Vol. 52 No. 1 (2021)
Kadar hemoglobin, konfigurasi fraktur, dan kerusakan jaringan sebagai faktor risiko terjadinya infeksi luka operasi pasca open reduction internal fixation fraktur tertutup tulang panjang ekstremitas bawah
I Gusti Bagus Indra Angganugraha Putra Juniantara, I Ketut Siki Kawiyana, Ketut Gede Mulyadi Ridia, Putu Astawa, I Ketut Suyasa, I Wayan Suryanto Dusak, I Gede Eka WiratnayaOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
Kadar hemoglobin, konfigurasi fraktur, dan kerusakan jaringan sebagai faktor risiko terjadinya infeksi luka operasi pasca open reduction internal fixation fraktur tertutup tulang panjang ekstremitas bawah
Background: The occurrence of fractures is often found in clinical practice in hospitals. Patients who come to the hospital emergency department with a mechanism of traffic accidents or other accidents. Operations in orthopedic cases, especially in lower limb fractures which are done by internal fixation have a risk of surgical wound infection can even occur in closed fracture cases. The importance of early detection of the possibility of infection so prevention can be done either by wound care or antibiotic administration. Hemoglobin levels, fracture configuration, and tissue damage are thought to be the most important risk factors for the incidence of infection in lower extremity closed fractures.
Methods. The study used an observational analytic design with a Case Control approach to determine whether Hb levels, fracture configuration, tissue damage as risk factors for surgical wound infection with marked increase in procalcitonin in patients with long extremity closed bone fractures after an open reduction internal fixation
Results. From the study, there were significant incidences of surgical wound infections in patients who had postoperative Hb levels <11g / dl, fractures with complex configurations, and the presence of Tscherne soft tissue injuries 1,2,3 in patients with post-extremity long-closed bone fractures. open reduction internal fixation is done. Where the greatest strength of relationship to the incidence of infection is fracture configuration (OR = 0.222), while the smallest relationship strength is soft tissue injury (OR = 0.134).
Discussion: A number of studies have been carried out to look for risk factors for the incidence of infection in patients with fractures after surgery with internal fixation so as to minimize the incidence of infection. From these studies, several researchers found that the incidence of post-internal fixation infection was caused by a variety of main factors, namely pre and postoperative hemoglobin levels, the degree of tissue damage, and fracture configuration, but further research had to be done using a larger sample and with better research methods.
Conclusion. Hb level <11, complex fracture configuration, Tscherne soft tissue injury 1,2,3 showed a positive correlation in the incidence of infection in patients with closed lower limb fractures after internal fixation.
Latar Belakang: Kejadian fraktur sering ditemukan dalam praktek klinis di rumah sakit. Pasien yang datang ke unit gawat darurat rumah sakit dengan mekanisme kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan lainnya. Operasi pada kasus orthopaedi khususnya pada fraktur ekstremitas bawah yang dilakukan pemasangan internal fiksasi memiliki resiko infeksi luka operasi bahkan dapat terjadi pada kasus fraktur tertutup. Pentingnya deteksi sejak dini kemungkinan terjadinya infeksi sehingga dapat dilakukan pencegahan baik dengan perawatan luka ataupun pemberian antibiotik. Kadar hemoglobin, konfigurasi fraktur, dan kerusakan jaringan diduga menjadi faktor resiko yang paling berperan terhadap kejadian infeksi pada fraktur tertutup ekstremitas bawah.
Metode: Penelitian menggunakan rancangan observational analitik dengan pendekatan Case Control untuk mengetahui apakah kadar Hb, konfigurasi fraktur, kerusakan jaringan sebagai faktor risiko terjadinya infeksi luka operasi dengan ditandai peningkatan procalcitonin pada pasien fraktur tertutup tulang panjang extremitas bawah pasca dilakukan open reduction internal fixation
Hasil: Dari penelitian didapatkan insiden terjadinya infeksi luka operasi yang signifikan pada pasien yang memiliki kadar Hb pasca operasi < 11g/dl, fraktur dengan konfigurasi kompleks, dan adanya cedera jaringan lunak Tscherne 1,2,3 pada pasien fraktur tertutup tulang panjang extremitas bawah pasca dilakukan open reduction internal fixation. Dimana kekuatan hubungan terbesar terhadap kejadian infeksi adalah konfigurasi fraktur (OR=0,222), sedangkan kekuatan hubungan terkecil adalah cedera jaringan lunak (OR=0,134).
