Vol. 52 No. 2 (2021)
Characteristic and bacterial sensitivity of pediatric patients with urinary tract infection in Sanglah hospital
Ni Made Ayu Wirastiti, GAP Nilawati, I Ketut SuartaOnline First: Jun 5, 2021
- Abstract
Characteristic and bacterial sensitivity of pediatric patients with urinary tract infection in Sanglah hospital
Urinary tract infection (UTI) is an infection in the urinary tract (urethra, bladder, ureters, or kidneys). Urinary tract infection is one of the most common infection in the pediatric population. The aim of this study was to determine the characteristic and bacterial sensitivity of pediatric patient with UTI in Sanglah hospital. A descriptive study was performed in 34 children infant and children aged 0 month to 18 years who were diagnosed with UTI in Sanglah hospital. The result of the study was 18 were females and 16 were males. The prevalence of UTI patients in children most common in children aged 2 months old - 2 years old was 16 (47.1%). The most common sign and symptoms related to UTI was fever 24 (70.6 %). The other complain was dysuria, nausea and vomiting, failure to thrive, jaundice. Based on the urinalysis result, 52.9% had leukocyturia, 20.6% erythrocyturia, 14.7% nitrite positive, 91.2% bacteriuria positive. The most common uropathogenic was Escherichia coli 15 (44.1%). Escherichia coli was sensitive to Amikacin (100%), and was resistant to Ampicillin (100%).
Status imunisasi pada anak usia di bawah 2 tahun di Puskesmas Denpasar Selatan
AA Wiwin Indayani, IGAN Sugitha Adnyana, IGA Trisna Windiani, SoetjiningsihOnline First: Jun 20, 2021
- Abstract
Status imunisasi pada anak usia di bawah 2 tahun di Puskesmas Denpasar Selatan
Immunization is one of the most effective health protection measures for children against several diseases. The age of children under 2 years is a golden period for the growth and development of a child's immune system that is perfect, so immunization must be given to children. Based on the survey conducted at the Denpasar Public Health Center obtaining basic immunization as much as 80.97% in 2016. Characteristics of giving immunization to children is very important to be linked as an effort to improve the completeness of basic immunizations.This study aimed to study the characteristics of immunization status in children under 2 years of age who received basic immunization in the South Denpasar Health Center.Descriptive research, with cross-sectional design. The research subjects were 100 children. Data obtained by using questionnaires.A total of 100 subjects found 81% had complete basic immunization status. 58% of children are male, 55% are children 12-23 months, 67% are of good nutritional status. The level of education is 57% with high school education, 75% of mothers do not work. As many as 48% of children who visited because of illness to the puskesma more than 2 times in 1 year with the main cause was ISPA 91% and diarrhea 47%.
Immunization status of children under 2 years in the work area of South Denpasar Community Health Center is mostly age-appropriate.
Imunisasi merupakan salah satu upaya perlindungan kesehatan yang paling efektif untuk anak-anak terhadap beberapa penyakit. Usia anak di bawah 2 tahun merupakan golden period untuk pertumbuhan dan perkembangan serta sistem kekebalan tubuh anak belum sempurna, sehingga imunisasi wajib diberikan pada anak. Berdasarkan survey yang telah dilakukan di Puskesmas Denpasar selatan didapatkan cakupan imunisasi dasar sebanyak 80,97% pada tahun 2016. Karakteristik pemberian imunisasi pada anak sangat penting untuk diketahui sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan cakupan kelengkapan imunisasi dasar.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik status imunisasi pada anak usia di bawah 2 tahun yang menerima imunisasi dasar di Puskesmas Denpasar Selatan.Penelitian deskriptif, dengan desain potong lintang. Subyek penelitian sebanyak 100 anak. Data didapatkan dengan menggunakan kuisioner.Sebanyak 100 subjek ditemukan 81% memiliki status imunisasi dasar lengkap. 58% anak berjenis kelamin lelaki, 55% anak berusia 12-23 bulan, 67% dengan status gizi baik. Tingkat pendidikan sebanyak 57% yang mengenyam pendidikan SMA, 75% ibu tidak bekerja. Sebanyak 48% anak yang melalukan kunjungan oleh karena sakit ke puskesma lebih dari 2 kali dalam 1 tahun dengan penyebab utama adalah ISPA 91% dan diare 47%.Status imunisasi anak usia dibawah 2 tahun di wilayah kerja Puskesmas Denpasar selatan sebagian besar lengkap sesuai umur.
