macklin pada kasus trauma- pneumomediastinum dan emfisema interstitial
The Macklin effect is developed by alveolar ruptures, air dissection along bronchovascular sheaths, and spreading of this pulmonary interstitial emphysema into the mediastinum. Radiology examination has an important rule to reveal a Macklin effect cases. We present a 62-years-old male with alleged history of falling from a tree as high as 10 meters presented with chest pain and breathlessness for 6 hours before admission in the emergency department (ER) of Sanglah Hospital. Examination of his chest showed a subcutaneous emphysema with normal breath sound. The supine chest radiograph obtained at admission was considered a pneumomediastinum, large subcutaneous emphysema of the coli region to bilateral hemithorax and right pulmonary contusion. Urgent CT scan thorax revealed pneumomediastinum, bilateral pleural effusion, contusion pulmonum right paracardial, fracture of the 9th and 10th spinous procesus thoracal vertebral corpus, subcutaneous emphysema hemithorax region to bilateral coli.Â
Â
Efek Macklin terjadi akibat ruptur alveolar, diseksi udara sepanjang selubung bronkovaskular, dan emfisema interstitial paru hingga mediastinum. Pemeriksaan radiologi memiliki peran penting dalam menegakkan kasus efek Macklin. Kami membawakan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia 62 tahun dengan riwayat jatuh dari pohon setinggi 10 meter dengan keluhan nyeri dada dan sesak napas selama 6 jam sebelum masuk di unit gawat darurat (UGD) Rumah Sakit Sanglah. Pada pemeriksaan fisik dada menunjukkan emfisema subkutan dengan suara napas normal. Radiografi toraks menunjukkan pneumomediastinum, emfisema subkutis luas pada daerah coli hingga hemitoraks bilateral dan kontusio paru kanan. CT scan menunjukkan adanya pneumomediastinum, efusi pleura bilateral, kontusio paru paracardial kanan, fraktur procesus spinosus korpus torakalis 9 dan 10, emfisema subkutan regio hemitoraks hingga coli bilateral.
First Online Postgraduate Medical Education National Colloquium
Panitia postgradmededu2020Online First: Oct 4, 2020
- Abstract
First Online Postgraduate Medical Education National Colloquium
Dampak pandemi pada proses pendidikan tenaga kesehatan selain meningkatkan beban sehari-hari, juga memberi perlambatan laju dalam jangka panjang. Syarat kelulusan seperti presentasi nasional sulit didapatkan sehingga memberi risiko pada tujuan dan misi pendidikan. Kami menyelenggarakan kongres ilmiah dengan tema Safe and Sound Completion of Post GraduateMedical Education in the Pandemic Era, yang menghadirkan pembicara internasional dan nasional serta menyediakan fasilitas presentasi nasional dalam sesi makalah bebas. Beberapa presentasi juga dapat diakses pasca kegiatan. Kami dengan tulus melaksanakan kongres iniuntuk berbagi beban dengan peserta didik post-graduate, pengelola serta pendidik di semua bidang kedokteran dan kesehatan. Topik leadership, pendidikan, riset dan praktek klinis semoga merupakan hal yang “menyenangkan dan perlu†serta disambut baik oleh semua pihak. Untuk ini saya menyampaikan terimakasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia, serta semua pembicara yang luar biasa yang telah berkenan mendukung dalam waktu pendek ini. Waktu persiapan yang pendek mungkin menyebabkan ada hal yang kurang memadai, untuk itu kami mohon maaf dan terima kasih atas pengertiannya. Kami ucapkan selamat datang dan selamat bergabung secara virtual pada tanggal 3-4 Oktober 2020. Kiranya kebaikan dan kebahagiaan datang dari segalaarah untuk kita semua.