Pembahasan: Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mencari faktor-faktor resiko kejadian infeksi pada pasien dengan fraktur setelah dilakukan operasi dengan pemasangan fiksasi internal sehingga dapat meminimalisir kejadian infeksi. Dari penelitian tersebut beberapa peneliti menemukan bahwa kejadian infeksi pasca fiksasi internal disebabkan oleh berbagai faktor utamanya adalah kadar hemoglobin pra dan pasca operasi, derajat kerusakan jaringan, dan konfigurasi fraktur, namun penelitian lanjutan masih harus dilakukan dengan menggunakan sampel yang lebih besar dan dengan metode penelitian yang lebih baik.
Kesimpulan : Kadar Hb < 11, konfigurasi fraktur kompleks, cedera jaringan lunak Tscherne 1,2,3 menunjukkan korelasi positif pada insiden infeksi pada pasien fraktur tertutup ekstremitas bawah setelah dilakukan fiksasi interna
Efek recombinant human growth hormon (RHGH) pada kekuatan tensile dan rasio kolagen tipe I/ III pada penyembuhan cedera parsial tendon supraspinatus kelinci
Aditya Wirakarna, I Ketut Siki Kawiyana, I Wayan Suryanto Dusak, Putu Astawa, Ketut Gede Mulyadi Ridia, I Ketut Suyasa, I Gede Eka WiratnayaOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
Efek recombinant human growth hormon (RHGH) pada kekuatan tensile dan rasio kolagen tipe I/ III pada penyembuhan cedera parsial tendon supraspinatus kelinci
Background: The condition of partial ruptured rotator cuff tendon cause a decrease in the tensile strength of delayed of the tendon healing. Delayed healing would cause a disruption of functional on the physical activity, social and economic of patient. Administration of Recombinant Human Growth Hormone (rHGH) is expected to be able to increase the collagen type I/ III ratio that are increase the tensile strength directly. The study is aimed to determine the role of rHGH in the tendon healing process of partial rupture of the rotator cuff which are measured using the tensile strength and comparison of the collagen type I/III ratio.
Methods: The sample selection of adult rabbit based on inclusion criteria and exclusion criteria that has been determined, and divided into two groups of treatment. At control group, tendon supraspinatus rabbit is cut as much as 50% of its thickness without given rHGH and the other group, tendon supraspinatus rabbit is cut as much as 50% of its thickness and rHGH is given. The effect to the collagen type I/III ratio and tensile strength is checked through Universal Testing Machine AGS-10kNG Shimadzu Japan and through histochemistry inspection. Then do the statistics analysis to determine whether administration of rHGH provide results that much better and significant compared to the group that was not given rHGH.
Results : Administration of rHGH is able to increase the collagen type I/III ratio significantly (p=0.015, CI 95% = 0.118-1.019), and is able to increase the tensile strength significantly (p=0.023, CI 95% = 0.616-7.606).
Conclusions : Administration of Recombinant Human Growth Hormone (rhGH) can improve collagen type I/III ratio and tensile strength on partrial rotator cuff tendon ruptured significantly.
Latar Belakang: Kondisi ruptur rotator cuff parsial menyebabkan menurunnya tensile strength hingga keterlambatan penyembuhan tendon dalam proses penyembuhannya. Keterlambatan penyembuhan akan menyebabkan gangguan fungsional pada aktivitas fisik, sosial dan ekonomi pasien. Pemberian Recombinant Human Growth Hormon (rhGH) diharapkan mampu untuk meningkatkan perbandingan rasio kolagen tipe I terhadap kolagen tipe III yang secara langsung akan meningkatkan tensile strength. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan rhGH dalam proses penyembuhan partial rupture rotator cuff yang diukur menggunakan tensile strength dan perbandingan rasio kolagen tipe I terhadap kolagen tipe III.