Hubungan ekspresi protein receptor activator of nuclear factor kappa β tinggi dan subtipe luminal a dengan terjadinya metastasis komponen tulang pada pasien kanker payudara
Nyoman Gde Trizka Santhiadi, I Wayan Sudarsa, Tjokorda Gede Bagus MahadewaOnline First: Jun 10, 2021
- Abstract
Hubungan ekspresi protein receptor activator of nuclear factor kappa β tinggi dan subtipe luminal a dengan terjadinya metastasis komponen tulang pada pasien kanker payudara
Bones are the most common distant metastasis site in breast cancer, especially in advanced stages. Bone metastasis involves continuous interaction between tumor cells, osteoblast, osteoclast, and bone matrix. There are many risk factors regarding distant metastasis sites in breast cancer patients, including breast cancer molecular subtypes and mediator known as Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa β (RANK). In this study, we explore relationships between Luminal A breast cancer and RANK in association with bone metastasis site.This study is a cross-sectional analysis study conducted in Sanglah General Hospital, Bali Denpasar. Estimated sample size was measured using formula to hypothesize between two proportions, and obtained 34 patients as our minimal sample needed in this study. Data will be presented in 2x2 tables, consist of RANK Protein expression and molecular cancer subtype (Luminal A / Non-Luminal A) in row section and Metastasis (Bone Metastasis or Non-Bone Metastasis) in column section. Univariat analysis were done using comparative method between 2 categorical unrelated groups: Chi Square and Fisher’s Exact Test. OR values were measured and p value <0.05 considered to be significant statistically.From these 106 patients, we used nested sampling to randomize these patients into our study sample, with total of 36 patients. The mean age of our patients is 48.64 ± 9.86 years. Luminal A subtypes tends to metastasize into bone component compared with Non-Luminal A subtypes with p value 0.041 and OR: 3.5; with 95% CI (0.82 – 14.84). Tumor with high RANK expressions tends to metastasize into bone component compared with low RANK expressions with p value 0.045 and OR 3.25; with 95% CI (0.81 – 13.03). There is a significant difference statistically in molecular subtype breast cancer and in RANK protein expressions between two patient groups (bone metastasis site vs another metastasis site)
Komponen tulang merupakan tempat metastasis jauh tersering pada kanker payudara, khususnya pada stadium lanjut. Metastasis tulang melibatkan interaksi berkelanjutan antara sel-sel tumor, osteoblas, osteoklas dan matriks tulang. Banyak faktor resiko yang mempengaruhi tempat metastasis jauh pada pasien kanker payudara, salah satunya adalah subtipe kanker payudara dan mediator Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa β (RANK). Pada studi ini, kami akan mengkaji hubungan antara kanker payudara Luminal A, ekspresi protein RANK dengan terjadinya metastasis tulang.Studi ini adalah studi potong lintang analisis yang dilaksanakan di RSUP Sanglah Denpasar, Bali. Perkiraan besar sampel dihitung menggunakan rumus untuk uji hipotesis komparatif antara dua kelompok kategorik, dan didapatkan sampel minimal yang dibutuhkan sejumlah 34 pasien. Data akan dipresentasikan dalam table 2x2, terdiri dari ekspresi protein RANK dan subtipe kanker payudara (Luminal A dan Non-Luminal A) pada bagian baris, dan tempat metastasis (Tulang dan Bukan Tulang) pada bagian kolom. Dilakukan analisis univariat menggunakan metode komparatif antar dua kelompok tidak berpasangan, yaitu uji Chi-square dan Fischer’s Exact. Dilakukan perhitungan odds ratio (OR) tiap uji komparatif dan p value <0.05 dianggap sebagai signifikan secara statistik.Dari total 106 pasien kanker payudara selama durasi penelitian, kami menggunakan nested sampling untuk randomisasi sampel, dan didapatkan 36 pasien sebagai sampel penelitian. Rata-rata usia pasien adalah 48,64 ± 9,86 tahun. Subtipe Luminal A cenderung untuk bermetastsasis ke tulang dibandingkan dengan subtipe Non-Luminal A dengan p value 0,041 dan OR 3,5; dengan IK95% (0,82 – 14,84). Tumor dengan ekspresi RANK tinggi juga cenderung untuk bermetastasis ke tulang dibandingkan dengan ekspresi RANK rendah dengan p value 0.045 dan OR 3,25; dengan IK95% (0,81-13,03)Adanya perbedaan signifikan secara statistik pada subtipe kanker payudara dan pada ekspresi protein RANK antara dua kelompok pasien dengan metastasis jauh tulang dan bukan metastasis tulang.
Kadar prolaktin plasma berkorelasi positif dengan derajat keparahan akne vulgaris
Nieke Andina Wijaya, IGAA Praharsini, Made Swastika AdigunaOnline First: May 10, 2021
- Abstract
Kadar prolaktin plasma berkorelasi positif dengan derajat keparahan akne vulgaris
Acne vulgaris is a common skin disorder that characterized by comedones, papules, pustules, nodules and cysts wirh predilection on face, chest, upper back and arms. Its etiology is known to be multifactorial. Prolactin and its receptors are found at pilosebaceous glands and it can stimulate sebum production so it is thought to play a role in the pathogenesis of acne vulgaris. This study aims to determine the correlation between plasma prolactin levels with acne vulgaris severity. This was an observational analytic cross-sectional study that involve 48 acne vulgaris subjects and 30 subjects without acne vulgaris that met inclusion and exclusion criteria. This study showed that plasma prolactin levels on acne vulgaris subjects (median 26.3; IQR 9.3) were significantly higher (p<0,001) than those without acne vulgaris subjects (median 15.9; IQR 6.9). Plasma prolactin levels were significantly different between mild, moderate and severe acne vulgaris (p<0.001). This study showed moderate positive correlation (r = 0.525; p < 0.001) between plasma prolactin levels and the severity of acne vulgaris. The conclusion of this study is there was positive correlation between plasma prolactin levels and acne vulgaris severity. It still need further investigation regarding prolactin as a risk factor for acne vulgaris.
Akne vulgaris merupakan penyakit kulit yang ditandai dengan komedo, papul, pustul, nodul dan kista pada wajah, dada, punggung dan lengan atas. Patogenesisnya adalah multifaktorial. Prolaktin dan reseptornya didapatkan pada kelenjar pilosebasea dan dapat menstimulasi pembentukan sebum sehingga diduga berperan dalam patogenesis akne vulgaris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar prolaktin plasma dengan derajat keparahan akne vulgaris. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional analitik observasional, yang melibatkan 48 subjek akne vulgaris dan 30 subjek bukan akne vulgaris yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan bahwa kadar prolaktin plasma pada subjek akne vulgaris (median 26,3; IQR 9,3) lebih tinggi secara signifikan (p<0,001) dibandingkan subjek bukan akne vulgaris (median 15,9; IQR 6,9). Didapatkan perbedaan yang signifikan antara kadar prolaktin pada akne vulgaris derajat ringan, sedang dan berat (p<0,001). Penelitian ini menunjukkan adanya korelasi positif sedang (r = 0,525; p < 0,001) antara kadar prolaktin dengan derajat keparahan akne vulgaris. Simpulan pada penelitian ini adalah terdapat korelasi positif antara kadar prolaktin plasma dengan derajat keparahan akne vulgaris. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai prolaktin sebagai faktor risiko terjadinya akne vulgaris.
Perbedaan kadar serum besi, feritin, dan saturasi transferin pada anak vegetarian dan non-vegetarian
Ni Wayan Yuliandari, IGN Sanjaya Putra, I Made Kardana, Soetjiningsih, IGA Trisna Windiani, Ayu Setyorini MMOnline First: Jun 23, 2021
- Abstract
Perbedaan kadar serum besi, feritin, dan saturasi transferin pada anak vegetarian dan non-vegetarian
Iron deficiency is the most common cause of anemia. The vegetarian is assumed to provide the risk of iron deficiency due to iron derived from plant sources is a non-heme with low bioavailability which may inhibit iron absorption. The aim of the study is to prove the difference in serum iron, ferritin and transferrin saturation levels between vegetarian and non-vegetarian children. This is an observational comparative cross-sectional study of 62 children aged 5-12 years in several elementary schools in Bali. Subjects are grouped into vegetarian and non-vegetarian. History taking, physical examination, examination of serum iron, ferritin and transferrin saturation were done. Subjects characteristics are presented descriptively. Serum iron, ferritin and transferrin saturation are analyzed by Independent T test and Mann Whitney U test, with p values <0.05 considered to be significant. The results showed that there are differences in mean serum iron, ferritin and transferrin saturation between vegetarian and non-vegetarian children (69.8±29.2 vs 78.6±34.1; p=0.309), (53.5±26.7 vs 70.2±56.3; p=0.190), (19.7±7.8 vs 23.3±10.6; p=0.137). The conclusion of this study is there is no significant difference in serum iron, ferritin and transferrin saturation levels between vegetarian and non-vegetarian children.
Defisiensi besi merupakan penyebab tersering terjadinya anemia. Kecenderungan vegetarian diasumsikan berisiko defisiensi besi karena asupan berasal dari sumber nabati yang merupakan sumber besi non-heme dengan bioavabilitas rendah dan dapat menghambat absorpsi besi. Tujuan penelitian adalah untuk membuktikan adanya perbedaan kadar serum besi, feritin dan saturasi transferin antara anak vegetarian dan non-vegetarian. Penelitian ini merupakan observasional comparative cross sectional study terhadap 62 anak berusia 5-12 tahun di beberapa sekolah dasar di Bali. Subyek dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok vegetarian dan non-vegetarian. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan kadar serum besi, feritin dan saturasi transferin. Karakteristik subyek disajikan secara deskriptif. Perbedaan kadar serum besi, feritin dan saturasi transferin antar dua kelompok dianalisis dengan Uji T Independen dan Mann Whitney U dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan rerata serum besi, feritin dan saturasi transferin antara anak vegetarian dan non vegetarian yaitu (69,8±29,2 dan 78,6±34,1; p=0,309), (53,5±26,7 dan 70,2±56,3; p=0,190), (19,7±7,8 dan 23,3±10,6; p=0,137). Simpulan penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar serum besi, feritin dan saturasi transferin antara anak vegetarian dan non-vegetarian.