Metode: Dilakukan pemilihan sampel dari kelinci dewasa berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan, dan dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol, tendon supraspinatus kelinci dipotong sebanyak 50% tanpa diberikan rHGH dan pada kelompok perlakuan, tendon supraspinatus kelinci dipotong sebanyak 50% dan diberikan rhGH. Efek pelakuan terhadap ratio kolagen tipe I terhadap kolagen tipe III dan tensile strength diperiksa melalui Universal Testing Machine AGS-10kNG merk Shimadzu buatan Jepang dan pemeriksaan histokimia. Kemudian dilakukan analisis statistik untuk menentukan apakah pemberian rHGH memberikan hasil yang lebih baik dan signifikan dibandingkan kelompok yang tidak diberikan rHGH.
Hasil: Pemberian rHGH mampu meningkatkan rasio kolagen tipe I / III secara bermakna (p=0.015, IK 95%=0.118-1.019), dan mampu meningkatkan tensile strength secara bermakna (p=0.023, IK 95%=0.616-7.606).
Simpulan: Pemberian Recombinant Human Growth Hormon (rhGH) dapat meningkatan Rasio serat kolagen tipe I/tipe III pada pasca repair rupture tendon rotator cuff kelinci dan kekuatan tensile pasca repair ruptur tendon rotator cuff kelinci secara signifikan.
High serum adiponectin level is a risk factor for osteoporosis in patients with diabetes mellitus type II
Komang Arie Trysna Andika, Putu Astawa, I Wayan Suryanto Dusak, I Ketut Siki Kawiyana, Ketut Gede Mulyadi Ridia, I Ketut Suyasa, I Gede Eka WiratnayaOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
High serum adiponectin level is a risk factor for osteoporosis in patients with diabetes mellitus type II
Introduction: Osteoporosis is the most common metabolic bone disorder and the incidence is increasing annually. Diabetes mellitus as one of the most common metabolic disease, also can caused secondary osteoporosis. Adiponectin, a relatively new hormone, are known having a good correlation with DM and improving the insulin resistant. In contrast, Adiponectin still have a controversial effect for osteoporosis. Although some study already conducted, but it still inconclusive and also varies in result between different ethnic group.
Methods: This study is an analytical study using case control design to prove that high serum adiponectin level is a risk factor for osteoporosis in diabetes mellitus type II patients. ROC curve analysis was performed to determine the cut-off value of adiponectin level as a risk factor for osteoporosis in patients with DM type II. After the cut-off value is determined, risk factor analysis was performed using 2x2 cross tabulation, in order to count the Odds Ratio (OR).
Results: In the study, the average level of Adiponectin in the Osteoporosis group was 8.83±1.78 mg / mL, as for the non-Osteoporosis group was 6.43 ± 1.77 mg / mL, indicating significant difference (T-test, p = 0.001). Through ROC curve analysis, it was found that adiponectin level of equal or higher than 7.30 mcg/mL has a sensitivity of 74% and specificity of 70% in determining the risk for osteoporosis in patients with DM type II. Chi-square test showed a value of P= 0,003 (P<0,05), indicating that adiponectin level of >7.3 mcg/mL is a risk factor for osteoporosis in patients with DM type II.
Conclusion: In patients with type 2 DM, a high serum adiponectin level is a risk factor for osteoporosis.