Faktor-Faktor Yang Berkolerasi Dengan Kejadian Neuropati Perifer Pada Penderita Morbus Hansen di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2017
M. Sofyan Faridi, Putu Eka Widyadharma, Ni Made SusilawathiOnline First: Jun 2, 2021
- Abstract
Faktor-Faktor Yang Berkolerasi Dengan Kejadian Neuropati Perifer Pada Penderita Morbus Hansen di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2017
Morbus Hansen (MH) or Leprosy is also a granulomatous infection of the skin and peripheral nerves caused by Mycobacterium leprae. The decrease in prevalence of leprosy from 5.4 million to 1 million but still new cases were found at 685 thousand Peripheral neuropathy is a disorder of the peripheral nervous system such as sensory, motor, and autonomic nervous disorder. Semmes Weinstein Monofilament (SWM) is the tools for examination of sensory nerves. The obtain is knowing factors that correlate with the incidence of peripheral neuropathy in leprosy patients. The metods is Observational descriptive study with cross sectional design. 30 subjects were examined with Semmes Weinstein monofilament. The subjects have neuropathy if the Monofilament test > 0.07gram in the upper extremity and > 0,4gram in the lower limb. The results are recorded in the table and calculated the percentage. The Result obtain 30 subjects consisted of 15 men (50%) and 15 women (50%). Examination of upper limb monofilament in patients of MH age 36-45 years old 10 people (33,3%) (r = 0.365) (p = 0.047) married 20 people (80%) who not married 10 people (20%) with value (r = 0.535) (p = 0.001) and monofilament examination of lower limb in leprosy patient with duration> 2 years 44% while <2 years 56% with value (r = 0.475) (p = 0.008). The Conclusion is Peripheral neuropathy of upper limb in leprosy correlates with age and marital status whereas in the lower ekstermitas correlated with duration of pain.
Morbus Hansen (MH) atau kusta atau disebut juga Lepra merupakan penyakit infeksi granulomatosa pada kulit dan saraf tepi yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Meskipun terjadi penurunan prevalensi MH dari 5,4 juta menjadi 1 juta tetapi masih ditemukan kasus baru sebesar 685 ribu dan diperkirakan 20% dari kasus tersebut berisiko terjadinya gangguan fungsi saraf dengan berbagai faktor. Neuropati perifer adalah gangguan sistem saraf perifer seperti gangguan saraf sensoris, motoris, otonom. MH merupakan salah satu penyebabnya. Semmes Weinstein Monofilament (SWM) salah satu alat untuk pemeriksaan saraf sensorik pada ekstremitas atas dan bawah.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berkorelasi dengan kejadian neuropati perifer pada penderita MH. Metode penelitian ini diskriptif observasional rancang bangun potong lintang. 30 penderita MH diperiksa dengan Semmes Weinstein Monofilament. Subyek dikatakan mengalami neuropati jika Monofilamen > 0,07gram ekstremitas atas dan > 0,4gram pada ekstremitas bawah dan dicari korelasinya dengan faktor- faktor yang ingin dikorelasikan. Hasil dicatat dalam tabel dihitung prosentasenya. Didapatkan hasil dari 30 subyek terdiri dari 15 pria (50%) dan 15 wanita (50%). Pemeriksaan monofilament ekstremitas atas pada penderita MH umur terbanyak 36-45 tahun 10 orang (33,3%) (r=0,365) (p=0,047) yang sudah kawin 20 orang (80%) yang belum/tidak kawin 10 orang (20%) dengan nilai (r=0,535) (p=0,001) dan pemeriksaan monofilament ekstremitas bawah pada penderita MH dengan lama sakit > 2 tahun 44% sedangkan yang < 2 tahun 56 % dengan nilai (r =0,475) (p=0,008) didapatkan kesimpulan neuropati perifer ekstremitas atas pada MH berkorelasi dengan umur dan status perkawinan sedangkan pada ekstermitas bawah berkolerasi dengan lamanya sakit.