Pendahuluan: Osteoporosis adalah kelainan tulang metabolik yang paling umum dan insidensinya meningkat setiap tahun. Diabetes mellitus sebagai salah satu penyakit metabolik yang paling umum, juga dapat menyebabkan osteoporosis sekunder. Adiponectin, hormon yang relatif baru, diketahui memiliki korelasi yang baik dengan DM dan meningkatkan resistensi insulin. Sebaliknya, Adiponectin masih memiliki efek kontroversial untuk osteoporosis. Meskipun beberapa penelitian sudah dilakukan, tetapi masih belum dapat disimpulkan dan juga bervariasi dalam hasil antara kelompok etnis yang berbeda.
Metode: Penelitian ini adalah studi analitik menggunakan desain case control untuk membuktikan bahwa kadar adiponektin serum tinggi merupakan faktor risiko osteoporosis pada pasien diabetes mellitus tipe II. Analisis kurva ROC dilakukan untuk menentukan nilai cut-off level adiponectin sebagai faktor risiko osteoporosis pada pasien DM tipe II. Setelah nilai cut-off ditentukan, analisis faktor risiko dilakukan menggunakan tabulasi silang 2x2, untuk menghitung Odds Ratio (OR).
Hasil: Dalam penelitian ini, tingkat rata-rata Adiponectin pada kelompok Osteoporosis adalah 8,83 ± 1,78 mg / mL, sedangkan untuk kelompok non-Osteoporosis adalah 6,43 ± 1,77 mg / mL, menunjukkan perbedaan yang signifikan (T-test, p=0,001). Melalui analisis kurva ROC, ditemukan bahwa kadar adiponektin yang sama atau lebih tinggi dari 7,30 mcg / mL memiliki sensitivitas 74% dan spesifisitas 70% dalam menentukan risiko osteoporosis pada pasien DM tipe II. Uji Chi-square menunjukkan nilai P=0,003 (P<0,05), menunjukkan bahwa tingkat adiponectin >7,3 mcg / mL adalah faktor risiko osteoporosis pada pasien DM tipe II.
Kesimpulan: Pada pasien DM tipe 2, kadar adiponektin serum yang tinggi merupakan faktor risiko osteoporosis.
Aktivitas hepatoprotektif Moringa oleifera pada tikus yang diinduksi streptozotocin
Dini Cynthia Dewi Tanuwijaya, Ali Santosa, Suryono SuryonoOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
Aktivitas hepatoprotektif Moringa oleifera pada tikus yang diinduksi streptozotocin
Introduction: Recent lifestyle changes are driving a shift from infectious-diseases to non-communicable diseases. Diabetes mellitus is a disease with a high morbidity, which caused by its ability to trigger some complications to other organs, such as liver. This study aims to determine the hepatoprotective activity of Moringa oleifera leaf extract on SGOT and SGPT levels of diabetes-induced rats.
Method: The study design was a post-test only control group design. A total of 28 adult Wistar rats weighing 200-250 g were divided into 7 groups. Animals in group A were orally treated daily with 2 ml of normal saline (NS), while B-G were rendered diabetic by single intraperitoneal injections of 45 mg/kg/BW of streptozotocin. They were then treated with 2 ml of NS, as well as 62,5, 125, 250, 500, and 1.000 mg/kg/BW of MoLE, respectively for 28 days. Then, rats were taken blood samples to be checked for serum SGOT and SGPT levels.
Results: From the examination results, serum SGOT and SGPT levels in the MoLE-given groups were lower than the non-MoLE-given group.
Conclusion: We conclude that Moringa oleifera leaf extract hepatoprotective activity can reduce the SGOT and SGPT levels on diabetes-induced rats.
Latar Belakang: Perubahan gaya hidup yang marak terjadi akhir-akhir ini mendorong terjadinya pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi menjadi penyakit tidak menular. Diabetes melitus menjadi salah satu penyakit dengan angka morbiditas yang cukup tinggi, yang disebabkan karena kemampuannya untuk mampu memicu komplikasi ke organ lain, seperti hepar. Penelitian ini berfungsi untuk mengetahui aktivitas hepatoprotektif ekstrak daun Moringa oleifera pada tikus yang diinduksi diabetes.
Metode: Penelitian ini menggunakan post-test only control group design. Sebanyak 28 ekor tikus wistar dengan berat 200-250 g dibagi ke dalam 7 kelompok. Tikus kelompok A diberi 2 ml normal saline (NS) sementara kelompok B-G diinjeksi dengan streptozotocin 45 mg/kgBB. Selanjutnya, kelompok B diberi 2 ml NS dan kelompok C-G diberi ekstrak daun kelor dosis 62,5, 125, 250, 500, dan 1.000 mg/kgBB selama 28 hari. Selanjutnya, masing-masing tikus diambil sampel darahnya dan dilakukan pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT serum.
Hasil: Dari hasil pemeriksaan, kadar SGOT dan SGPT serum pada kelompok yang diberi ekstrak daun kelor lebih rendah (p < 0,05) dibanding kelompok yang tidak diberi ekstrak.
Kesimpulan: Aktivitas hepatoprotektif ekstrak daun kelor mampu menurunkan kadar SGOT dan SGPT pada tikus yang diinduksi diabetes.
Apakah Telemedicine dapat sebagai jalan keluar penanganan pasien Neurologi pada masa COVID-19 ?
Anak Agung Ayu Putri Laksmidewi, I Gede Supriadhiana, Ketut Ayu SudiarianiOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
Apakah Telemedicine dapat sebagai jalan keluar penanganan pasien Neurologi pada masa COVID-19 ?
Telemedicine adalah layanan kesehatan yang dilakukan dari jarak jauh. Telemedicine dapat di gunakan pada pandemi COVID-19, ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi penyebaran dari virus ini dengan menggunakan telemedicine kita dapat melakukan hubungan dengan kontak jarak jauh dengan pasien guna mencegah penularan. Di Indonesia sendiri program telemedicine sangat penting bagi masyarakat yang berada di daerah tertinggal dan perbatasan. Perkiraan biaya untuk mendukung program telemedicine di Indonesia cukup besar. Dengan telemedicine kita dapat mengevaluasi pasien dari rumah mereka sendiri, serta dapat menghemat waktu serta jarak tempuh di kedua pihak, mempermudah komunikasi dengan dan akses ke fasilitas kesehatan. Kunjungan virtual diintegrasikan ke dalam EMR, memungkinkan setiap pasien untuk hanya memiliki satu rekam medis dengan aplikasi yang saling terhubung komputer desktop, mobile phone dan laptop. Dokter membutuhkan pemeriksaan telemedicine yang sensitif, spesifik dan cocok untuk berbagai kondisi yang dapat cepat dievaluasi dan dikelola datanya. Tidak semua pemeriksaan neurologi dapat di lakukan dengan menggunakan telemedicine, hanya dua dari lima indera yang didukung dengan teknologi saat ini, penglihatan dan suara dapat menghasilkan banyak informasi yang berguna secara klinis. Dengan menggunakan telemedicine diharapkan hambatan berupa jarak yang jauh, terbatasnya waktu pertemuan antara dokter dan pasien dapat diatasi.
Hubungan penurunan berat badan dan tingkat keparahan hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan di RSUD Wangaya Kota Denpasar
Fabiola Vania Felicia, I Wayan Bikin Suryawan, Made Ratna DewiOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
Hubungan penurunan berat badan dan tingkat keparahan hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan di RSUD Wangaya Kota Denpasar
Latar Belakang: Ikterus terjadi pada 60% neonatus cukup bulan pada minggu pertama kehidupan dan merupakan salah satu penyebab tersering bayi dirawat di rumah sakit. Neonatus umumnya mengalami penurunan berat badan di minggu pertama kehidupan 4-7%. Penurunan berat badan berlebihan dikaitkan dengan kejadian hiperbilirubinemia berat (bilirubin total >15-20 mg/dl). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara penurunan berat badan dan tingkat keparahan hiperbilirubinemia.