Antibiogram bakteri aerob pada otitis media supuratif kronik di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015-2017
Putu Diah Vedayanti, Komang Andi Dwi Saputra, Ni Nengah Dwi FatmawatiOnline First: Jun 15, 2021
- Abstract
Antibiogram bakteri aerob pada otitis media supuratif kronik di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015-2017
Antibiotic used in chronic suppurative otitis media (CSOM) should be based on pathogens and their antibiotic susceptibility test results. This examination takes few days to give a result thus empirical therapy based on bacterial antibiogram become important. The increasing of prevalence of multi resistant bacteria, as well as changes in the sensitivity among the same strains, indicate the need for bacteriological surveys of CSOM to be carried out continuously and periodically. This study aimed to describe the sensitivity pattern of aerobic bacteria in CSOM in the ENT outpatient clinic of Sanglah General Hospital in 2015-2017 as an empirical therapy. This study was a descriptive study using a cross sectional design. The research sample was all CSOM patients who carried out bacterial culture and sensitivity tests at Sanglah General Hospital Denpasar in 2015 to 2017. Of the total 37 samples, 45.9% were male while 54.1% were female. The age range ranged from 1-74 years with the commonest age group being 31-40 years (29.6%). Aerobic bacteria that could be isolated and identified included Pseudomonas aeruginosa as much as 54.1% (20), Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia, Achromobacter xylosoxidans, Acinetobacter baumanii, Morganella morganii, and Staphylococcus haemolyticus, each of 2.7% (1). Whereas in 5.4% (2) was Candida sp and 24.3% (9) obtained regional normal flora. Pseudomonas aeruginosa was sensitive to meropenem (100%), amikacin (95%), gentamycin (95%), ceftazidime (90%), cefepime (95%), aztreonam (80%), and ciprofloxacin (75%). Isolated Staphylococcus aureus was identified as Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) and sensitive to quinupristin-dalfopristin, linezolid, vancomycin, doxicyclin, minocycline, tetracyclin, and rifampicin. Staphylococcus haemolyticus was sensitive to quinupristin-dalfopristin, linezolid, vancomycin, doxicyclin, tetracyclin, and rifampicin. Klebsiella pneumonia, Achromobacter xylosoxidans, Acinetobacter baumanii, and Morganella morganii are sensitive to ceftazidime, meropenem, amikasin, and cefepime. In this study, aerob bacterium of CSOM was dominated by Pseudomonas aeruginosa, which were sensitive to meropenem, amikacin, gentamycin, ceftazidime, cefepime, aztreonam, and ciprofloxacin.
Pemilihan antibiotik pada kasus otitis media supuratif kronik (OMSK) sebaiknya berdasarkan jenis bakteri penyebab penyakit serta data uji kepekaan antibiotik. Mengingat hasil pemeriksaan penunjang tersebut memerlukan waktu beberapa hari, maka pengobatan secara empirik berdasarkan antibiogram bakteri penyebab penyakit menjadi sangat penting. Pemetaan bakteri tersebut perlu dilakukan secara kontinyu dan periodik karena pada beberapa penelitian didapatkan prevalensi bakteri multiresisten yang meningkat dan perubahan sensitivitas bakteri dengan strain yang sama. Penelitian ini bertujun untuk mengetahui gambaran pola kepekaan bakteri aerob pada OMSK di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah tahun 2015-2017 yang dapat digunakan sebagai terapi empirik. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan potong lintang. Sampel penelitian adalah semua pasien OMSK yang dilakukan kultur bakteri dan uji sensitivitas di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2015 sampai 2017. Pada penelitian ini dari total 37 sampel, 45,9% adalah lelaki sedangkan 54,1% adalah perempuan. Rentang umur berkisar antara 1-74 tahun dengan kelompok umur terbanyak adalah 31-40 tahun (29,6%). Bakteri aerob yang teridentifikasi antara lain Pseudomonas aeruginosa sebanyak 54,1% (20), Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Achromobacter xylosoxidans, Acinetobacter baumanii, Morganella morganii, serta Staphylococcus haemolyticus yang masing-masing 2,7% (1). Selain itu, 5,4% (2) ditemukan Candida sp dan 24,3% (9) didapatkan flora normal regional. Pseudomonas aeruginosa sensitif terhadap meropenem (100%), amikacin (95%), gentamycin (95%), ceftazidime (90%), cefepime (95%), aztreonam (80%), dan ciprofloxacin (75%). Staphylococcus aureus yang terisolasi merupakan suatu Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang sensitif terhadap quinupristin-dalfopristin, linezolid, vancomycin, doxicyclin, minocycline, tetracyclin, dan rifampicin. Staphylococcus haemolyticus sensitif terhadap quinupristin-dalfopristin, linezolid, vancomycin, doxicyclin, tetracyclin, dan rifampicin. Klebsiella pneumoniae, Achromobacter xylosoxidans, Acinetobacter baumanii, dan Morganella morganii sensitif terhadap ceftazidime, meropenem, amikasin, dan cefepime. Pasien OMSK pada penelitian ini lebih didominasi Pseudomonas aeruginosa yang sensitif terhadap meropenem, amikacin, gentamycin, ceftazidime, cefepime, aztreonam, dan ciprofloxacin.