Pasien dan Metode: Studi observasional analitik dengan desain studi potong lintang ini melibatkan 40 rekam medis pasien neonatus cukup bulan dengan hiperbilirubinemia yang dirawat di RSUD Wangaya Kota Denpasar periode April 2018 hingga April 2020 dengan metode consecutive sampling. Data dicatat, dilakukan pengkodean dan dianalisis univariat dan bivariat (Uji Fisher).
Hasil: Didapatkan 31 (77,5%) pasien dengan hiperbilirubinemia signifikan dan 9 (22,5%) pasien dengan hiperbilirubinemia. Dari karakteristik pasien didapatkan perbedaan bermakna usia neonatus pada kelompok hiperbilirubinemia signifikan dan tidak (p = 0,024). Tidak ditemukan perbedaan bermakna pada jenis kelamin, usia gestasi, panjang badan lahir, berat badan lahir dan status ASI eksklusif kedua kelompok. Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara penurunan berat badan dan tingkat keparahan hiperbilirubinemia (p = 0,707) dengan IK95% 0,85-1,55.
Kesimpulan:Dari penelitian ini belum dapat disimpulkan adanya antara penurunan berat badan dengan tingkat keparahan hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan, namun ditemukan hubungan perbedaan usia neonatus dengan kadar bilirubin total dalam darah.
Monitoring neurofisiologis pada Adolescent Idiopathic Scoliosis yang menjalani operasi koreksi deformitas
Teresa Wilfrida Mangkung, Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, Tjok GA Senapathi, I Made WiryanaOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
Monitoring neurofisiologis pada Adolescent Idiopathic Scoliosis yang menjalani operasi koreksi deformitas
Scoliosis is structure deformity of vertebrae that is diagnosed based on measurement of major curve of the vertebrae. Adolescents Idiopathic Scoliosis (AIS) is the most common type of scoliosis. One of the management of scoliosis is surgery. The main goal of surgery is to prevent progressivity of scoliosis by spinal arthrodesis or fusion of the scoliosis vertebrae. One of the risk of this surgery is nerve damage that need close monitoring intraoperatively to prevent the damage. Female, 17 year old was diagnosed with AIS in thoracolumbal with Cobb angle 800 in the thoracal section and Cobb angle 900 in the lumbal section. She had deformity correction under general anesthesia. Neurophysiologic monitoring during surgery was somatosensory evoked potentials (SSEP) and motor evoked potential (MEP). These monitoring was used to prevent nerve damage due to spinal cord injury. Spinal cord injury could happen when pedicle screw was inserted and during rotation to correct the vertebrae’s angle.
Skoliosis adalah deformitas struktur dari tulang belakang dengan dasar pengukuran kurva mayor sebagai penentu deformitas. Adolescents Idiopathic Skoliosis (AIS) adalah bentuk paling umum dari skoliosis. Salah satu manajemen dari skoliosis adalah melalui tindakan pembedahan. Tujuan utama pembedahan pada skoliosis adalah untuk mencegah progresivitas dari skoliosis dengan artrodesis spinal atau fusi dari regio tulang belakang yang mengalami skoliosis, sedangkan tindakan pembedahan sendiri memiliki risiko terjadinya kerusakan saraf. Oleh karena itu dibutuhkan suatu monitoring yang dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan tersebut intraoperative sehingga dapat dicegah kerusakan yang lebih lanjut atau permanen. Perempuan, 17 tahun dengan diagnosis Adolescence Idiopathic Scoliosis torakolumbal dengan sudut Cobb torakalis 800 dan sudut Cobb lumbalis 900 dilakukan tindakan koreksi deformitas dengan pembiusan umum. Durante operasi dilakukan monitoring neurofisiologis dengan somatosensory evoked potentials (SSEP) dan motor evoked potential (MEP). Kedua monitoring ini bertujuan mencegah terjadinya kerusakan saraf akibat cedera pada medula spinalis saat dilakukan pemasangan pedicle screw dan rotasi untuk mengkoreksi sudut dari tulang belakang.
Manajemen Perdarahan Masif di Bidang Obstetri: laporan kasus
Fajar Narakusuma, Kadek Agus Heryana Putra, Tjokorda Gde Agung SenopathiOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
Manajemen Perdarahan Masif di Bidang Obstetri: laporan kasus
Background: Management of a complicated obstetric patient with profuse bleeding following caesarean section required massive blood transfusion was managed properly with multidisciplinary approach in ICU. The involvement of obstetrician, anesthesiologist and intensivist as a team in a single setup is essential for the management of such patients and the best outcome. The patient received total 15 units of blood products among which 5 units packed red blood cell, 5 units of fresh frozen plasma and 5 units of platelet concentrate. Despite this massive bleeding, the patient recovered fully with minimal complications as we follow the standard blood transfusion protocol
Case: 37-year-old woman came to the Maternity Hospital of Sanglah Hospital with complaints of vaginal bleeding since one hour before. The patient was diagnosed with a pregnancy diagnosis with suspected placenta previa totalis adhesive. Patients underwent Caecarian Sectio surgery followed by a hysterectomy procedure resulting from postoperative bleeding. Durante surgery carried out massive blood transfusions and after surgery performed in intensive care with a ventilator
Latar belakang: Penatalaksanaan pasien obstetri yang rumit dengan perdarahan masif saat operasi caesar diperlukan transfusi darah masif dikelola dengan baik dengan pendekatan multidisiplin di ICU. Keterlibatan ahli kebidanan, anestesi, intensivist sebagai tim dalam satu kesatuan sangat penting untuk manajemen pasien seperti itu dengan hasil terbaik. Pasien menerima total 15 unit produk darah di antaranya lima unit PRC darah simpan, lima unit fresh frozen plasma dan lima unit konsentrat trombosit. Meskipun perdarahan masif, pasien pulih sepenuhnya dengan komplikasi minimal saat kami mengikuti protokol transfusi darah standar.
Kasus:. Perempuan 37 tahun datang ke Ruang Bersalin RSUP Sanglah dengan keluhan perdarahan pervaginam sejak satu jam sebelumnya. Pasien diketahui dengan diagnosa kehamilan dengan placenta previa totalis suspek adhesive. Pasien dilakukan operasi Sectio Caecarian yang dilanjutkan dengan prosedur Histerektomi akibat dari perdarahan pasca operasi. Durante operasi dilakukan transfusi darah masif dan paska operasi dilakukan perawatan di ruang intensif dengan ventilator
Perawatan pasien dengan penyakit Tetanus yang menjalani perawatan di ruang Intensif
Hinarto Tjung, I Wayan AryabiantaraOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
Perawatan pasien dengan penyakit Tetanus yang menjalani perawatan di ruang Intensif
Tetanus is caused by the neurotoxins released by clostridium tetani which are anaerobic bacteria. Tetanospasmin enters the wound, spreading centrally along the motor nerve to the spinal cord or entering the systemic circulation to reach the central nervous system. External stimulation, including sudden exposure to bright light, can trigger general skeletal muscle spasms, can also cause inadequate ventilation so that it can cause death. A 63-year-old man weighing 60 kilograms with a diagnosis of Generalized Tetanus, came still unconscious with injuries to the foot after being hit by a tractor engine, 2 weeks before entering the hospital. The patient complained of shortness of breath since 7 days, pain in the legs, fever, stiffness in the facial muscles, and said to have experienced seizures. During observation in the emergency room, the patient experiences seizures, and loss of consciousness, then the patient is given airway management, and intubation and treatment are carried out in the Intensive Room. The patient was treated for a total of 13 days in the Intensive Room. Tetanus, very challenging and has high mortality rate, but with good airway treatment, seizure management, and good nutrition, patient has good chance for recover.