Hubungan antara profil lipid dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien penyakit jantung koroner stabil
Desak Gede Widyawati, A.A Ayu Dwi Adelia Yasmin, IGN Putra GunadhiOnline First: Jun 8, 2021
- Abstract
Hubungan antara profil lipid dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien penyakit jantung koroner stabil
Abnormal lipid levels is a major contributor in atherosclerosis pathophysiology and a well-established risk factor for the development of coronary artery disease (CAD). In this study, we investigated correlation between lipid profile levels and degree of coronary artery stenosis in patient stable coronary artery disease. To study the associations of lipid biomarkers with coronary severity. We consecutively enrolled patients who underwent coronary angiography without previous lipid-lowering therapy in Sanglah General Hospital from June 2016 to May 2017. A total of 110 patients were enrolled in the present study, with male predominance (89 sample; 80.9%) and median age was 65 years old (89 sample; 80.9%). Regarding the lipid profile, 67 (60.9%) patients were observed to have total cholesterol kadar kolesterol total ≥ 200 mg/dL, 82 (74.5%) had LDL-C ≥ 130 mg/dL, 61 (55.5%) had TG ≥ 150 mg/dL, 59 (53.6%) had HDL-C < 40 mg/dL, and 78 (70.9%) had non-HDL-C ≥ 152 mg/dL. The analysis of coronary angiographies showed 35 (31.8%) had low Gensini score and 75 (68.2%) had high Gensini score. In the bivariate analysis by Pearson correlation, the plasma TC levels (PR 6.43; p = 0.0001; LDL-C levels (PR 3.34; p = 0.009), and non-HDL-C (PR 5.66; p 0.0001) were positively associated with coronary stenosis severity. No statistically significant correlation between TG levels (PR 0.64; p=0.19) and HDL-C levels (PR 0.57; p=0.26) with coronary stenosis severity. Our data support the use of total cholesterol, LDL-C, and non-HDL-C in predicting the severity of coronary atherosclerosis
Kadar lipid yang abnormal dalam darah merupakan kontributor mayor dari patofisiologi atherosklerosis dan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Pada studi ini diinvestigasi hubungan antara profil lipid dan derajat stenosis arteri koroner pada pasien PJK stabil yang belum mendapat terapi penurun lipid minimal 3 bulan sebelum penelitian. Penelitian potong lintang ini dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar Bali dengan melibatkan 110 pasien PJK stabil yang dilakukan angiografi koroner pada periode bulan Juni 2016 sampai Mei 2017. Total sampel penelitian sebanyak 110, mayoritas adalah laki-laki (80.9%). Median usia sampel adalah 56 tahun. Sampel yang memiliki kadar kolesterol total ≥ 200 mg/dL sebanyak 67 orang (60.9%), kolesterol LDL ≥ 130 mg/dL 82 orang (74.5%), trigliserida ≥ 150 mg/dL 61 orang (55.5%), kolesterol HDL < 40 mg/dL 59 orang (53.6%), dan kolesterol non-HDL ≥ 152 mg/dL 78 orang (70.9%). Derajat stenosis arteri koroner dinilai berdasarkan skor Gensini dimana 35 sampel memiliki skor Gensini rendah (31.8%) dan 75 sampel memiliki skor Gensini tinggi (68.2%). Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik antara kolesterol total (RP 6.43, p = 0.0001, IK 95% 2.65-15.55), LDL (RP 3.34; p = 0.009; IK 95% 2.50-4.46), dan non-HDL (RP 5.66; p 0.0001; IK 95% 2.3 – 13.85) dengan derajat stenosis arteri koroner. Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara HDL (RP 0.57; p = 0.26; IK 95% 0.25-1.30 ) dan trigliserida ( RP 0.64; p=0.19; IK 95% 0.28-1.45) dengan derajat stenosis arteri koroner. Hasil penelitian ini mendukung penggunaan kadar kolesterol total, LDL, dan non-HDL dalam memprediksi derajat stenosis arteri koroner pada pasien PJK stabil.
Mikroorganisme Penyebab Infeksi Kateter Lumen Ganda pada Pasien Hemodialisis Dengan dan Tanpa Diabetes Mellitus
Marta Setiabudy, I Ketut Agus Indra Adhiputra, Agus Eka Darwinata, Ni Nengah Dwi FatmawatiOnline First: May 10, 2021
- Abstract
Mikroorganisme Penyebab Infeksi Kateter Lumen Ganda pada Pasien Hemodialisis Dengan dan Tanpa Diabetes Mellitus
Background: One of the complications of double lumen catheter (DLC) access in hemodialysis patients is bloodstream infection which increases patient mortality and morbidity. Diabetes mellitus (DM) is one of the comorbid factors. Acknowledging the bacteria causing DLC infection in hemodialysis patients with or without DM at Sanglah Hospital is the aim of this study.
Materials and methods: This was a cross-sectional descriptive study with a period of 12 months, January to December 2019. The sample included adult hemodialysis regular patients who diagnosed with DLC infection with suspected catheter-related Blood Stream Infection (CRBSI).
Results: Samples were 72 patients with 58.3% male. There were 50 blood cultures, 60 DLC cultures, and 19 swab cultures. Recorded as many as 52 patients (72%) were examined for 2 types of specimens and 4 patients (5%) had all three. Thirty-four percent (17) of blood culture specimens exhibited the same bacterial growth with DLC or swab cultures or both. The predominant bacteria were Staphylococcus aureus 47% (8 samples), almost half were methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) followed by coagulase-negative staphylococci and Enterococcus spp. Total of 44.4% (32 patients) known to have DM but revealed no significant correlation with the incidence of DLC infection and CRBSI. The pattern of microorganism growth in cultures was same in DM and non DM groups.
Conclusion: Staphylococcus aureus and coagulase-negative staphylococci indicated as the most common bacteria found in DLC infections at Sanglah Hospital in 2019.
Latar belakang: Salah satu komplikasi penggunaan akses kateter lumen ganda (KLG) pada pasien hemodialisis adalah infeksi aliran darah yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Diabetes mellitus (DM) menjadi salah satu faktor komorbidnya. Mengetahui mikroorganisme penyebab kejadian infeksi kateter lumen ganda pada pasien hemodialisis dengan atau tanpa DM di RSUP Sanglah menjadi tujuan penelitian ini.
Bahan dan metode: Ini adalah studi deskriptif potong lintang dengan jangka waktu 12 bulan (Januari hingga Desember 2019). Sampel meliputi pasien hemodialisis dewasa dengan akses KLG, terdiagnosis KLG terinfeksi dengan kecurigaan infeksi aliran darah terkait kateter (Catheter-Related Blood Stream Infection atau CRBSI).
Hasil: Sampel berjumlah 72 dengan 58,3% laki-laki. Spesimen kultur darah berjumlah 50, kultur KLG 60 dan kultur swab 19. Total 52 pasien (72%) diperiksa 2 jenis spesimennya sedangkan 4 pasien (5%) diperiksa ketiganya. Kultur darah menunjukkan pertumbuhan bakteri yang sama dengan kultur lainnya pada 17 spesimen (34%). Bakteri yang mendominasi adalah Staphylococcus aureus 47% (8 pasien) dengan hampir setengahnya methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) diikuti oleh Staphylococcus koagulase negatif dan Enterococcus spp. Sebanyak 44,4% (32 pasien) memiliki riwayat DM namun tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan kejadian infeksi KLG dan infeksi aliran darah terkait kateter. Pola pertumbuhan mikroorganisme dari kultur ditemukan serupa pada kelompok pasien DM dan tidak DM.
Kesimpulan. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus koagulase negatif merupakan bakteri penyebab infeksi KLG terbanyak di RSUP Sanglah pada tahun 2019.
Kondiloma akuminata anogenital pada seorang pasien hiv stadium iii yang diterapi dengan kombinasi asam trikloroasetat topikal dan seng (Zn) oral
Venny Tandyono, Anak Agung Gde Putra WiragunaOnline First: Jun 2, 2021
- Abstract
Kondiloma akuminata anogenital pada seorang pasien hiv stadium iii yang diterapi dengan kombinasi asam trikloroasetat topikal dan seng (Zn) oral
Condyloma acuminatum (CA) or genital warts is a sexually transmitted disease caused by Human Papilloma Virus (HPV) infection that affects both skin and mucous membrane of anorectal and genitalia. HPV infection is commonly found in sexually active men and women, with the most important predisposing factor is immunocompromised condition, such as Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection. Clinically, genital warts in patient with HIV infection tend to be larger in size, poor treatment response with high recurrence rates, and there is an increase tendency to become malignant. In this report, a case of anogenital condyloma acuminatum was presented from a 27-years-old women with stage III of HIV infection. Diagnosis was made based on history and physical examination, supported by positive acetowhite test and histopathological examination. Combination therapy, consisted of trichloroacetic acid 80% topical weekly and oral zinc, was given for 4 weeks with clinical improvement as indicated by reduction of the size of the lesions.
Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) yang mengenai kulit dan mukosa anorektal dan genitalia. Infeksi HPV umumnya menyerang pria maupun wanita yang aktif secara seksual, dengan salah satu faktor predisposisi yang berperan penting adalah kondisi imunokompromais, seperti misalnya infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Secara klinis, lesi KA pada individu dengan HIV cenderung memiliki ukuran yang lebih besar, respon pengobatan yang kurang baik dengan tingkat rekurensi yang tinggi, serta memiliki kecenderungan lebih besar untuk menjadi keganasan. Pada laporan kasus ini dilaporkan satu kasus kondiloma akuminata anogenital pada seorang wanita usia 27 tahun yang disertai dengan infeksi HIV stadium III. Diagnosis KA ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang ditunjang dengan pemeriksaan acetowhite positif, dan pemeriksaan histopatologi. Terapi dengan kombinasi asam trikloroasetat 80% topikal setiap minggu dan seng (Zn) oral selama 4 minggu didapatkan perbaikan klinis yang ditunjukkan dengan berkurangnya ukuran lesi.