Tetanus disebabkan oleh neurotoksin yang dilepaskan oleh Clostridium tetani yang merupakan bakteri anaerob. Tetanospasmin masuk dalam luka, menyebar secara terpusat di sepanjang saraf motorik ke sumsum tulang belakang atau memasuki sirkulasi sistemik untuk mencapai sistem saraf pusat. Stimulasi eksternal, termasuk paparan sinar terang yang tiba – tiba, dapat memicu kejang otot skeletal umum, dapat juga menyebabkan ventilasi tidak adekuat sehingga dapat menyebabkan kematian. Seorang lelaki usia 63 tahun dengan berat badan 60 kilogram dengan diagnosis Tetanus Generalisata, datang masih sadar dengan luka pada kaki setelah terkena mesin traktor, 2 minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien mengeluh sesak nafas sejak 7 hari, nyeri pada kaki, demam kekakuan pada otot wajah, serta dikatakan pernah mengalami kejang. Selama observasi di ruang gawat darurat, pasien mengalami kejang, dan penurunan kesadaran, lalu pasien diberikan tata laksana jalan nafas, dan dilakukan intubasi dan perawatan di ruang Intensif. Pasien dirawat total selama 13 hari di ruang Intensif. Pasien berhasil dilakukan manajemen perawatan yang baik selama di ruang Intensif dan berhasil pindah ke ruang perawatan biasa. Perawatan pasien dengan infeksi tetanus sangat menantang dan memiliki resiko kematian yang tinggi, namun dengan perawatan yang baik dalam tatalaksana jalan nafas, penanganan kejang dan nutrisi yang baik, pasien memiliki peluang untuk sembuh.
Peningkatan glasgow coma scale yang signifikan pada pasien epidural hematome post operasi trepanasi evakuasi klot
Dewa Ayu Nyoman Isma Pratiwi, Ida Bagus Krisna Jaya SutawanOnline First: Apr 1, 2021
- Abstract
Peningkatan glasgow coma scale yang signifikan pada pasien epidural hematome post operasi trepanasi evakuasi klot
Epidural hematoma (EDH) is a major traumatic brain injury and a potentially life-threatening condition. Nearly 81% of EDH cases were caused by accidental incident, 17% due to assault, and the rest due to self harm and suicidal intent. The epidural hematome occurs due to fracture of the skull in the space between the internal tabula cranii and duramater. Epidural hematoma is a serious sequela of head injury and causes a mortality rate of about 50%. Surgery is performed in 40% of cases of EDH. A 17-year-old man was diagnosed moderate head injury and right temporoparietal epidural hemorrhagic with cerebral odema and base skull fracture and closed fracture of the right lower extremity with GCS (Glasgow Coma Scale) E1 V 1 M3 and underwent trepanation, clot evacuation and debridement elevation, reconstruction. The surgery was under general anesthesia with the neuroanesthesia's technique. Hemodynamics was stable during the 3 hours 40 minutes surgery. Management of neuroanesthesia for head injuries aims to optimize brain perfusion, facilitate surgery and prevent secondary brain injury.
Epidural Hematom (EDH) adalah cedera otak traumatik utama dan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa. Hampir 81 % dari kasus EDH disebabkan oleh kecelakaan yang tidak disengaja, 17 % karena penyerangan, dan sisanya karena merugikan diri sendiri dan niat untuk bunuh diri. Operasi bedah saraf dilakukan pada 40% kasus EDH. Seorang laki- laki berusia 17 tahun dengan diagnosa cedera kepala sedang dengan epidural hemoragik temporoparietal dekstra dengan odema serebri dengan fraktur basis kranii dan fraktur tertutup cruris dekstra dengan GCS ( Glasgow Coma Scale) E1 V 1 M3 dan akan dilakukan tindakan trepanasi evakuasi klot dan debridement elevasi rekontruksi. Selama operasi pasien di berikan teknik anestesi umum dengan konsep neuroanestesi. Hemodinamik stabil selama operasi 3 jam 40 menit berlangsung. Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater. Epidural hematoma merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Manajemen neuroanestesia untuk cedera kepala bertujuan untuk mengoptimalkan perfusi otak, memfasilitasi pembedahan dan mencegah cedera otak sekunder.