Imaging of multi-etiologies of pneumatosis intestinalis in children with AIDS: case report and review
Anastasia Tjan, Elysanti Dwi Martadiani, Ni Made Widhi AsihOnline First: Jun 6, 2021
- Abstract
Imaging of multi-etiologies of pneumatosis intestinalis in children with AIDS: case report and review
Introduction : Pneumatosis intestinalis is a condition where there is gas inside the intestinal wall. Pneumatosis intestinalis or intramural gas is a particular sign of radiology and is not a disease. Pneumatosis intestinalis in patients with very poor clinical conditions, accompanied by symptoms of abdominal pain or distension, is possible because of the presence of bowel ischemia. One of the causes of Pneumatosis intestinalis is immunodeficiency, such as in AIDS.
Case Presentation : Here in we present a 7-year-old HIV AIDS positive male presented with abdominal distension, acute abdomen, and sepsis. His first abdominal radiographs showed intramural gas in linear and circular form along the descending colon, which migrates to the ascending colon after few days. Intramural gas was also seen on his abdominal CT therefore concluded bowel ischemia diagnosis without life threatening signs such as portal vein gas, pneumoperitoneum, or porto-mesenteric gas. His previous chest CT revealed multiple cystic bronchiectasis in both lung bases.
Discussion : Underlying cause of Pneumatosis intestinalis n this case is HIV AIDS related which causing both lung and bowel disease resulting in intramural gas, hence bowel ischemia diagnosis was made.
Conclusion : Thorough imaging evaluation is needed in diagnosing pneumatosis intestinalis moreover in HIV AIDS patient to determine prognosis and treatment plan.
Anestesi spinal untuk seksio sesarean pada wanita hamil dengan defek septum atrium sekundum yang luas
I Gusti Agung Made Wibisana Kurniajaya, Ketut Wibawa NadaOnline First: Jun 1, 2021
- Abstract
Anestesi spinal untuk seksio sesarean pada wanita hamil dengan defek septum atrium sekundum yang luas
Atrial septal defect is one of the most common congenital heart diseases found in parturient. Most patients are asymptomatic before pregnancy, but chronic shunt form left to right atrium through the atrial septal defect can result in excess volume and right ventricular enlargement, which will be aggravated by volume retention in pregnancy. Furthermore, right atrial enlargement can predispose to atrial arrhythmias. Parturient with atrial septal defects also have a higher risk of preeclampsia, fetal death, and preterm birth than those without heart abnormalities. Management of anesthesia in pregnant women with congenital heart disease not only sees the effects of heart disease, but also the physiological changes caused by pregnancy. Finnally, we can decide the optimal anesthetic technique for the termination. The aim of management of anesthesia in patients with atrial septal defects is to avoid dysrhythmias, increase systemic vascular resistance, and decrease pulmonary vascular resistance which can worsen left-to-right shunt which can lead to right ventricular failure and pulmonary hypertension. We report a 23-year-old woman with a first pregnancy of a large atrial septal defect secundum who will undergo cesarean section surgery with a spinal anesthetic technique.
Defek septum atrium merupakan salah satu penyakit jantung bawaan yang sering didapatkan pada wanita hamil. Kebanyakan pasien tidak memiliki gejala sebelum kehamilan, namun aliran darah yang khronis dari atrium kiri ke atrium kanan melalui defek septum atrium dapat mengakibatkan kelebihan volume dan pembesaran ventrikel kanan, yang akan diperberat oleh retensi volume pada kehamilan. Selanjutnya, pembesaran atrium kanan dapat menjadi predisposisi dari aritmia atrial. Wanita hamil dengan defek septum atrium juga memiliki risiko preeklamsia, kematian janin, dan kelahiran prematur yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak memiliki kelainan jantung. Manajemen anestesi pada wanita hamil dengan penyakit jantung bawaan tidak hanya melihat efek dari penyakit jantung, tapi juga perubahan fisiologi yang diakibatkan oleh kehamilan. Sehingga kita dapat memutuskan teknik anestesi yang optimal sewaktu terminasi dilakukan. Tujuan dari manajemen anestesi pada pasien dengan defek septum atrium adalah menghindari disritmia, peningkatan resistensi vaskular sistemik, dan penurunan resistensi vaskular paru yang dapat memperburuk pirau kiri ke kanan yang dapat memicu kegagalan ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal. Kami melaporkan seorang wanita 23 tahun dengan kehamilan pertama defek septum atrium sekundum luas yang akan menjalani operasi seksio sesarea dengan teknik anestesi spinal.